Sesejuk Embun Sentuhanmu, Ayah - Cerpen Ayah

SESEJUK EMBUN SENTUHANMU, AYAH
Karya Sabina Puri Kinanti

Rintikan rinai mulai jatuh dan bergulir membasahi bumi. Aku tengah bangkit menyesali gundukan tanah berhiaskan watu nisan kelabu. Terukir nama kedua orang yang sangat saya cintai. Ya, ayah dan ibuku. Air mata yang tak terbendung pun harus kulepaskan. Kembali ku mengenang masa lalu. Masa kemudian yang takkan kulupa dan akan terus menggantung dalam benakku.
***

“Aku mau Ayah yang lebih baik. Seseorang yang tidak bisu dan tuli. Ayah ibarat yang dimiliki orang lain. Seorang Ayah yang sanggup mendengarkan cita-cita dan keluh kesahku. Ayah yang sanggup bicara dan mengerti aku”
Pagi itu, waktunya bagiku untuk kembali bersekolah. Seperti biasa saya diantar oleh ayah dengan motor bututnya. Mood ku selalu saja buruk bila ayah menemaniku. Aku malu. Beliau ialah orang yang bisu dan tuli. Namun, dia tetap berusaha mendidikku sebagaimana ayah yang semestinya.

Sesejuk Embun Sentuhanmu, Ayah
Dengan gerakan tangan dan ekspresi yang membuka tutup, seolah memberikan sebuah pesan, saya tahu bahwa ayah sedang menyemangatiku untuk sanggup berguru dengan ulet di sekolah. Tak mau diperhatikan banyak teman-temanku, saya pun pribadi berlalu memunggungi ayah. Ayah niscaya sangat kecewa denganku, tapi, rasa aib itu selalu berhasil mengalahkan keinginanku untuk sanggup menyayangi ayah.
Lau, salah seorang sahabat perempuanku. Ia yang selama ini kuanggap sanggup mendapatkan saya apa adanya ternyata sama saja ibarat yang lainnya. Memang dia sanggup menerimaku apa adanya, namun, ia selalu saja mempermasalahkan ayahku yang bisu dan tuli itu.
***

Ceritanya dimulai ketika awal saya masuk SMA. Aku dan Lau berkenalan dan menjadi sahabat erat semasa itu. Kami sering bepergian kemana-mana bersama dan mengembangkan suka dan murung bersama. Saat itu, saya bercerita panjang lebar perihal kisah hidupku, dimana saya terlahir dari seorang ibu yang amat anggun dan ayah yang gagah. Dahulu, hidup kami bertiga sangat senang dan saya selalu membanggakan mempunyai kedua orang bau tanah yang selalu dianggap harmonis oleh orang-orang yang menjumpai mereka. Bagaimana tidak, saya ialah darah dan daging mereka. Ayah ku berjulukan Pan. Ia sangat bakir berbicara di depan umum. Tak heran bila ia dijadikan pembicara besar perusahaannya. Banyak orang yang menyukai ayah, termasuk salah satu perempuan bawahannya ketika ayah menjabat sebagai bos perusahaan.
Yang-Zao. Begitu goresan pena yang memenuhi kartu nama di kemeja perempuan itu. Dengan senyumannya yang manis dan sikapnya yang sopan membuat ayah juga tertarik padanya. Semakin hari, mereka semakin sering bertemu sebab Yang-Zao dipindah tugaskan menjadi ajun ayahku. Mereka semakin erat seiring larut dalam kehangatan ketika membicarakan pekerjaan. Lambat laun, pembicaraan mereka tidak terbatas hanya pekerjaan saja, tapi sudah merembet kepada hidup berkeluarga. Yang-Zao belum punya kekasih ketika itu dan ayah bertekad untuk melamarnya.
***

Satu tahun berlalu..
“Pan Hyung Park, apakah Anda bersedia mendapatkan Yang-Zao sebagai istri Anda dalam suka maupun duka, ketika sehat maupun sakit, dan mencintainya seumur hidup?” tanya sang Pastor terhadap mempelai pria.
“Ya, Saya bersedia,” ujar ayah berwibawa.
Begitu simpulan kata akad ijab kabul yang diucap ayah dan ibu ketika itu. Riuh tepuk tangan dan tangis haru para permintaan memenuhi gedung hotel glamor nan elok, daerah perlangsungan pernikahan. Kini, perempuan pemilik senyum anggun itu telah mengikatkan dirinya pada laki-laki berwibawa dan gagah itu, memutuskan untuk mengarungi hidup bersama selamanya.
***

