Seragam Lusuh - Cerpen Pendidikan

SERAGAM LUSUH
Karya Uum Umayah

Semua orang, tua-muda, tahu dengan panggilan si Didin, dekil dan item. Tapi saya tak mempermasalahkan hal itu, sebab pada kenyataannya saya ialah anak kampung yang dekil dan item. Siti Kakaku satu-satunya, yang kini duduk dibangku sekolah dasar kelas 6 SD. Kami tinggal di tempat terpencil dalam pedesaan. dan kami terlahir tidak jauh berbeda sehingga kami dilahirkan dengan jarak yang sangat dekat, kini saya kelas 5 SD. 
Hanya saja, setiap kali berangkat sekolah di tahun ini tidak sama. Terkadang saya berangkat sekolah pada pagi hari, terkadang pula siang hari. Begitu pun Kakaku Siti. Sekolahku yang menciptakan kami jadi bergonta-ganti jadwal masuk, sebab sekolahku sedang mengalami renovasi akhir angin puting-beliung topan dimalam hari. Namun akan ku ukir semua perjalanan ini menjadi perjuanganku dimasa mudaku.
“Ayo..bangun sit, ini sudah siang. Mau berangkat jam berapa kamu?” Ujar Ibu sambil membereskan baju yang akan dikenakan Kak Siti.
Sementara aku, sedang mengupas Kelapa, untuk menciptakan serabi yang akan Ibu jual. “Din, jangan lupa juga parutkan Kelapanya ya!.” “Iya.. Bu.” Jawab Didin.
Seragam Lusuh
Waktu mengambarkan pukul dua belas. “Kak siti belum juga pulang.” Masalah besar untukku. Setiap ingin berangkat sekolah, kami selalu tukar baju “di warung mang Sayuti.” Seragam lusuh satu-satunya yang kami punya. Dan kami tak mau ketinggalan untuk sekolah.
“Aku, berlari tergesa-gesa sambil menenteng sepatu.” “Aduhh,, Kak Siti di mana nih?. Ujar Didin dalam hati sambil menatap arah jalan yang biasa dilewati Kak Siti.

Tiba-tiba Siti tiba dengan baju yang berair dan kotor dari arah yang biasa ia lewati.
“Kakak...??”
“Didin.. maaf, Kakak telat.” Ujar Siti sambil melepaskan bajunya.
“Kok Kakak usang sekali pulangnya?”
“Ya.. Kakak minta maaf, Kakak tadi ada jam tambahan.” “Din, hari ini, kau tidak usah sekolah ya?”
“Kenapa Kak?” Tanya Didin, sambil menunjukan muka yang amat kebingungan.
“Soalnya.. bajunya kena air kotor tadi.” jawab Siti. “Tadi teman Kakak ada yang jail, akibatnya kena baju ini.” Siti menjelaskan kembali.

Baju yang biasa digunakan Didin dan Siti hanya satu-satunya yang kami punya. Kami tak mau menyusahkan ibu dengan penuh beban. Makanya kami selalu bergantian mengenakan seragam lusuh ini.
“Tidak!, saya mau tetap sekolah Kak.” Jawab Didin tegas sambil menunjukan mukanya yang sedikit sedih.
“Tapi, baju ini kotor Din.” Nanti kau dimarahin sama Bu Musri.! “sudah, lebih baik kita pulang kerumah, supaya Kakak basuh baju ini!.” Cecar Siti.
“Gak mau Kak, didin mau sekolah!.” “Nanti Didin dimarahin Bu Mus Kak, Didin sudah sering tidak masuk.” Didin tetap ngeyel untuk masuk sekolah.
“Mmm..ya sudah, kau pakai baju ini. Sekarang kau pergi sekolah, cepat nanti kau terlambat lagi.” Hati-hati yaa..?
“Iya, Kak.” Didin bahagia sebab ia bisa sekolah, meski bajunya sangat kotor. Setiba disekolah, Didin hatinya ternganga sebab berlari-lari yang mengejar waktu. Dengan bajunya yang kotor, lusuh, dan sedikit berair sebab air kotor tadi. Didin tetap masuk menuju ruang kelasnya. Didin tak mau telat masuk sekolah, sebab setiap ia telat maka Bu Mus tidak akan mengizinkan masuk. Sudah sering ia terlambat sebab menunggu Kak Siti yang belum juga pulang. Karena baju seragam yang digunakan Kak Siti juga digunakan Didin untuk sekolah. Malang memang nasib kami, jangankan untuk membeli baju seragam yang baru. Untuk makan sehari-hari pun kami harus kekurangan. Ibu yang menjadi seorang penjual serabi, tak setiap hari ia berjualan sebab harus kehabisan modal untuk membeli kebutuhan yang lain. Belum lagi para tetangga yang mengutang serabi Ibu. Ibu tak kuasa menolak, sebab Ibu sangat kasihan melihat tetangganya yang harus kelaparan sebab tidak punya uang untuk membeli makanan.
“Didin.. kenapa kau telat lagi? Dan kenapa baju kau kotor menyerupai itu?” tanya Bu Mus.
“Mm.. maa.. maaf Bu, tadi Didin jatuh dan kepleset di jalan sana.” Jawab Didin, dengan wajah yang amat ketakutan.
Aku sengaja berbohong, sebab saya tak mau orang lain tahu dengan baju yang selama ini saya pakai. Biarkan ini menjadi diam-diam saya dan Kak Siti. Aku juga sengaja berbohong pada Bu Mus. Agar Bu Mus mau percaya padaku dan tidak lagi mengeluarkan saya dari ruang kelas, sebab ulahku yang hampir setiap hari menciptakan Bu Mus kesal melihatnya. Perjuangan kami untuk terus sekolah begitu semangat. Hingga saya ingin melanjutkan di akademi tinggi sehabis saya tamat sekolah.

