Pesan Bapak - Cerpen Kritik Sosial
Rabu, 05 Agustus 2015
PESAN BAPAK
Karya Lukita Mardhiah
"...sampai bisa berada di posisi orang-orang yang menyerukan, 'Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!', Nak..."
Sebuah dongeng yang mungkin masih bisa mengetuk hati seseorang yang berdasi untuk merasakannya.
***
Hari ini, dua hari terakhir sebelum anak sekolah harus keluar dari zona nyaman mereka. Hari ini, Pak Tono mengajak kedua anaknya, Budi dan Ani, yang keduanya masih duduk di dingklik sekolah dasar ke kiosnya di Stasiun Universitas Indonesia. Pak Tono berencana untuk mengajak anaknya pergi ke toko buku untuk membeli peralatan sekolah alasannya setiap malam selama liburan, kedua anaknya selalu mengeluh, "Pak, tas sekolahku sudah rusak."
Sebuah dongeng yang mungkin masih bisa mengetuk hati seseorang yang berdasi untuk merasakannya.
***
Hari ini, dua hari terakhir sebelum anak sekolah harus keluar dari zona nyaman mereka. Hari ini, Pak Tono mengajak kedua anaknya, Budi dan Ani, yang keduanya masih duduk di dingklik sekolah dasar ke kiosnya di Stasiun Universitas Indonesia. Pak Tono berencana untuk mengajak anaknya pergi ke toko buku untuk membeli peralatan sekolah alasannya setiap malam selama liburan, kedua anaknya selalu mengeluh, "Pak, tas sekolahku sudah rusak."
Pesan Bapak |
Sejak Sang Ibu berpulang akhir penyakit kanker payudara yang telat diobati alasannya hambatan biaya, Pak Tono harus bisa berperan sebagai ibu dan ayah sekaligus. Untuk problem kali ini, Pak Tono harus menyediakan waktu menemani kedua anaknya membeli peralatan sekolah baru. "Nah, Budi dan Ani duduk disini dulu ya, jangan kemana-mana. Nanti, setelah Shalat Dzuhur kita pergi ke toko buku untuk membeli peralatan sekolah baru," ujar Pak Tono merendahkan tubuh kepada kedua anaknya yang duduk di dingklik panjang dalam kiosnya. Mereka mengangguk.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Stasiun UI tiba-tiba saja ramai dikunjungi orang berseragam Polisi. Ani yang masih duduk dibangku kelas 2 SD merasa absurd dengan pemandangan orang berseragam ini. Ia kemudian bangun dari duduknya berlari menuju peron stasiun untuk melihat dengan terang orang-orang tersebut. "Ani! Mau kemana? Pesan Bapak, kita dilarang pergi kemana-mana, kalau-kalau nanti Bapak mencari kita tetapi kita tidak ada, kita bisa jadi Bapak murka dan tidak jadi membelikan kita peralatan sekolah baru!" teriak Budi dari dalam kios berukuran 3x3 meter itu. Ani menoleh ke arahnya, "Tapi, Bapak juga sedang disana, Kak. Ani juga mau melihat kesana, Ani mau melihat orang-orang itu, Kak! Disana juga banyak orang berseragam warna kuning, Kak." Budi yang ingin tau kesannya ia bangun dari kursi panjang. Ia bergegas keluar kios kecil itu dan menuju peron stasiun.
Budi melihat ada orang-orang berseragam cokelat susu sedang berhadapan dengan orang-orang berjaket kuning. Orang-orang yang memakai jaket kuning terus berteriak memakai sebuah alat elektronik berbentuk corong dan berdiri di atas kotak kayu. Tidak terang apa yang mereka sorakkan, sebagian yang Budi dengar hanya kata-kata, "Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!" yang berulang-ulang. Budi bertanya-tanya apa yang sebetulnya sedang terjadi di daerah Bapak mencari uang untuk kami sekolah?
Budi terus berusaha mendengar apa yang disorakkan oleh orang berjaket kuning itu, tetapi selalu gagal alasannya terlalu panjang. Yang ia dengar hanya, "Kami menolak penggusuran!". Namun, apa itu penggusuran?
Dari jauh, Pak Tono berjalan tergesa-gesa menuju kedua anaknya yang sedang berjinjit-jinjir dari peron ke halaman depan Stasiun Universitas Indonesia. "Budi, Ani, kok di luar? Bapak kan berpesan kepada kalian untuk tetap di dalam kios saja, nanti setelah Dzuhur, kita pergi mencari peralatan sekolah," kata Pak Budi sambil merangkul kedua anaknya. Budi dan Ani terdiam.