Terdengar rengekan bayi dari ruang persalinan rumah sakit. Aku telah dikirim Tuhan sebagai hadiah untuk sepasang pengantin gres yang harmonis ini dan berkesempatan untuk melihat dunia. Mereka menamakan saya Ryu-Hyun. Aku ialah seorang perempuan mungil berbalutkan kain hangat yang tengah berada dalam dekapan perempuan yang menjadi ibuku.
Aku tumbuh menjadi cukup umur berusia 12 tahun yang baik dan selalu menyayangi kedua orangtuaku. Aku hidup tenang dan senang bersama ayah dan ibu hingga kecelakaan naas yang merenggut kebahagiaan itu dari kami. Sewaktu perjalanan dari Thailand ke daerah wisata yang jauhnya kurang lebih 2 jam. Mobil Ford Focus hitam melaju dengan kecepartan standar, tak terlalu besar badannya tapi nyaman untuk kami bertiga. Semula perjalanan begitu terasa menyenangkan dan aman, namun mungkin ini takdir Tuhan. Truk besar yang membawa muatan barang-barang furniture melaju dari belakang kami, sang supir pun tampaknya telah sibuk menggunakan ponselnya. Ketika jarak kami tak lagi jauh, barulah ia menyadari dan segera mengerem kendaraannya itu, sayang semua terlambat. Kami pun bertabrakan. Serpihan serpihan beling kendaraan beroda empat dan kepingan tubuh kendaraan beroda empat ford kami terpental dan hancur seketika. Entah mengapa, kejadian itu tak membuat kami semua kembali kepada Yang Kuasa, melainkan hanya ibu yang pergi...
***

Tahun demi tahun begitu cepat kulalui, meskipun hanya bersama ayah. Naas, keadaan kami tak sebahagia dulu, sebelum direnggut kecelakaan yang takkan terlupa seumur hidupku. Ayah ku, kini membesarkanku dengan keadaannya yang bisu dan tuli. Kenapa bisa? Dari kecil, ayah bekerjsama sudah didiagnosa sebagai calon anak yang bisu dan tuli tanggapan otak temporalis nya yang lemah. Kedua orangtuanya harap-harap cemas menyaksikan ayah yang tumbuh besar. Namun, syukur yang teramat diucapkan oleh kakek dan nenek, sebab ayah tumbuh menjadi seorang normal bahkan hingga jadi pembicara ulung. Sayang, ketika kecelakaan kami waktu itu menyebabkan otak temporalisnya yang lemah mengalami kerusakan hebat.
Beliau sudah bukan lagi pembicara besar yang gagah dan jago ibarat dulu, malah dia sudah dipecat sebab kondisinya. Penampilannya juga membuat ia menjadi lebih ke arah orang dungu yang tak sanggup apapun. Awalnya, saya sangat memperhatikan ayah, saya sangat sayang menyayanginya. Bahkan, saya tidak mau ayah lelah atau merasa sedih sedikit pun. Aku berpikir, bahwa akulah pengganti ibu untuk mengurus ayah. Sempat terlintas dalam otakku, mengapa orang-orang yang memecat ayahku hanya sebab kondisi fisiknya amat egois. Aku benci mereka. Kehidupan kami menjadi sederhana, sangat sederhana. Aku dan ayah hanya tinggal di rumah kayu kecil di pinggir jalan. Ayah berdagang keliling kecil-kecilan. Kehidupan kami ketika itu masih berjalan lancar-lancar saja hingga saya berusia 16 tahun.
***

“Hei, yang Ayahnya buta dan tuli! Hahaha, kasihan sekali kau!!”
“Bisuuu...Tuli...Bodoh... Ih, aib banget punya Ayah kayak gitu!” begitulah olok-olokan teman-teman Sekolah Menengan Atas ku. Awalnya, saya merasa biasa saja, sebab memaang itulah kondisi sebenarnya, namun lama-kelamaan saya menjadi risih dengan ocehan yang tak henti keluar dari ekspresi mereka.
“Hei” sapa Lau sambil menepuk pundakku.
Kubalas tatapannya dengan senyum, namun saya mencicipi sesuatu yaang ganjil ketika dia menepukku tadi. Samar-samar sambil tersenyum saya mendegar bunyi gesekan kertas menyelingi pendengaranku. Lau pun berlalu. Firasatku merasa tak nyaman. Benar saja, Lau menempelkan secarik kertas di daerah ia mendaratkan tangannya tadi sambil melontarkan tipuan palsunya itu. Secarik kertas yang ia tempelkan di kepingan belakang bajuku berisikan olok-olokan yang sangat menusuk hati. Bagaimana tidak, saya kira ia ialah sahabat yang baik, saya kira kita ialah sahabat yang sanggup saling mengerti kondisi dan keadaan namun apa yang banyak kuperkirakan tak berujung indah...
Tak jarang saya berkelahi di lapangan basket sekolah dengan Lau sebab tingkahnya yang sudah mulai keterlaluan dan menjadi provokasi semua teman-temanku untuk mengejek kondisi ayahku. Aku benci Lau. Aku benci semua anaak-anak yang mengejek ayahku. Tapi, saya jadi benci juga dengan kehidupanku kini yang tak sebahagia dulu. Tuhan mulai tak adil, batinku. Akhirnya, tak lepas semua amarah batin yang kupendam ini, ku lampiaskan pada ayahku sendiri.
***