Sekolah Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas sudah kulewati, hanya Kak Siti yang tamat sampai Sekolah Menengah Pertama saja. Kami bergotong-royong mendapat beasiswa akan tetapi Kak Siti menentukan untuk mengurus Ibu dirumah sebab umur Ibu sudah tidak muda lagi.
“Bu saya ingin masuk ke akademi tinggi!.” Ujar Didin.
“Memangnya kau sanggup uang dari mana Din?.” “Biaya kuliah itu mahal lho Din.. kau bisa membayarnya?” Tiba-tiba Siti mencela.

Iya nak.. “Ibu sudah mustahil untuk membiayai kalian sekolah.” “Ibu tak punya apa-apa lagi nak.” Jawab Ibu.
“Tapi Bu, Didin ingin tetap kuliah, sebab Didin mau meneruskan impian Didin bu!.” Tegas Didin kembali.

Ya sudah.. “kamu boleh saja kuliah.” “Dan kejar cita-citamu itu. tapi ingat.!! jangan kau menyusahkan Ibu!.” Siti ketus menjelaskan.
“Kakak dan Ibu hening saja, Didin tidak akan menyusahkan kalian.” “Bu, Didin mohon maaf bila selama ini, Didin terlalu banyak menyusahkan Ibu.” “Dan kini Didin akan pergi dari rumah ini.” “Aku akan pergi ke Serang untuk kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Bu.” “Aku mendapat Beasiswa di sana”
“Memangnya kau siap pergi kesana?” tanya Siti kembali
“Insya Allah Kak.. saya siap untuk kuliah di sana!.” Ujar Didin dengan tegas dan penuh keyakinan.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba untuk Didin pergi ke Serang, barang-barang dan baju yang ia butuhkan sudah dikemas rapi di dalam kopor. Setelah shalat subuh Didin berangkat ke stasiun menunggu kereta api. Namun sebelum itu, Didin menemui kak Siti dan Ibunya untuk pamitan.
“Ibu, Kak Siti, Didin kini mau pergi ke Serang.” “Aku mohon Bu.” “Izinkan Didin untuk melangkahkan kaki ini, untuk mengejar apa yang Didin cita-citakan.” Didin meminta izin kepada Ibu dan kakaknya sambil meneteskan air matanya yang membanjiri kedua pipinya.
“Baiklah anakku.. Ibu izinkan kau pergi ke sana.” “Kejarlah cita-citamu nak.” “Semoga engkau menjadi penerus bangsa yang jujur dan bijaksana.”
“Terimakasih Ibu.. Didin akan selalu ingat dengan kata-kata Ibu.” “Didin hanya minta satu hal sama Ibu, Do’akan Didin Bu.” “Agar saya bisa mewujudkan cita-citaku, untuk menjadi orang yang bisa menolong rakyat kita dari kemiskinan ini.”
Didin bahagia sebab tak disangka ia telah mendapat restu dari Ibunya. Didin selalu menghormati keputusan yang diucapkan sang Ibu. Didin selalu menganggap Ibu ialah berlian permata yang dimiliki sepanjang hidupnya.
PROFIL PENULIS
Uum Umayah, lahir pada tanggal 01 juli 1993 di Serang Banten. lulus Sekolah Menengan Atas tahun 2011 dan kini menempuh jenjang S1 di akademi tinggi favoritku di Banten. cita-citanya ingin menjadi pendidik profesional dan seorang penulis.
alamat facebook Uum Umayah atau Umy Arridho atau uumayah85@yahoo.co.id

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel