Khalifah Sejati Dari Arsy - Cerpen Islam
Jumat, 14 Agustus 2015
KHALIFAH SEJATI DARI ARSY
Karya Kiki Ayu Humairah
Keberangkatanku ke negeri seberang bukan untuk menjauh dari ibu dan paman yang selalu ingin menikahkanku dengan saudagar kaya di daerahku, bukan juga melarikan diri atas segala beban keluarga yang disandarkan padaku, saya hanya ingin mirip anak seusiaku yang tidak terusik ketika mereka asik mencari ilmu, bermain kesanaa-kemari sesuka hatinya, namun saya mirip jaminan yang disodorkan paman untuk melunasi hutang-hutangnya.
Sedangkan ibu tidak sanggup membelaku sama sekali, mana mungkin saya yang masih begitu belia harus menikah dengan orang yang lebih pantas ku panggil ayah, yah . . .saudagar itu. Namun sekarang saya meyakinkan diriku berkat beasiswa kuliah di Malaysia membuatku sedikit terbebas dari ular-ular yang akan menerkaku terutama saudagar kaya yang sombong itu, pak lukman. Tapi saya tetap mengkhawatirkan ibuku, bagaimanapun juga ibu yaitu orang yang sudah membesarkanku sendiri tanpa ayah yang saya sendiri tidak tau siapa ayahku. Banyak yang menyampaikan saya ini anak haram tidak terang asalnya, kalau ku tanyakan ibu, maka ibu hanya menjawab enteng bahwa ayahku sudah mati namun hingga usiaku 18 tahun saya belum pernah lihat fotonya, dalam akte kelahiranku saja menggunakan nama pamanku yang turut andil dalam membesarkanku meski demikian paman lebih sering membebani ibu itu yang saya rasakan.
Khalifah Sejati Dari Arsy |
Pagi itu begitu cerah, awan begitu erat denganku namun kondisi ini sama sekali tidak sanggup sepenuhnya mebuatku senang, ibu sama sekali tidak senang apalagi besar hati dengan prestasi dan beasiswa yang ku dapatkan, dan paman begitu tau saya akan pergi sekolah ke malaysia malah memakiku dengan bahasa berangasan dan menyakitkan, yang katanya saya tidak tau malu, tidak punya rasa terimakasih, tidak kasihan pada ibu, saya hanya anggap kata-kata paman sebagai angin yang sesaat kemudian saya kosentrasi dengan studyku, supaya saya sanggup membahagiakan ibu. Kini pesawat sudah meluncur jauh dari bumiku, bumi tempatku bernaung, jangankan diantar ke Bandara, keluar rumah saja ibu tidak memandangku sama sekali, hanya sekali bercap hati-hati itu saja dengan sangat terpaksa, ibuku memang orang yang keras kepala dan gampang sekali marah, namun saya tau ibuku yaitu orang baik yang begitu mencintaiku meski tidak pernah ditunjukkan, itulah ibuku. Meski demikian saya sangat mencintainya.
Setelah hingga di Malaysia, saya begitu bersemangat dengan dunia baruku, belajar, bersama orang-orang asing yang begitu menghargai saya tidak mirip dirumahku yang penuh dengan kata-kata berangasan dan menyakitkan, dimalaysia saya tinggal disebuah asrama milik kampus, saya mencar ilmu dengan tekun supaya sanggup membayar hutang-hutang paman ke pak Lukman, dan supaya paman tidak memaksaku untuk menikah dengan pak lukman lagi, keadaan ini semakin membuatku damai alasannya yaitu ternyata tidak sedikit pelajar indonesia yang dikirim ke malaysia dan menerima beasiswa, saya memang sengaja menjauhkan diri dari glamornya hidup di kota supaya lebih kosentrasi pada study, namun kenyataan berkata lain teman-temaku tidak sedikit yang mempengaruhiku, awalnya mereka menyuruhku melepas jilbab yang sudah jadi kewajibanku, saya menolak untuk menuruti mereka, namun mereka tidak kurang logika mereka mengajakku ke club malam dengan alasan untuk refresing dan saya masih bsa untuk menolaknya, kondisi semakin tidak aman namun saya tetap dalam koridorku yang damai dan pada tujuan awal ingin melepaskan diri dari jeratan hutang dan menikah dengan pak lukman, sekarang tidak sedikit teman-temanku yang mengajakku untuk maksiat bahkan hingga ada yang membawa lelaki ke kamar asrama, saya begitu heran dengan mereka yang semakin mursal dan mengikuti alur hidup yang gres saja mereka kenal di sini.