Waktu terus bergulir tanpa henti, matahari dan bulan bergantian menjaga bumi. Perasaanku semakin tidak menyukai ayah memuncak. Aku hanya berharap mempunyai ayah yang ibarat dulu, yang sanggup mendengarkan keluh kesahku setiap ketika dan sanggup mendukungku di segala kondisi. Tapi apa yang kudapat? Ayah yang bisu dan tuli serta tingkahnya yang dungu. Sungguh aib saya dibuatnya. Mengapa saya tidak sanggup mempunyai ayah ibarat yang dimiliki orang lain, ayah yang normal.
Malam itu, saya terpaksa sekali makan malam bersama ayah, padahal saya dalam kondisi mood yang kurang baik. Entah mengapa, setiap saya memerhatikan ayah ada ibarat ada perasaan benci yang menyeruak dalam hatiku. Ayah menangkap tatapanku. Beliau pun tersenyum dan mulai membahasakan tubuhnya. Sungguh muak hingga tidak nafsu makan tanggapan ulah ayah yang bodoh. Kali itu pula olok-olokan teman-teman bergantian mengisi memori otakku. Hentakan di meja makan terjadi. Aku pergi meninggalkan ayah tanpa menoleh lagi.
***

Udara malam yang hambar menusuri kulitku. Pukul 7 malam, dengan seragam sekolah lengkap yang belum sama sekali kuganti dan tas sekolah yang masih kujinjing menemani dalam perbincangan hangat bersama pacarku. Sempat terlintas dalam pikiranku sesosok ayah, apa dia akan khawatir sebab saya belum pulang? Peduli apa! Perasaan kesal luar biasa mengaburkan bayangan perihal ayahku. Yang ada malam ini, saya ingin bersama pacarku saja, tak peduli kapan saya akan pulang.

Lelaki botak plontos menggunakan kaos hitam tak berlengan, ibarat tampilan preman pada umumnya kini tengah melangkahkan kakinya di sampingku. Ryan. Aku menikmati hubunganku dengannya yang sudah berjalan sekitar 5 bulan lalu. Ia pun tau bahwa saya hidup dengan ayah yang berkekurangan, tapi ia tak mempermasalahkannya. Hah...Setidaknya, ia lebih baik dari Lau, orang yang awalnya kuanggap sebagai sahabat yang baik. Detik demi detik berlalu dengan hembusan angin malam, hambar yang menyeruak semakin terasa. Akhirnya kuputuskan berpamitan dan kami pun berpisah di gang sebelah rumahku. Jam memberikan pukul 11.10 malam. Pintu rumah tidak dikunci. Pemandangan yang pertama tertangkap kedua mataku ialah ayah. Ya, dengan kaos merah muda nya yang sudah kumal ia bangkit menatapku dengan gemas. Ayah membahasakan tubuhnya dengan berapi-api, saya tahu ia sedang murka kepadaku sebab saya pulang terlalu larut. Karena kondisiku yang lelah dan sudah hampir tengah malam tak sanggup lagi kuredam emosiku.
“Apa! Ayah mau apa, ha?! Ayah menyalahkanku sebab terlambat pulang?! Apa gunanya juga kalau saya diam di rumah ini bersama orang yang dungu tak sanggup bicara dan tuli disampingku! Aku tak mengerti apa yang Ayah maksudkan, gerakan tubuh ayah membuat saya muak melihatnya! Aku tidak suka mempunyai Ayah ibarat kau, saya mau Ayah normal ibarat teman-temanku!!”

