Dukaku, Saat Kamu Mencintaiku - Cerpen Cinta Sedih
Jumat, 21 Maret 2014
DUKAKU, KETIKA KAU MENCINTAIKU
Karya Zakia An-Najma
Karya Zakia An-Najma
Petang menyapa keheningan malam dengan warna gelapnya. Bintang di angkasa tampak malu-malu mengintip dari balik awan. Mengintip sepasang anak Adam yang tengah memadu kasih. Siapapun yang melihat tak akan menyangka kalau mereka yaitu sepasang kekasih yang telah usang menjalin kekerabatan asmara alasannya mereka duduk saling mengujung.
“Sampai kapan kita akan berdiam diri mirip ini?,” ucap si cowok.
“Mas, tiga tahun lebih kita menjalin kekerabatan dan selama itu pula Mas Iqbal telah berubah menjadi sebagai semangatku. Aku nggak ingin mendung menciptakan semangatku kelabu.”
“Salsa, Mas nggak paham dengan apa yang kau ucapkan.”
Salsa menghela nafas masygul. Ia coba mengumpulkan secercah semangat yang masih tersisa.
“Salsa, katakan apa yang ingin kau katakan dan sandarkan apa yang ingin kau sandarkan padaku!”
“Udahlah Mas! Lupakan semua yang saya bilang tadi dan anggap saja saya mabuk udara malam!”
Iqbal tak sanggup memaksa. Ia berdiri dan mengajak Salsa untuk pulang.
“Lebih baik kita pulang! Angin malam ini, tidak bersahabat,” ajak Iqbal seraya mengulurkan tangannya.Salsa menyambut uluran tangan itu. Mereka saling diam hingga perjalanan itu terasa hambar bagi keduanya. Motor yang mereka kendarai telah hingga di rumah sederhana berwarna hijau muda. Salsa turun dan menghadap kearah pria yang ia harapkan sebagai tanggapan dari sujud panjangnya.
“Mas, maafin kata-kata ku tadi ya?”
“Iya, Mas percaya kok kalau kau nggak akan menyembunyikan apa-apa dari Mas mirip kepercayaan Mas atas kesetiaanmu.”
Salsa tersenyum tapi Iqbal melihat mendung di mata bintang bidadarinya. Ia merasa ada yang di sembunyikan tapi ia ingin berusaha untuk percaya pada kekasih yang selama ini menemaninya.
“Selamat malam ya qurota ‘aini. Semoga malammu indah. Jangan lupa berdoa biar malam selalu menjagamu!”
Dukaku, Ketika Kau Mencintaiku |
Salsa mengangguk dan segera mencium tangan Iqbal. Iqbal berlalu sehabis salamnya dijawab oleh sang pujaan. Salsa berjalan menuju pintu dan membukanya dengan setengah paksa.
“Mbak Salsa….”
Teriakan bunyi mungil itu mengagetkanya. Ia eksklusif merubah muka murungnya dengan muka murka setingan. Ia lihat dihadapannya sosok pemuda mungil berusia delapan tahunan berdiri dengan senyum tak berdosanya.
“Dedek... kau ngagetin saya aja. Awas ya kena, q gelitikkin!”
Kakak beradik itu berlari kejar-kejaran di dalam rumah. Mereka tertawa bersama.
“Kena kamu…,” ucap Salsa ketika ia berhasil menangkap adik semata wayangnya.
“Maaf Mbak… Azka ngaku kalah,” teriak Azka seraya menahan tawa.
“Kalau Mbak lepasin, Mbak sanggup apa hayoo…”
“Ntar saya kasih es krim deh,” bujuk Azka.
“Bisa dipercaya nggak nih?”
“Bisa donk… Azka kan anak yang jujur.”
“Masak?”
“Iyalah, kan Mbak sendiri yang ngajarin saya untuk selalu jujur.”
Salsa tersenyum mendengar ucapan polos itu.
“Iya deh Mbak Salsa percaya.”
Salsa melepaskan Azka dan anak itu segera berlari kebelakang. Salsa berdiri ketika sayup-sayup terdengar bunyi langkah yang begitu ia hafal mendekat. Langkah milik sang pelipur lara.
“Sayang, jangan terlalu capek! Ingat kondisi badanmu!”
“Iya Bunda, Bunda nggak usah khawatir gitu ah! Bunda kelihatan tambah bau tanah kalau begitu,” goda Salsa.
“Hayooo,” kaget Azka.
“Mbak Salsa….”
Teriakan bunyi mungil itu mengagetkanya. Ia eksklusif merubah muka murungnya dengan muka murka setingan. Ia lihat dihadapannya sosok pemuda mungil berusia delapan tahunan berdiri dengan senyum tak berdosanya.
“Dedek... kau ngagetin saya aja. Awas ya kena, q gelitikkin!”
Kakak beradik itu berlari kejar-kejaran di dalam rumah. Mereka tertawa bersama.
“Kena kamu…,” ucap Salsa ketika ia berhasil menangkap adik semata wayangnya.
“Maaf Mbak… Azka ngaku kalah,” teriak Azka seraya menahan tawa.
“Kalau Mbak lepasin, Mbak sanggup apa hayoo…”
“Ntar saya kasih es krim deh,” bujuk Azka.
“Bisa dipercaya nggak nih?”
“Bisa donk… Azka kan anak yang jujur.”
“Masak?”
“Iyalah, kan Mbak sendiri yang ngajarin saya untuk selalu jujur.”
Salsa tersenyum mendengar ucapan polos itu.
“Iya deh Mbak Salsa percaya.”
Salsa melepaskan Azka dan anak itu segera berlari kebelakang. Salsa berdiri ketika sayup-sayup terdengar bunyi langkah yang begitu ia hafal mendekat. Langkah milik sang pelipur lara.
“Sayang, jangan terlalu capek! Ingat kondisi badanmu!”
“Iya Bunda, Bunda nggak usah khawatir gitu ah! Bunda kelihatan tambah bau tanah kalau begitu,” goda Salsa.
“Hayooo,” kaget Azka.
Salsa dan bundanya reflex menoleh kearah Azka.
“Azka bawain es krim kesukaan Mbak Salsa nih,” ucap Azka dengan menunjukkan kedua tangannya yang memegang es krim.
“Wah, dua-duanya buat Mbak ya?”
“Yeee GR, satu buat saya dan satunya buat bunda jadi Mbak nggak sanggup bagianya…”
“Lho katanya bawain buat Mbak?”
“Aku bilang bawain buat Mbak tapi saya kan nggak bilang mau kasih ke Mbak weeks,” ujar Azka seraya menjulurkan lidahnya untuk menarik hati Salsa. Salsa eksklusif menangkap Azka yang udah nggak sanggup lari lagi.
“Udah Mbak,” teriak Azka.”Azka kan cuma bercanda………..”
“Kalau gitu mana es krimnya!”
“Ini… dasar nggak mau kalah ma adiknya…”
Salsa mengambil perilaku hirau terhadap apa yang di katakan oleh adiknya. Salsa senang dengan keadaan rumahnya. Walau ayahnya jarang berada disampingnya tapi ia telah mempunyai bunda dan adik yang sangat menyayanginya juga kekasih yang begitu mencintainya. Ups, ada yang ketinggalan yaitu sang kakak tercinta.
“Aduh-duh, makan es krim rame-rame kok Mas Alwi nggak di ajak?,” ucap Alwi dari balik pintu kamar.
“Siapa yang makan es krim rame-rame? Yang ada Mbak Salsa tuh yang makan es krim sendirian,” protes Azka.
“Wah, kalau gitu Mbak Salsa kita…. Serbuuuuu,” teriak Alwi yang di setujui oleh Azka.
Malam itu begitu membahagiakan bagi Salsa, tanpa ia ketahui di sudut waktu, orang yang paling mencintainya begitu gusar. Iqbal hanya sanggup membolak-balikkan badannya di atas pembaringan. Sebuah pikiran menghantuinya. Perkataan Salsa mau tak mau telah menyita sebagian besar pikirannya.
“Ya Allah, beri saya ketenangan dan keyakinan atas cinta yang telah KAU anugrah kan antara kami!”
Iqbal memejamkan mata dan memaksakan diri untuk tidur. Bagaimana pun ia tak boleh menyiksa tubuh yang dari pagi telah menahan rasa capek.
Pagi telah menyapa dunia. Salsa juga telah berkemas-kemas untuk menunaikan kebutuhannya untuk mengurangi kehausannya wacana ilmu. Ia kini tercatat sebagai mahasiswi sebuah universitas di kota kelahirannya itu.
“Assalamu ‘alaikum.”
Samar-samar ia mendengar bunyi Iqbal mengucap salam. Salsa segera menuntaskan acaranya di depan cermin dan melangkah menuju ruang tamu. Dilihatnya Iqbal tangah berbincang asyik dengan kakaknya. Iqbal memang telah melebur dalam keluarganya dan ia diterima dengan senang hati apalagi oleh Alwi alasannya Iqbal itu sahabat seangkatan Alwi semenjak SMA. Hubungan keduanya memang telah direst oleh kedua keluarga.