Ternyata tidak mudah, namun saya berhasil melewati semuanya, hingga hampir selesai saya kuliah saya tetap masih mirip dulu, yah mirip nawa yang dulu, saya tetap menggunakan jilbabku, saya tetap sholat lima waktu meski tidak ada adzan disini, saya tetap bertahan dalam koridor perempuan muslimah yang dibuat oleh guruku ngaji di kampung dulu, alasannya yaitu meski ibu yang tidak tau agama dan paman yang jauh dari agama namun ibuku ingin saya mejadi perempuan yang jauh lebih baik darinya, itulah ibu, meski ia seorang yang jauh dari agama namun tidak ingin melihat anaknya sepertinya, ibaratnya meski ibunya pencuri namun ingin anaknya jadi kiai, meski ibunya seorang pemulung namun ingin anaknya jadi pengusaha yang sukses, meski ibunya seorang pencuri namun ingin anaknya menjadi perempuan muslimah yang jauh dari kejahatan. Ibu memang tidak sebaik orang bau tanah pada umumnya namun dialah satu-satunya orang tuaku, untuk apa saya berjuan kalau bukan untuk ibu, yang entah kemana lelaki yang mengaku ayahku namun rupanya saja saya tidak tau, dan Cuma ibu yang merawat dan membesarkanku.
Sudah hampir tiga tahun saya berada di Malaysia dan tidak pulang sama sekali, hanya kadang saya sempatkan memberi kabar pada ibuku melalui televon tetangga yang rumahnya berdekatan, alasannya yaitu ibu tidak punya televon begitu juga paman, namun sudah sebulan saya tidak memberi kabar lagi alasannya yaitu sibuk dengan kiprah akhirku, ketika saya sedang terlelap di asrama, handphone ku berdering kencang, nomor gres yang tidak ku kenal, saya angkat perlawan dengan ku awali salam, seseorang di balik televon itu nerocos tanpa membalas salamku.
“nawa, ini bude ani, pulang ya nduk kasihan ibumu, ada pria yang mengaku ayahmu tiba kemudian menyakiti ibumu” saya kaget mendengar ucapan orang yang ada dalam televon tersebut yang ternyata yaitu tetangga yang sering saya mintai tolong kalau ingin televon ibu di kampung.
“bude nawa resah dengan ucapan bude, kata ibu ayah nawa sudah meniggal, kalau lelaki itu mengaku ayah nawa berarti ibu sudah berbohong, kemudian bagaimana dengan paman bude? Apa paman tidak menolong ibu?” saya begitu khawatir mendengar klarifikasi dari bude ani yang menyampaikan seorang lelaki telah menyakiti ibuku.
“pulanglah nawa, kasihan ibumu tidak ada yang sanggup membelanya selain kamu, kau kan tau pamanmu itu mirip apa, sesungguhnya sudah seminggu ini lelaki itu berada dirumahmu dan menyiksa ibumu, namun bude tidak boleh ibumu untuk memberi tahumu, maafkan bude nawa” ucap bude ani dengan nada terisak
Tiba-tiba ada dendam yang tiba-tiba menelusuk dalam dadaku, betapa bencinya saya dengan pria yang dideskripsikan oleh bude ani tadi, betapa bejadnya dia, sudah meningalkan saya dan ibu sekarang ia kembali hanya untuk menyiksa ibuku lagi, apa maunya?, kalau saya bertemu dengannya akan saya ludahi dia, tidak pantas lelaki mirip itu dipanggil ayah olehku tidak heran kalau ibu menyampaikan ayah sudah mati, alasannya yaitu ia lebih baik mati daripada hidup dan meroepotkanku dan ibu, saya hanya memberi arahan pada bude ani kalau saya akan pulang dengan segera, ini alasannya yaitu sudah waktunya saya tau siapa lelaki yang mengaku ayahku itu. Keesokan harinya saya terbang dengan pesawat paling pagi, sudah tidak sabar menghantam orang biadab itu. Ketika sampai, saya pribadi beranjak memasuki rumah, saya melihat ibu yang terkapar dilantai dengan bibir sebelah kanan yang sedikit sobek dan berdarah serta hidungnya yang mimisan, saya kemudian merangkulnya, seorang lelaki setengah baya yang tinggi tegap menghampiriku dan ibu, ia tertawa sambil memandangiku dengan wajah bringas mirip singa.