Ku hentakkan keras kakiku dan beranjak meninggalkan ayah. Seketika saya menyadari perubahan mimik wajah ayah yang tadinya sebal kini penuh dengan rasa kecewa.
“Aarrggh! Masa bodoh! Kalau hanya sebab ini Ayah menderita, kemudian saya bagaimana?! Dihina dan dijauhi oleh teman-temanku sebab kondisi Ayah! Tak bisakah setidaknya bertingkah tidak ibarat orang dungu? Aku benar-benar menginginkan Ayah yang gagah ibarat dulu, Ayah yang selalu saya banggakan......” batinku penuh dengan pikiran-pikiran itu. Tak terasa gigiku bergemeletuk karenanya. Bahkan, saya mulai mempertanyakan ketidak adilan Tuhan. Lagi-lagi.
“Tak adakah seberkas belas kasih yang Tuhan berikan pada hidupku? Setidaknya, semua orang tidak mempermasalahkan kondisi Ayahku. Aku benci sekali ketika mereka ibarat itu” kembali batinku mulai beradu.
***

Bulir-bulir air mata tak henti mengalir dari bendungannya. Kudapati lagi bawah umur bersorak ria mengejekku. Mereka sudah keterlaluan membuatku malu, mereka sudah keterlaluan! Segera kulangkahkan cepat kakiku menuju toilet sekolah. Disana, saya berpatut di cermin. Pipi yang berair dipenuhi air mata, mata sembab yang menghiasi wajahku menggambarkan penderitaan batin yang amat mendalam. Mulai saya menangis lagi mengingat kejadian awal cerita.
“Mengapa harus terjadi kecelakaan itu... Mengapa Ibu harus pergi meninggalkanku...... Mengapa Ayah harus menjadi ibarat ini........ Tuhan.. Mengapa!!”
Gontai kukerahkan kekuatanku untuk berjalan. Meski bekerjsama habis sudah kekuatan ini terkuras oleh air mata. Kendaraan berlalu lalang di jalanan, banyak orang berjalan dengan keluarga mereka. Ayah mereka, ibu mereka. Menyelipkan seberkas senyum dan canda tawa yang membuat orang memandang iri. Ada halte di dekat situ, maka saya mengunjunginya. Dengan menyandarkan kepalaku di tiang-tiang penyangga daerah duduk, saya menyesali nasibku, yang mempunyai kehidupan tidak tepat dibandingkan dnegan orang lain.

Mentari mulai sembunyikan sinarnya. Aku berjalan menuju gang rumahku, masih dalam keadaan lemas. Saat itu, tak sengaja ada Ryan, pacarku. Ia mengendarai kendaraan beroda empat sedan hitamnya, menyuruhku masuk ke dalam. Aku pun menurutinya. Saat sudah bersandingan dengannya, kutatap mata Ryan lekat-lekat.
“Ada apa denganmu? Mengapa matamu sembab ibarat itu?” tanya Ryan lembut.

Aku hanya diam membisu. Tak lama, Ryan menghela nafas panjang. Ia pun membuka pembicaraan lagi.
“Aku tau, niscaya lagi-lagi kau disindir oleh teman-temanmu sebab kondisi Ayahmu. Sebenarnya, saya mau jujur ini dari awal.. Aku..” nafasnya tertahan.
“Aku juga aib mempunyai mertua yang nantinya berkondisi ibarat itu. Aku..Tidak mau. Bahkan, kini kita masih pacaran saja saya sudah disindir-sindir oleh teman-teman sepergaulanku. Aku tak berani menyampaikan ini sebelumnya, sebab saya tidak mau melukai perasaanmu. Tapi, saya rasa saatnya sekaranglah saya harus jujur. Aku sayang padamu, tapi tidak pada Ayahmu. Beliau juga tampaknya tak menyukaiku.. Aku...”
“Aaaaaaaaa” jeritku sambil mengacak-acak rambutku. Kembali ku berurai air mata. Berkhianat! Kamu mengkhianatiku, Ryan! Sergahku dalam hati.
“Aku benci kau! Aku benci hidupku! Aku benci segaalanya di dunia ini! Kau bilang dari awal kau mau menerimaku apa adanya. Tapi kenapa kini kau sama saja ibarat teman-temanku dan semua orang, ha?! Mengapa tidak sekalian saja kau ucapkan kata-kata yang bekerjsama sudah tertahan dihatimu semenjak lama? Buat saya sakit sekalian, Ryan!”
“Brukk!” kututup keras pintu kendaraan beroda empat Ryan yang tengah berhenti itu. Sekuat tenaga ku tahan amarahku, tapi tak bisa. Air mata terus berderai membasahi kelopak mata. Dunia dan Tuhan memang tak adil....
Merasa tak ada lagi arti hidup bagiku. Kuputuskan untuk pergi saja. Pergi dari dunia ini ke daerah yang lebih baik mungkin...
***