“Wah asyiknya ngobrol berdua sampai-sampai saya yang telah berdiri dari tadi di sini nggak diperhatikan sama sekali.”
Iqbal tersenyum melihat raut wajah itu.
“Siapa suruh berdiri disana? Sok malu-malu padahal udah kangen kan?,” goda Alwi.
“Ihhhh Mas Alwi apa-apaan sih? Au ah. Berangkat aja yuk!,” ajak Salsa seraya menarik tangan Iqbal.
“Nggak pamitan ma bunda kau dulu?,” Iqbal mencoba mengingatkan.
“Oh iya, hingga lupakan aku. Gara-gara Mas Alwi nih.”
Alwi yang mendengar perkataan adiknya itu hanya sanggup menekuk muka.
“Kok Mas Alwi yang disalahin? Itu kan salah kau yang main berangkat aja. Keburu mau berduaan di kampus tuhhh.”
Salsa takmenghiraukan godaan kakaknya itu dan eksklusif menemui ibunya yang sedang di dapur menyiapkan sarapan.
“Lho kau nggak sarapan dulu?”
“Ngaak ah Bun, ntar saya sarapan di luar aja sama Mas Iqbal,” ucap Salsa.
”Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Iqbal dan Salsa meluncur ke kampus. Mereka satu universitas hanya mereka beda semester. Iqbal memasuki semester lima sedangkan Salsa masih tahun ini masuk universitas. Mereka tidak eksklusif menuju ruang kelas masing-masing ketika hingga tapi mereka menentukan untuk mendatangi kantin alasannya Iqbal mengetahui bahwa Salsa belum sarapan.
“Ke kantin aja ya?,” ajak Iqbal.
“Kenapa ke kantin?”
“Kamu kan belum makan. Aku nggak ingin kau sakit. Ntar kalau kau sakit saya gimana?”
“Ahh, saya malas makan.”
“Kenapa kok malas makan?”
“Ya malas aja.”
“Jangan gitu donk! Kamu mau apa deh saya kasih pokoknya kau harus makan,” rayu Iqbal. Salsa akal-akalan berfikir untuk menarik hati sang kekasih.
“Aku mau es krim,” pinta Salsa. Iqbal tersenyum paham. Ia memang telah menduganya.
“Tapi ini kan masih pagi. Setelah kuliah nanti Mas belikan,” bujuk Iqbal.
“Emangnya ini pasar pakek program tawar menawar?”
“Tapi makan es krim pagi-pagi itu nggak sehat lho.”
“Nggak peduli,” bantah Salsa. Iqbal terpaksa menyerah alasannya kalau nggak dibeliin es krim niscaya Salsa ngambek nggak selesai-selesai.
“Ya udah Mas beliin tapi kita makan dulu gimana?”
“Oke.”
Akhirnya Salsa menurut. Sesekali Iqbal melirik gadis yang berada disampingya. Kegelisahan semalam muncul kembali. Ia ingin membuang rasa itu tapi kegelisahan itu bagai boomerang yang muncul kembali kepermukaan hatinya.
“Mas…,” teriak Salsa.
“Ada apa ya habibaty ?” tanya Iqbal mengerling nakal.
“Mas kalau jalan jangan sambil ngelamun!!!”
“Mas nggak nglamun kok. Mas itu Cuma gres menyadari bahwa sosok disamping Mas itu sungguh cantik,” goda Iqbal.
“Gombal deh.”
“Gombal itu apa bukan kain rusak yang udah nggak di pakek? Kamu kira perkataan Mas ini kain rusak?”
“Au ah… ,” ucap Salsa seraya berjalan lebih cepat. Iqbal mengejar Salsa yang bermuka marah.
“Gitu aja ngambek.”
“Biarin……….”
Mereka tiba di kantin kampus. Mereka tengah menunggu pesanan yang belum tersaji.
“Udah donk! Masa ngambeknya nggak selesai-selesai?”
“Aku mau berhanti ngambek kalau Mas mu beliin saya es krim.”
“Iya dech… .”
“Wah tambah hari tambah mesra aja nich.”
Suara itu membuyarkan program mereka. Mereka reflex menoleh kearah sumber suara. Mereka melihat sesosok pemuda tengah berdiri tegap dihadapan mereka. Sesosok pemuda yang sanggup dibilang ganteng tapi sayang, ketampanannya tertutup oleh perilaku sombongnya. Kedatangannya sudah niscaya sama dengan hari-hari kamarin, untuk menarik hati Salsa. Seantero kampus juga sudah tahu wacana ketertarikannya dengan Salsa.
“Reza, kalau kedatanganmu untuk mengganggu kami, lebih baik kau urungkan saja niat itu!,” ujar Iqbal dengan bunyi bariton.
“ Punya hak apa kau nglarang aku? Walau Salsa itu pacarmu tapi janur kuning belum melengkungkan? Makara semua kemungkinan sanggup terjadi.”
“Rez, udahlah! Apa kau nggak capek terus-terusan mengerjakan hal yang nggak mempunyai kegunaan kayak gini?,” Salsa angkat bicara.
“Nggak ada kata capek dalam kamus seorang Reza. Kamu lihat saja! Suatu hari akmu akan menyadari bahwa akulah orang yang akan menjadi sandaranmu,” ancam Reza seraya melangkah pergi. Mood mereka eksklusif hilang bersama angin.
“Kenapa nggak dihabisin makanannya?”
“Nggak ah Mas, selera makanku hilang. Lebih baik kini kita pergi makan es krim,” ajak Salsa. Iqbal tersenyum mendengarkannya.
“Ya udah…”
Mereka mencari daerah yang nyaman untuk memakan es itu. Mereka menentukan untuk duduk dibawah rindangnya pahon akasia. Mereka menikmati pagi itu dengan senyum.
***
Malam berubah menjadi menggantikan siang. Bulan menggantikan kiprah sang surya untuk menyinari bumi. Malam ini Iqbal dan Salsa menciptakan komitmen untuk bertemu di daerah favorit mereke yaitu di sebuah bangunan yang belum sempurna. Mereka menikmati malam penuh bintang ditemani oleh sebuah es krim.
“Mas, boleh saya bertanya?”
“Tapi nggak wajib Mas jawab kan?”
“Ihhh, yang namanya pertanyaan itu ya wajib dijawab,” ucap Salsa geram.
“Iya dech, emangnya kau mau tanya apa sich?,” tanya Iqbal seraya mengacak-acak rambut kekasihnya. Salsa membuang tangan itu cepat.
“Mas, jangan acak-acak rambutku! Akukan bukan anak kecil lagi. Aku ini udah mahasiswi,” ucap Salsa manyun.
“iya iya. Mas percaya kok kalau kau itu udah mahasiswi tapi bagi Mas kau itu masih Salsa kecil yang tomboy.”
“Ya udah saya nggak jadi tanya kalau gitu.”
“Eits, jangan ngambekan gitu ah! Ntar cantiknya hilang lho!”
“Siapa yang ngambek? Aku nggak ngambek kok. Buktinya saya tersenyum hehehe.”
“Percaya-percaya. Sekarang kau mau tanya apa?”
“Hmmm, seberapa besar sayang Mas ke aku?”
“Kenapa kau tanya itu?,” Iqbal balik bertanya.
“Mas tinggal jawab kok.”
“Ehhmmm, seberapa ya?”
“Kok pakek program berpikir? Berarti sayang Mas ke saya bukan perasaan tapi pikiran?”
“Tentu saja sayang Mas ke kau itu dari perasaan alasannya itu Mas kasih tahu kalau sayang Mas ke kau itu mirip ujung kuku pada jari kita.”
“Jadi sayang Mas ke saya itu cuma seujung kuku?,” ujar Salsa cemberut. Iqbal memegang dagu Salsa dan menghadapkan padanya. Ia paksa mata bintang Salsa untuk menyatu dengan mata elangnya.
“Sayang Mas ke kau mirip ujung kuku. Karena walaupun ujung kuku di potong berkali-kali akan tetap tumbuh, sama mirip cinta Mas ke kamu. Walaupun banyak yang berusaha memotong cinta Mas ke kau tapi cinta dan kasih Mas akan tetap tumbuh dan tumbuh. Kamu ngerti?”
Salsa mengangguk dalam haru. Ia menangis dalam dekapan sang kekasih.
“Sekarang giliran Mas yang bertanya wacana kasih dan cintamu pada Mas!”
Salsa mengangkat kepalanya dari dada bidang Iqbal. Ia memandang langit. Pandangan yang di ikuti oleh Iqbal.
“Kalau cintaku, mirip keberadaan bintang.”
“Maksudnya?”