"Pak, orang-orang diluar yang pakai baju cokelat dan kuning itu siapa?" tanya Ani sambil menunjuk ke arah luar. Pak Tono menghela napas panjang dan mengelus rambut kedua anaknya itu, "Bukan siapa-siapa, Nak..."
Budi masih tidak percaya, ia bertanya lagi, "Kalau penggusuran itu apa, Pak? Daritadi, Budi dengar kata-kata itu dari orang-orang berjaket kuning itu." Pak Tono menatapnya. Bagaimanapun, Budi sudah kelas 5 SD dan ia niscaya mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Pak Tono menjawab lirih sambil terus menatap ke arah orang-orang itu berkumpul, "Mungkin jikalau orang-orang berjaket kuning itu tidak ada, Bapak mungkin tidak bisa berjualan Siomay lagi disini, Nak..." Budi menatap bapaknya yang semakin menua. Rambut putih ia mustahil disembunyikan lagi alasannya sudah semakin banyak. Begitu juga kantung mata yang sudah semakin lebar seolah-olah menyiratkan keletihan akan problem yang terus menimpanya. "Tetapi, apa yang sedang dipikirkan Bapak?" pikiran Budi berkecamuk.
"Kalau Bapak tidak bisa berjualan disini lagi, memang kenapa, Pak? Bapak bisa menemani Budi dan Ani berguru di rumah. Bapak juga tidak perlu susah payah begadang hingga satu malam untuk menciptakan Siomay lagi, kan?" Budi semakin bingung. Pak Tono tersenyum, "Kalau Bapak tidak bisa berjualan Siomay lagi disini, Bapak tidak bisa membelikan peralatan sekolah gres untuk kalian lagi, mungkin kalian juga bisa terputus sekolahnya... Bapak tidak mau kalian putus sekolah menyerupai Bapak. Bapak mau kalian sekolah hingga bisa berada di posisi orang-orang yang menyerukan, 'Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!', Nak..."
Pak Tono mengajak kedua anaknya kembali duduk di kursi panjang di dalam kios. Pak Tono menatap kedua anaknya. Beliau kemudian berkata, "Nak, Bapak mau berpesan, jikalau nanti warung Bapak terpaksa ditutup dan Bapak tidak bisa berjualan lagi disini, Bapak harap kalian bisa mengerti, ya. Bapak juga berpesan biar kalian tidak jadi anak nakal, ya. Bapak tidak mau kalian putus sekolah hanya alasannya Bapak tidak bisa berjualan lagi disini. Bapak sangat berharap kalian bisa ada di posisi orang-orang yang terus menerus meneriakkan, 'Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!'. Bapak juga berharap kalian bisa merasa kalian hidup dengan keadaan yang berkecukupan meskipun Bapak yakin adakalanya nanti kalian merasa kalian hidup dalam keadaan sangat miskin..."
Budi dan Ani menatap Bapaknya. Bibir Budi bergetar, seolah menahan tangisannya. Ani mungkin belum mengerti, ia hanya menatap Bapaknya yang tersenyum sambil sesekali berkedip.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Stasiun UI tiba-tiba saja ramai dikunjungi orang berseragam Polisi. Ani yang masih duduk dibangku kelas 2 SD merasa absurd dengan pemandangan orang berseragam ini. Ia kemudian bangun dari duduknya berlari menuju peron stasiun untuk melihat dengan terang orang-orang tersebut. "Ani! Mau kemana? Pesan Bapak, kita dilarang pergi kemana-mana, kalau-kalau nanti Bapak mencari kita tetapi kita tidak ada, kita bisa jadi Bapak murka dan tidak jadi membelikan kita peralatan sekolah baru!" teriak Budi dari dalam kios berukuran 3x3 meter itu. Ani menoleh ke arahnya, "Tapi, Bapak juga sedang disana, Kak. Ani juga mau melihat kesana, Ani mau melihat orang-orang itu, Kak! Disana juga banyak orang berseragam warna kuning, Kak." Budi yang ingin tau kesannya ia bangun dari kursi panjang. Ia bergegas keluar kios kecil itu dan menuju peron stasiun.
Budi melihat ada orang-orang berseragam cokelat susu sedang berhadapan dengan orang-orang berjaket kuning. Orang-orang yang memakai jaket kuning terus berteriak memakai sebuah alat elektronik berbentuk corong dan berdiri di atas kotak kayu. Tidak terang apa yang mereka sorakkan, sebagian yang Budi dengar hanya kata-kata, "Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!" yang berulang-ulang. Budi bertanya-tanya apa yang sebetulnya sedang terjadi di daerah Bapak mencari uang untuk kami sekolah?
Budi terus berusaha mendengar apa yang disorakkan oleh orang berjaket kuning itu, tetapi selalu gagal alasannya terlalu panjang. Yang ia dengar hanya, "Kami menolak penggusuran!". Namun, apa itu penggusuran?
Dari jauh, Pak Tono berjalan tergesa-gesa menuju kedua anaknya yang sedang berjinjit-jinjir dari peron ke halaman depan Stasiun Universitas Indonesia. "Budi, Ani, kok di luar? Bapak kan berpesan kepada kalian untuk tetap di dalam kios saja, nanti setelah Dzuhur, kita pergi mencari peralatan sekolah," kata Pak Budi sambil merangkul kedua anaknya. Budi dan Ani terdiam.
"Pak, orang-orang diluar yang pakai baju cokelat dan kuning itu siapa?" tanya Ani sambil menunjuk ke arah luar. Pak Tono menghela napas panjang dan mengelus rambut kedua anaknya itu, "Bukan siapa-siapa, Nak..."
Budi masih tidak percaya, ia bertanya lagi, "Kalau penggusuran itu apa, Pak? Daritadi, Budi dengar kata-kata itu dari orang-orang berjaket kuning itu." Pak Tono menatapnya. Bagaimanapun, Budi sudah kelas 5 SD dan ia niscaya mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Pak Tono menjawab lirih sambil terus menatap ke arah orang-orang itu berkumpul, "Mungkin jikalau orang-orang berjaket kuning itu tidak ada, Bapak mungkin tidak bisa berjualan Siomay lagi disini, Nak..." Budi menatap bapaknya yang semakin menua. Rambut putih ia mustahil disembunyikan lagi alasannya sudah semakin banyak. Begitu juga kantung mata yang sudah semakin lebar seolah-olah menyiratkan keletihan akan problem yang terus menimpanya. "Tetapi, apa yang sedang dipikirkan Bapak?" pikiran Budi berkecamuk.
"Kalau Bapak tidak bisa berjualan disini lagi, memang kenapa, Pak? Bapak bisa menemani Budi dan Ani berguru di rumah. Bapak juga tidak perlu susah payah begadang hingga satu malam untuk menciptakan Siomay lagi, kan?" Budi semakin bingung. Pak Tono tersenyum, "Kalau Bapak tidak bisa berjualan Siomay lagi disini, Bapak tidak bisa membelikan peralatan sekolah gres untuk kalian lagi, mungkin kalian juga bisa terputus sekolahnya... Bapak tidak mau kalian putus sekolah menyerupai Bapak. Bapak mau kalian sekolah hingga bisa berada di posisi orang-orang yang menyerukan, 'Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!', Nak..."
Pak Tono mengajak kedua anaknya kembali duduk di kursi panjang di dalam kios. Pak Tono menatap kedua anaknya. Beliau kemudian berkata, "Nak, Bapak mau berpesan, jikalau nanti warung Bapak terpaksa ditutup dan Bapak tidak bisa berjualan lagi disini, Bapak harap kalian bisa mengerti, ya. Bapak juga berpesan biar kalian tidak jadi anak nakal, ya. Bapak tidak mau kalian putus sekolah hanya alasannya Bapak tidak bisa berjualan lagi disini. Bapak sangat berharap kalian bisa ada di posisi orang-orang yang terus menerus meneriakkan, 'Hidup Mahasiswa! Hidup Rakjat Indonesia!'. Bapak juga berharap kalian bisa merasa kalian hidup dengan keadaan yang berkecukupan meskipun Bapak yakin adakalanya nanti kalian merasa kalian hidup dalam keadaan sangat miskin..."
Budi dan Ani menatap Bapaknya. Bibir Budi bergetar, seolah menahan tangisannya. Ani mungkin belum mengerti, ia hanya menatap Bapaknya yang tersenyum sambil sesekali berkedip.
PROFIL PENULIS
A mind-creature creator, a phlegmatic with semi-melancholic temperament.