“Bruuukk!”
“Aku tau kondisiku memang tak ibarat yang kau inginkan.. Kini saya memang bisu dan tuli. Tapi saya berusaha sebaik mungkin untuk sanggup menjagamu ibarat halnya yang dilakukan Ayah pada anaknya”
“Sayang, makanlah yang banyak. Itu akan membantumu tumbuh besar.. Baik-baiklah di sekolah..” itu yang selalu tidak kau mengerti, Ryu..
“Hari ini ialah hari ulang tahun Putriku” ucapku dengan bahasa tubuh sumringah pada seorang pelangganku”
Kekecewaan yang teramat ayah rasakan hari ini, tepat ketika kau berulang tahun, Ryu. Ayah melihatmu yang sudah berlumuran darah. Ayah melihat nadi tanganmu sudah tersayat oleh serpihan silet.
Saat itu juga Ayah menangis tak karuan. Ayah segera membawamu ke rumah sakit semoga kau cepat ditangani oleh dokter.
***

Kue tart berwarna hijau dengan hiasan sederhana nan anggun terletak di meja. Aku menunggu kehadiranmu di meja makan ini, daerah biasa kita makan malam bersama.. Sudah kupersiapkan dengan matang segalanya. Ucapku dalam hati sambil menggenggam sebuah surat, berisikan ucapan.
“Selamat Ulang Tahun, Tersenyumlah selalu! Sayang, Ayah” begitu tabrakan krim cokelat yang menghiasi makanan ringan manis tart malam itu.
Aku mulai berkata-kata dengan bahasa tubuh seorang diri..
“Maaf untuk segala kondisiku ketika ini. Aku memang tak sanggup berbicara selayaknya Ayah normal yang lain. Tapi, saya hanya ingin kau tahu, bahwa saya mencintaimu dengan segenap hatiku...”
***

Kembali saya berusaha membuat pemahaman dokter berjalan. Aku berusaha mengeluarkan gaya bahasa tubuh semoga dokter mengerti.
“Jangan biarkan apapun terjadi pada Putriku. Dokter, ambillah hartaku! Aku punya rumah, saya punya uang. Ambil semua itu, tapi Putriku, ia tak boleh mati!”
Nafas tersengal mulai mengahmpiriku, keringat hambar dan rasa khawatir, takut, sedih, campur aduk dalam benakku. Bagaimana tidak, putriku dalam kondisi yang tak memungkinkan.

Aku memandang dokter yang tengah bangkit dihadapanku, melihat wajahnya yang berusaha untuk mengerti aku. Dengan frustasi yang mendalam kesannya kuulurkan tanganku. Berharap kali ini, dokter mengerti.
“Ambil darahku!”
***

Kubuka mata perlahan. Melihat ruangan yang serba putih di hadapanku terbentang luas. Melihat infus yang menggantung disampingku, saya tau dimana kini saya berada. Sinar mentari pagi menyeruak dari balik celah kecil jendela rumah sakit. Aku masih lemah. Aku terbaring dan mengembalikan perlahan memoriku perihal kejadian ketika itu. Saat menoleh ke arah kanan, saya melihat seorang laki-laki yang gagah itu terbaring disana. Pria yang selama ini saya anggap ialah seorang yang bisu dan tuli yang berkelakuan bodoh. Pria yang kuanggap tak pernah mengerti aku. Terbaring lemas sama sekali. Ku gapai tangan beliau, ku genggam erat dan betapa kurasakan hangat yang menjalari tubuhku.
“Tidak ada Ayah yang tepat di dunia ini, tapi Ayah akan selalu sanggup mencintaiku dengan sempurna. Terimakasih Ayah, maafkan Ryu...”
Derai air mata tak sanggup lagi kubendung. Ketika dokter perlahan melepaskan tanganku dan berbisik pelan. Ia meminta izin, semoga tubuh ayah sanggup diistirahatkan...
***

SELESAI

PROFIL PENULIS
Hai! Aku kini kelas 3 smp, saya tinggal di Bontang, Kalimantan Timur. Mungkin kalian ada yang pernah mengunjunginya?:D Ini yaa, saya kirim cerpen karyaku gres baru ini. Semoga terhibur, dan maaf bila ada salah kata dalam ceritanya, itu tidak disengaja. Terimakasih untuk para participant dan Loker Seni! Semoga Budaya Indonesia dalam membuat karya tak pernah luntur!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel