Cukup Satu Saja - Cerpen Pendidikan
Jumat, 02 Mei 2014
CUKUP SATU SAJA
Karya Kamal Ridho Al Khudry
Kerang putih ini kugenggam lebih erat. Dingin yang dihasilkan ombak senja kali ini berhasil dikalahkan oleh kehangatan kerang yang saya genggam. Dengan mesra, pasir kuning khas pantai yang disapu ombak membisikkan sebuah mantera keajaiban yang bisa menciptakan hatiku merinding. Celanaku nyaris berair secara tepat lantaran dicium buih pantai yang kian pasang. Untungnya, bajuku hanya tertetesi percikan muntah bahari secara menyebar yang mempunyai kegunaan untuk mengurangi aura kedinginan yang kian mencekam.
Mataku terpejam, seakan menolak cahaya senja yang kian merunduk tunduk kepada titah Sang Pengawal kehidupan. Kacamataku berembun, rambut basahku yang mulai mengering terlukai lagi oleh semprotan alami dan kemesraan air laut. Pikiranku melayang tak menentu, mencari sesuatu yang bisa membuatku hening dan senang tanpa harus memedulikan sekitar. Ingatanku jatuh ke satu titik pencerahan yang menciptakan hidupku lebih bermakna.
Cukup Satu Saja |
Celanaku telah berganti kulit dari merah menjadi kecokelatan lantaran kotor. Kemeja putihku semakin kumal. Tak pantas disandingkan dengan orang lain yang mengenakan pakaian serba higienis tanpa campur tangan keringat dan polusi udara sebagai saksi atas usaha dalam kehidupan.
Aku tak menggunakan tas, sebagaimana orang lain yang mengenakan tas mahal dan bermerk hingga memamerkannya kepada sobat sebangkunya atau sobat sepermainan lainnya. Tas bututku hanyalah sekantung plastik merah jumbo yang berjasa telah menampung satu buku dan pinsilku, lengkap dengan karet gelang sebagai penghapusnya. Sebagai bantalan untuk menutupi sobekan plastik yang kian membesar, koran-koran yang hendak saya jual sedikit membantu semoga perlengkapan berguru istimewaku tidak jatuh.
Jijik melihat keadaan fisik dan pakaian yang saya kenakan, tak ada satu orang pun sobat sekelasku yang mau berabung dan menyapa diriku. Bahkan, sehabis enam tahun saya bertahan untuk sekolah di sini pun, tak ada seorang guru yang mau bicara dan mengasihaniku. Aku memang tidak ingin dikasihani. Menurutku, orang yang dikasihani ialah orang yang malas dan tidak ada gunanya lagi di dunia ini. hanya saja, pikirku, tak ada seorang ‘manusia’ pun yang mau berempati melihat keadaanku. Tetapi, walau demikian saya masih patut bersyukur lantaran berkat nilai yang saya raih nyaris selalu sempurna, saya tetap bertahan dan bisa berguru layaknya bawah umur ‘sempurna’ lainnya.
Aku, orang yang tidak terkenal, namun semua orang mengenalku dengan kekumalan dan ketidakrapian diriku yang selalu merasa tidak betah kalau harus berlama-lama berada di sekolah. Bukan hanya lantaran lingkungan sekitar yang selalu mengolok-olok diriku dengan cacian dan umpatan pedas, tetapi lebih lantaran pikiranku tidak hening wacana nasib koran-koranku kelak kalau tidak segera diedarkan di pasar demi mendapat satu dua orang ‘manusia’ baik yang mau membeli koran busukku.
Sering saya merenung, namun tetap tidak mengeluarkan keluhanku kepada Tuhan. Kupikir, walau bagaimana pun Tuhan tetap sayang kepadaku dengan memperlihatkan kehidupan walau hanya sebatas seorang yatim piatu. Aku sendiri tidak mengenal kedua orang tuaku. Tak ada yang tahu orang tuaku. Menurut tetangga ‘komplek’ ku, saya ditemukan dalam keadaan menangis dan tergeletak begitu saja di tengah-tengah kerumunan perumahan megah tetanggaku. Tak ada yang tahu identitasku. Bahkan, tak ada yang sudi mengambilku sebagai seorang anak. Mereka hanya membiarkanku tertidur di kawasan saya ditemukan dengan hanya memperlihatkan pelayanan istimewa yang cukup mengganjal perutku, hingga kini. Mungkin itu sebabnya saya dinamakan Baladungsai.