“Coba Mas lihat mereka!” ucap Salsa seraya menunjuk jutaan bintang yang memukau kolam permadani bertabur jutaan berlian tak ternilai harganya.”Walau mereka kecil tapi mereka menaburkan kebahagiaan. Walau mendung kelam tapi mereka tetap ada. Walau surya menghadang sejatinya mereka tak hilang, begitu juga cintaku. Walau suatu ketika nanti angin puting-beliung menghalangi tapi cintaku tetap terpatri disini, di hatiku yang paling dalam.”
Mereka benar-benar menikmati malam penuh gemerlapan bintang tanpa disadari bahwa inilah titik balik kekerabatan mereka.
***
Hari-hari berjalan tanpa makna. Iqbal lemas ketika mengetahui bahwa cinta sang kekasih telah bercabang. Hari itu, ia melihat Salsa tangah bercanda mesra dengan Reza. Sakit dan murka memenuhi rongga dadanya. Ia datangi mereka.
“Apa-apaan ini?,” hardik Iqbal dengan bunyi gemetar.
“Oh kau Iqbal,” ucap Salsa tanpa dosa. Iqbal menggeram menahan gejolak amarah. Tapi ia ingin bersikap wajar. Iqbal menghela nafas dan membuangnya dengan paksa.
“Bisa jelaskan sesuatu pada Mas!,” pinta Iqbal seraya memandang Salsa yang tetap melingkarkan tangannya pada lengan Reza. Reza tampak tersenyum sinis pada Iqbal seolah Iqbal telah kalah dalam sebuah pertarungan. Pertarungan merebutkan sebuah cinta.
“Penjelasan apa yang kau butuhkan? Tentang kedekatan kami? Dengar ya! Aku udah nggak sanggup menjalani hidup sama kamu. Rasa kasih sayang dan cintaku itu udah habis buat kamu. Sekarang saya telah menemukan cinta yang lain dalam sosok Reza.” Perkataan Salsa yang gamblang itu begitu menusuk hati Iqbal. Apalagi dengan senyum tak berdosa itu.
“Kenapa? Kamu dulu kan….”
“Itu dulu tapi kini sudah berbeda,” potong Salsa cepat.
“Udahlah Brow! Kalau ia nggak mau and udah bosan ma kau ya jangan dipaksa!”
“Aku nggak maksa. Aku hanya butuh klarifikasi dan kejelasan,” bela Iqbal.
“Penjelasan apa lagi? Kamu ingat ya, dukaku yaitu ketika kau mencintaiku.”
Salsa pergi bersama Reza meninggalkan Iqbal yang masih merenungi apa yang gres terjadi. Begitu cepatkah cinta itu hilang dari hatinya?
“Udahlah! Cewek itu nggak pantas kau sedihi kepergiannya. Yang pantas kau sedih kepergiannya yaitu orang yang nggakakan pernah ninggalin kamu!”
Suara lembut itu singgah di gendang telinganya. Kepalanya menoleh dan di temukannya gadis anggun sahabat seangkatannya. Gadis itu tersenyum penuh pengertian. Iqbal ingin membalas senyum itu tapi ia tak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Ia begitu sakit. Salsa yaitu cinta pertamanya dan ia pernah berharap bahwa itu juga akan menjadi cinta terakhirnya. Tapi, kenapa keadaan berbalik 〖180〗^0? Entahlah, ia benar-benar nggak mengerti.
“Udahlah! Lebih baik kita pergi keluar. Sekali-kali absen matkul nggak pa-pa kan? Lagi pula nanti itu waktunya Pak Arif jadi nggak akan sanggup problem dech kita,” ajak gadis itu.
Iqbal hanya berdasarkan saja ketika tangannya di tarik oleh Anggun. Ia udah nggak mempunyai kekuatan untuk menolak. Sebenarnya ia tahu bahwa Anggun telah usang memendam rasa pada Iqbal. Setalah itu Iqbal bagai kerbau di cocok hidungnya oleh Anggun.
Alwi yang mengetahui tantang berakhirnya kekerabatan sang adik dengan kekasihnya tidak sanggup tinggal diam. Ia mengetahui betapa pasangan itu saling menyayangi tapi kenapa berakhir???
Siang itu, tepat seminggu kekerabatan Iqbal dan Salsa berakhir. Mereka tampak enjoy dengan pasangan masing-masing. Iqbal dengan Anggun dan Salsa dengan Reza. Benarkah cinta itu telah pupus??? Terik sang surya tak menghalangi langkah Alwi untuk menemui Iqbal yang sedang bersama Anggun di kantin kampus.
“Iqbal, ada waktu nggak? Aku mau bicara sesuatu.”
“Tentu. Masa saya nggak punya waktu buat temen aku. Nggun, saya pergi dulu ya?”. Alwi dan Iqbal bersiap melangkahkan kaki ketika bunyi Anggun terdengar.
“Tunggu!” panggilan Anggun itu memaksa mereka untuk berhenti dan berbalik.
“Ada apa?” tanya Alwi.
“Aku minta tolong ke kau untuk nggak menghancurkan hubunganku dengan Iqbal. Jangan kau pengaruhi ia untuk kembali ke adikmu dan meninggalkan aku! Kamu juga tahu kan kalau saya udah memimpikan ini dari pertama kita masuk ke kampus ini?”
“Kamu tenang saja! Aku nggak akan mensugesti Iqbal kok. Aku hanya ingin semua ini clear. Mereka memulainya dengan baik dan walaupun berakhir juga harus dengan baik.”
Mereka meninggalkan Anggun yang masih menyimpan kecemasan. Mereka agak menjauh dari tampat itu.
“Ada apa sih Brow?”
“Aku hanya ingin tahu apakah kau udah melupakan adikku?”
“Buat apa kau tanya mirip itu?”
“Aku hanya ingin memastikan apa yang bahu-membahu terjadi? Setahuku kalian nggak pernah bertengkar tapi kenapa tiba-tiba putus?”
“Al, dari dulu kau tahu kalau saya begitu sangat menyayangi adikmu. Bahkan saya ingin sanggup berada terus disampingnya. Aku jugu ingin menjadi imam disetiap qiyamul lailnya. Tapi, itu semua hanya akan menjadi kenangan.”
“Kalau begitu, kenapa kau nggak memperjuangkan cintamu?”
“Untuk apa? Jika cintaku hanya menjadi murung baginya lebih baik saya pergi. Aku nggak ingin memaksanya untuk bersamaku kalau ia tak bahagia. Aku nggak ingin ia menderita kalau bersamaku. Biarkan ia pergi dengan cintanya dan saya akan membangun cinta yang lain. Cinta itu memang sakit kalau nggak mempunyai tapi kadang itulah yang terjadi.”
“Tapi apa kau tahu kalau adikku tersiksa? Ia nggak mau makan. Ia kurang tidur dan sering ketahuan tengah melongo semenjak ia pisah denganmu dan mendengar kabar kedekatanmu dengan Anggun,” terperinci Alwi.
“Kamu nggak usah berbahong! Kalau ia mencintaiku kenapa ia putuskan kekerabatan ini secara sepihak?”
“Itu juga yang nggak saya ngerti. Berkali-kali saya tanya tapi ia tak pernah mau menjawab.”
“Udahlah! Aku udah nggak mau berharap pada sesuatu yang semu,” ucap Iqbal seraya melangkah menjauh.
“Iqbal!!!!!” teriak Alwi geram.
***
Kelamnya awan di senja itu bagai kelamnya hati Iqbal. Perkataan Alwi menghantuinya. Benarkah cinta Salsa masih tersisa untuknya?
“Le, kenapa kau lesu begitu?”
Pertanyaan dari orang yang telah melahirkannya menciptakan pikirannya kembali ke jasadnya. Ia lihat ibunya tengah duduk di samping ranjang dimana ia berbaring.
“Nggak apa-apa kok Bu. Iqbal hanya kecapekan aja alasannya banyak tugas,” elak Iqbal.
“Kamu yakin?”
Pertannyaan itu hanya di jawab oleh anggukan kepala oleh Iqbal. Ia tak ingin ibunya tahu kalau hubungannya dengan Salsa telah berakhir. Ia tahu, betapa ibunya sangan menyayangi Salsa dan berharap Salsalah yang akan mendampingi masa tuanya bersama sang putra tunggalnya.
“Oh iya, ibu udah usang nggak lihat Salsa tiba kemari. Kamu lagi bertengkar ya?”
Iqbal gelagapan. Ia galau harus bagaimana menjawabnya. Ia nggak ingin berbahong tapi jikalau ia jujur itu niscaya sangat menyakitkan bagi ib unya.
“Ada apa Le?”
“Hmmm, anu Bu, Salsa juga lagi banyak kiprah jadi belum sanggup tiba kesini,” jawab Iqbal dengan menahan rasa bersalahnya. Maafkan iqbal, Bu! Iqbal nggak bermaksud berbohong sama Ibu, tapi Iqbal nggak punya cara lain, batin Iqbal
“Oh ya sudah kalau begitu. Ibu titip salam saja untuk Salsa!”
“Iya Bu.”
Tetes demi tetes tangis langit mulai membasahi bumi. Hujan menambahkan kenyamanan berada di bawah selimut senja itu. Salsa tengah menikmati hujan di dalam kamarnya. Ia biarkan hujan menerpa wajah lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar-lebar. Ia tengah berkelana ke masa kemudian ketika cintanya masih bersama. Ia bahkan tak mendengar ketika pintu kamarnya terbuka dan namanya di panggil. Hingga sebuah tangan mendarat halus di pipinya.
“Ihhh, apa-apaan sih Mas?”
“Hujan Dek, kenapa jendelanya kau buka? Udaranya hambar lho!”
“Ahhh, Mas cerewet. Aku kan lagi menikmati hujan pada senja ini.”
“Ntar kau sakit lho Dek!!!”
“Paling-paling cuma demam atau masuk angin doang. Aku nggak akan mati alasannya itu.”
Alwi hanya sanggup menghela nafas. Adiknya memang keras kepala. Tapi ada suatu hal yang ingin ia tanyakan.
“Dek, Mas boleh tanya sesuatu?”
“Tanya aja! Nggak ada undang-undang yang nglarang kok.”
“Kenapa kau putusin Iqbal secara sepihak? Mas tahu kalau kau masih mencintainya tapi kenapa kau lakuin ini?”
Raut wajah Salsa berubah. Ia tak suka masalahnya dengan Iqbal di campuri oleh orang lain walau itu kakaknya sendiri.
“Itu bukan urusan Mas, dan saya harap Mas nggak ikut campur. Mas harus percaya kalau apa yang saya lakukan untuk kebaikan bersama. Aku nggak ingin ia nmencintaiku. Yang saya inginkan yaitu ia membenciku atau bahkan melupakanku. Dan Mas nggak perlu tahu alasannya.”
***
Beberapa hari Iqbal tidak menemukan bayangan Salsa di kampus. Ia ingin memastikan kebenaran ucapan Alwi, tapi ia tak sanggup menemukan Salsa. Ia terus mencari kolam seorang anak yang kehilangan ibunya. Ia lihat sosok Reza tengah berpegangan tangan dengan gadis lain. Amarah menyelimuti rongga dada Iqbal. Ia segera mendatangi Reza dan memberinya sebuah bogem mentah hingga Reza tersungkur di atas tanah. Gadis di samping Reza menjerit. Reza berdiri dengan amarah yang sama.
“Apa-apaan sih? Datang-datang main pukul aja,” Bentak Reza.
“Kamu… kau selingkuh Salsa? Kenapa?”
“Hahahahaha, saya nggak mungkin menaruh suka pada cewek penyakitan kayak dia.”
“Apa maksudmu?”
“Jadi kau belum tahu? Aduhhh, kasian banget. Cewek yang kau sukai itu kini sedang terbaring bersama selang infuse alasannya penyakit leukimianya udah masuk stadium akhir.”
Bagai petir di siang bolong, isu itu begitu menyengatnya. Ia segera berlari tanpa memperdulikan Reza lagi. Ia ingin segera mengetahui kondisi bidadarinya. Ia terus melajukan kendaraannya melawan waktu. Ia tak ingin waktu mengambil gadis yang selama ini begitu ia cintai.
Ia segera mencari ruang dimana Salsa berada tapi ketika ia telah sampai, semua orang menatapnya dengan fatwa tangis. Ia semakin takut. Ia meresa sayap-sayap malaikat ajal tengah mengintai mereka.
“Ada apa? Salsa baik-baik saja kan?” tanya Iqbal panik.
Alwi memeluknya. Mencoba menenangkan sahabatnya.
“Tenanglah! Salsa masih di periksa oleh doker. Lebih baik kita berdoa! Bukankah kau pernah bilang bahwa tidak ada yang sanggup melawan takdir kecuali doa?”
Ia pergi menuju musolla rumah sakit. Ia wudhu dan melaksanakan shalat hajat.
Ya Allah, Kau Maha Tahu Segalanya. Aku hanya hamba-Mu yang tak berdaya tanpa-MU. Aku hanya seorang hamba yang hina, tapi hanya Engkau-lah yang sanggup menolongku. Hamba juga tahu Engau telah mengasihiku.memberikan nikmat yang bahkan saya tak menyadarinya.
Ya aziz, betapa Kau tahu bahwa saya begitu mencintai-Nya. Bahwa ia tak pernah lupa mengajakku selalu bersujud pada-MU. Hamba mohon berkahi ia! Aku tak meminta-Mu untuk tak mengambilnya alasannya saya tahu Kau lebih berhak akan dirinya di banding siapapun tapi setidaknya beri saya waktu untuk meminta maaf dan menyampaikan bahwa saya sangat mencintainya!
“Iqbal! Salsa siuman dan ingin bertemu denganmu,” ucap Alwi.
Iqbal bergegas menemui Salsa. Ia melihat bidadarinya tergeletak lemah tak berdaya. Ia duduk disampingnya.
“Sayang, kenapa denganmu. Lama tak ku dengar dongeng dari penggalan alenia kehidupanmu. Maafkan Mas yang tak paka dengan rasa yang ka derita. Kenapa derita ini kau tanggung sendiri? Bukankah masih ada saya sebagai tempatmu bersandar? Kamu harus ingat bahwa ini bukan hanya deritamu tapi derita kami semua! Sembuhlah! Maafkan saya yang tak peka terhadapmu. Kalau kau sudah sembuh akan Mas belikan es krim.”
Salsa berusaha untuk tersenyum. Senyu datar di bibir pucatnya. Salsa melihat mata elang kekasihnya memerah menahan tangis. Juga intel yang ada di sekelilingnya.
“ Mas nggak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya meminta sebuah maaf untuk ukiran luka yang ku sematkan. Aku mohon, jangan tangisi kepergianku! Berjuanglah! Bukan hanya untuk dirimu tapi berjuanglah juga untukku! Tersenyumlah Mas! Aku sangat merindukan senyummu.”
Iqbal mengangguk dan berusaha tersenyum walau senyumnya ibarat lengkungan patah. Salsa memandang bunda yang selama ini telah membesarkannya.
“Bunda, ikhlaskan saya kembali ke pangkuan Sang Pencipta!” pinta Salsa.
“Iya nak, bunda akan berusaha mengikhlaskanmu,” jawab bunda menahan tangis.
Salsa menarik nafas berulang kali. Matanya melotot menghadap langit-langit. Melihat itu, Iqbal eksklusif mendekat ke indera pendengaran Salsa dan menuntunnya membaca syahadat. Salsa tersenyum dan mengikutinya. Sinar matanya mulai meredup. Ia mengambil nafas dan menghembuskannya dengan paksa tapi sehabis itu tak ada nafas gres yang bertukar.
“Innalillahi wa inna ilahi riji’un,” ucap Iqbal. Ia bukannya tak hancur dengan kepergian sang kekasih, tapi ia telah berjanji untuk tidak menangis. Ruang rumah sakit itu kini banjir dengan air mata.
***
Senja itu menyelimuti langit dengan warna darah. Warna yang sangat menyedihkan. Sesedih hati Iqbal. Ia berada di atas bangunan kenangan. Setelah pemakaman selesai, ia pergi ke daerah yang biasa ia kunjungi bersama almarhumah. Ia mengambil rekaman yang di berikan oleh Alwi tadi sebelum ia pergi. Rekaman bunyi Salsa. Ia mulai memutarnya.
Hai Mas, maaf ya saya udah menciptakan Mas sedih tapi Mas harus selalu semangat. Oh iya, maaf juga nggak memberitahu keadaanku ke Mas alasannya saya nggak ingin Mas bersedih. Mas, darah rendahku memang telah berubah menjadi leukemia dan saya nggak ingin siapapun tahu. Eits, jangan cengeng begitu ah! Mas jaga kesehatan ya! Oh iya lupa lagi, jangan sampek merokok! Mas kan tahu saya benci asap rokok. Hehehehe. Doakan saya ya! Agar saya tenang disini!
Suara itu terdengar begitu ceria padahal sakit yang ia rasakan……… ah nggak sanggup diungkapkan dengan kata-kata. Entah hingga kapan murung akan tetap menyelimuti seorang Iqbal???
Tulungagung, 19 Januari 2013 11:34 WIB
Untuk pemilik dongeng dan untuknya yang telah hening dalam pankuan Robb-nya. Hidup bukanlah suatu keabadian tapi ladang untuk menjalani hidup yang abadi.
PROFIL PENULIS
Aku berjulukan Amilia Zakiatul Fitria Kusuma dengan nama pena zakia an-najma. kini saya merancang masa depan di STAIN Tulungagung. q berasal dari kota patria blitar.