“Dungsai!” begitu sapaan mesraku yang pertama kali diikrarkan guru kesenian suatu ketika, “Apa cita-citamu kelak?” lanjutnya. Sontak saya berdiri dengan pikiran yang masih dalam keadaan bingung.
“Dokter, Bu!” jawabku mantap. Seketika seisi ruangan ramai oleh tertawaan kawan-kawan sekelas. Mereka mengumpat dan meledekku. Entah berapa banyak umpatan dan ledekkan mereka yang saya dengar. Yang jelas, telingaku hampir robek mendengar semua hinaan yang ditujukan khusus kepadaku, si Anak Koran.
“Hai Dungsai, kau tidak pantas menjadi seorang dokter. Lebih bijak kau pilih jalan pintas, menjadi pengusaha koran atau bunuh diri! Ahahaha…” sahut Gerhana, sang ketua kelas yang eksklusif disusul teriakkan dan komentar dari teman-teman lainnya. Guruku hanya tersenyum menutupi bibir tebalnya.
Kala itu, kalau saya bisa ingin rasanya saya menangis sejadi-jadinya. Mengapa saya dilahirkan tanpa Bapak dan Ibu? Mengapa saya dilahirkan di tengah-tengah komplek glamor dengan bangunan rumah dari Koran mentah? Ribuan pertanyaan lainnya terus saya lontarkan kepada pikiran kalutku. Namun, seketika teriakkan dan umpatan kawan-kawan sekelasku hilang kolam disapu ombak dikala seorang siswi melemparkan bukunya ke papan tulis dan berteriak, “Diam!”
Mata guruku melotot di balik kacamata bundarnya. Hidung peseknya dimekarkan seakan menahan marah. Alisnya di angkat dan bibir tebalnya manyun. Wajah hitamnya memerah dan sontak ia berdiri dan memukul meja sekeras ia mampu.
“Nomilae, apa yang kau lakukan?” suaranya menggema memenuhi seisi kelas. Kawan-kawanku menunduk, tak sanggup melihat wajah guruku yang nyaris sama ibarat ibu tiri Bawang Putih.
“Seharusnya saya yang bertanya, apa yang kawan-kawan lakukan? Mengapa mereka mentertawakan harapan sahabat kita? Tak ada salahnya, kan, bila Dungsai mempunyai harapan tinggi ibarat kita?” entah Nomilae mendapat kekuatan dari mana untuk menyampaikan hal ibarat itu.
“Kita memang berhak mempunyai harapan tinggi. Tetapi, harus sesuai dengan kondisi sosial kita!” sergah guruku membantah argumen Nomilae.
“Tapi…”
“Cukup Nomilae!” guruku murka besar. Tak mau urusannya menjadi panjang, ia menyeretku untuk keluar meninggalkan kelas. Tanpa ampun!
“Hey Nomilae, tunggu! Aku masih ingin belajar,” saya mencoba menahan langkahku dari seretan Nomilae.
“Untuk apa kau berguru kalau lingkungan sekitar tidak mendukungmu? Bukankah selama ini kau telah berguru banyak hal tanpa guru?” Nomilae terus berjalan tanpa melirik ke arahku.
“Tidak. Aku sama sekali tidak berguru selain di sekolah,” Sanggahku.
“Lalu, mengapa kau pintar? Mengapa cita-citamu ingin menjadi seorang dokter?”
“Aku hanya sering membaca koran sebelum risikonya saya jual”
“Nah, itulah yang membuatmu bisa berguru tanpa seorang guru”
“Tidak, guruku mengajarkan saya membaca”
“Lalu, apakah guru yang mengajarkanmu makan? Apakah guru yang mengajarkanmu untuk terus hidup? Apa kau hidup atas proteksi guru?”
“Tidak, saya dibantu oleh Tuhan”
“Itu dia, guru itu tidak ada bagimu. Kau orang yang sangat luar biasa yang bisa berinteraksi eksklusif dengan Tuhan. Jadi, kau tidak membutuhkan sekolah ini. pergilah, merantaulah, carilah orang yang bisa membawamu mengenal lebih erat akan penyelamatmu. Kau akan mendapat apa yang kau cita-citakan kalau kau pergi dari sini,” kata-kata terakhirnya membingungkanku.
Matahari sudah hampir karam seutuhnya, langit merekah berwarna merah yang tersebar di lautan angkasa yang luas. Hanya sebentar saya melirik keadaan sekitar. Kacamataku yang berembun sudah mulai mengering, saya kembali terpejam dan meneruskan perjalanan hidupku demi mengetahui jati diriku yang sesungguhnya.
Perutku mulai terasa lapar, sudah seharian penuh saya merantau. Masih tetap menggunakan celana merah yang kecokelatan. Hanya saja, bajuku sekarang telah berganti menjadi kaos pemberian calon anggota dewan yang pasarkan secara gratis ke setiap penduduk desa. Termasuk aku. Mungkin, kaos tipis yang kebesaran inilah yang merupakan kaos istimewa dan paling berharga bagiku sehabis kemeja putih kebanggaanku. Bukan lantaran bagusnya baju itu, melainkan lantaran memang hanya dua baju itulah yang saya punya.
Perutku sudah tidak bisa diajak untuk perundingan lagi. Aku sudah sangat nelangsa membawa perut butut yang terus merintih meminta sumbangan amal kebaikan. Tetapi sungguh, tak ada satupun barang yang bisa saya makan. Bahkan, di bak-bak kawasan sampah pun sudah tidak tersedia lagi kuliner yummy yang siap saya santap demi menebus amal kebaikan untuk perut bututku.
Seiring memuncaknya kemarahan perutku yang sudah tidak sanggup menahan lapar, pikiran jahat rupanya bisa merasukiku dan menundukkan logika sehatku. Terbersit dipikiranku untuk menyopet kuliner seorang wanita renta yang gres saja keluar dari sebuah minimarket. Tanpa berpikir panjang, kegilaanku menjadi lantaran memang perutku terus memberontak dan memaksaku untuk melaksanakan hal gila itu.
Aku berlari dengan kecepatan tinggi menuju wanita itu dan sengaja menabraknya. Selagi wanita renta itu menggertu, kurampas plastik yang ia pegang dan kembali bangun kemudian berlari pergi meninggalkannya yang masih berusaha untuk berdiri. Menyadari barangnya ada yang hilang, tahulah ia bahwa saya yang mengambilnya. Segera saja ia berteriak sambil berlari mencoba mengejarku, “Maliiiiing!” teriaknya.
Sontak orang-orang yang dilewatinya kaget mendengar teriakan itu. Seakan dikomando, mereka berlari mengejar dan mencoba mengepungku. Aku ketakutan dan berusaha berlari sekencang yang saya bisa. Dalam hati saya berdoa kepada Tuhan supaya Dia menyelamatkanku. Sialnya, saya berlari ke arah perumahan penduduk. Semakin banyaklah orang yang mengejarku hingga membuatku semakin ketakutan. Aku terus berlari, namun kejaran orang-orang cukup umur itu bisa mengalahkanku hingga saya tertangkap. Tanpa ampun saya dikeroyok habis-habisan. Bajuku koyak, wajahku memar hingga diriku tak sadarkan diri.
Kubuka mata dan melihat ke sekeliling, gelap. Dinginnya udara pantai merasuki diriku. Kali ini, genggamanku kepada kerang putih ini tak sanggup menghilangkan keganasan malam dan dinginnya yang hampir memuncak. Namun, saya tak mengalah dan tetap duduk pada posisi semula. Kini, semua pakaianku berair secara sempurna. Rambutku seakan enggan kering dan berair oleh percikan ombak yang kian membanjiri tepi pantai. Kacamataku yang kering kembali dihiasi embun, semakin tebal. Kupejamkan kembali mataku di bawah langit malam ini dan tersadar dikala seorang lelaki dengan bunyi lembut membangunkanku.
“De,” sapanya pelan sembari menggoyangkan tubuhku yang tengah tertidur di pojok ruangan yang gelap dan kotor. Aku terjaga dari tidurku, namun mataku masih enggan terbuka. Kupaksakan untuk membuka mata demi mengetahui siapa sosok lelaki yang menyapaku.
“Kamu kenapa bisa berada di kawasan ini?” tanyanya sejurus kemudian sehabis saya terbangun dan mencoba duduk. Sekujur badanku terasa sangat sakit kalau digerakkan. Aku keheranan dan mengerutkan kening mendengar pertanyaan lelaki itu, “Dimana?” tanyaku kepadanya. Sedikit heran, baju kami sama. Berwarna biru renta dan kebesaran. Tak lupa, dengan terang tertulis sebuah kata mengerikan yang dicetak tebal dan dengan abjad kapital, TAHANAN.
“Aku berada di penjara?” tanyaku heran. Lelaki itu mengangguk.
“Bagaimana kau bisa berada di kawasan ini?” nampaknya ia merasa lebih heran melihat seorang bocah masuk penjara.
“Aku menyopet!” kataku singkat, sedikit murung.
“Kau menyopet? Bagaimana bisa? Kau seorang bocah,” katanya seakan menghinaku.
“Ya, maka dari itu saya tertangkap”
“Mengapa kau menentukan untuk menyopet?”
“Aku lapar. Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Semua kolam sampah tidak menyediakan makanan. Otakku kalah oleh desakkan perutku yang memberontak ingin makan”
“Kasian sekali kau. Memangnya Bapak dan Ibumu kemana?”
“Aku tak punya orang tua”
“Lalu kau terlahir dari siapa?”
“Kata orang, saya terlahir dari alam. Aku ditemukan begitu saja di antara kerumunan rumah penduduk”
“Namamu siapa, bocah?”
“Baladungsai. Panggil saja saya Dungsai”
“Aku Malik Amrullah”
Dialah orang kedua yang mau berinteraksi denganku sehabis Nomilae. Orangnya baik, sopan, tampan pula. Ia ialah seorang dokter, katanya. Tetapi yang saya herankan ialah kenapa ia berada di penjara? Bukankah kawasan dokter itu di Rumah Sakit atau Apotek? Namun dengan keras kepala, ia tak mau membuka diri kenapa ia bisa dipenjara.
Akhirnya, dari dialah saya berguru banyak hal wacana ilmu kedokteran. Walau hanya bermodalkan imajinasi, saya merasa cukup jago melaksanakan praktik di umurku yang gres saja menginjak 12 tahun ini. Hingga risikonya saya bertekad bahwa hanya Malik yang akan menjadi guruku. Benar apa kata Nomilae, saya tak butuh guru. Cukup satu saja yang saya jadikan guru sebagai pemilik kepribadianku.
Lantas, istana besi ini menjadi saksi bisu bahwa saya tengah berlayar di gurun kedokteran. Hingga kini, saya berkelana dan menciptakan jejak pelayaran hingga saya terbangun di malam kelam dengan kerang yang tak lagi kugenggam. Selamat menyelam, malam!
THE END
Cipanas, 21 Februari 2013. 21:12 WIB
Oleh: Ahmad Kamal Ridho Al-Khudry
PROFIL PENULIS
Pengarang dengan nama pena tak jauh dari nama aslinya, yaitu Kamal Ridho Al Khudry ini lahir di Cipanas pada tanggal 20 Juli 1995. Sekarang ia sedang fokus untuk menghadapi Ujian Nasional 2013. Doakan ya! Cerpen pertamanya: Kutebus Cintamu dengan Doa sudah terlebih dahulu diterbitkan. Katanya banyak yang suka, lho! Makasih untuk para penyuka cerpen saya yang mempunyai kegunaan untuk membangun cerpen berikutnya. Nomor telepon bisa dihubungi di: 085814043364. Adapun facebook: Kevin Ridho ElKhudry. Selamat Membaca dan semoga terhibur ^_^