“hei kau, jadi ini anakku?? Cantik benar mirip ibumu waktu masih muda dulu, bahkan kau lebih anggun nak” ucap lelaki itu sambil memegang daguku, dengan impulsif ku tangkis tangannya dengan wajah yang penuh amarah.
“biadab, kau apakan ibuku?, kau tidak pantas memanggilku nak, saya bukan anakmu”
“hahahahaha, ternyata kau belum tau? Aku memang bukan ayahmu, siapa ayahmu? Coba tanya ibumu, apa ia tau siapa ayahmu, saya yakin ibumu tidak akan sanggup menjawabnya” ucap lelaki itu, namun ibu pribadi berontak dari kelemahannya, perilaku ibu pribadi bermetamorfosis bringas mendengar ucapan lelaki itu, saya resah dengan maksudnya, saya mencoba memikirkan ucapan lelaki itu namun saya tetap tidak paham, hingga ku tanyakan padanya.
“apa maksudmu berkata demikian?” tanyaku pada lelaki itu, namun sebelum lelaki itu menjawab ibu pribadi memotongnya, “sudahlah nawa jangan kau dengarkan omongannya, ia hanya ingin menghancurkan kita nak” ucapan ibu semakin menjadi teka-teki untukku, lelaki itu semakin lebar tawanya, dan puas dengan melihat saya dan ibu,“. Tidak usang dari itu, lelaki itu berkata “kau ini apa tidak tau kalau ibumu dulu itu pelacur, dan melahirkan anak sepertimu?, mana mungkin ia tau siapa ayahmu, alasannya yaitu begitu banyaknya lelaki yang bersama ibumu, kau ini anak haram, seharusnya kau bersyukur saya mau mengakuimu sebagai anak.”
Setelah hingga di Malaysia, saya begitu bersemangat dengan dunia baruku, belajar, bersama orang-orang asing yang begitu menghargai saya tidak mirip dirumahku yang penuh dengan kata-kata berangasan dan menyakitkan, dimalaysia saya tinggal disebuah asrama milik kampus, saya mencar ilmu dengan tekun supaya sanggup membayar hutang-hutang paman ke pak Lukman, dan supaya paman tidak memaksaku untuk menikah dengan pak lukman lagi, keadaan ini semakin membuatku damai alasannya yaitu ternyata tidak sedikit pelajar indonesia yang dikirim ke malaysia dan menerima beasiswa, saya memang sengaja menjauhkan diri dari glamornya hidup di kota supaya lebih kosentrasi pada study, namun kenyataan berkata lain teman-temaku tidak sedikit yang mempengaruhiku, awalnya mereka menyuruhku melepas jilbab yang sudah jadi kewajibanku, saya menolak untuk menuruti mereka, namun mereka tidak kurang logika mereka mengajakku ke club malam dengan alasan untuk refresing dan saya masih bsa untuk menolaknya, kondisi semakin tidak aman namun saya tetap dalam koridorku yang damai dan pada tujuan awal ingin melepaskan diri dari jeratan hutang dan menikah dengan pak lukman, sekarang tidak sedikit teman-temanku yang mengajakku untuk maksiat bahkan hingga ada yang membawa lelaki ke kamar asrama, saya begitu heran dengan mereka yang semakin mursal dan mengikuti alur hidup yang gres saja mereka kenal di sini.
Ternyata tidak mudah, namun saya berhasil melewati semuanya, hingga hampir selesai saya kuliah saya tetap masih mirip dulu, yah mirip nawa yang dulu, saya tetap menggunakan jilbabku, saya tetap sholat lima waktu meski tidak ada adzan disini, saya tetap bertahan dalam koridor perempuan muslimah yang dibuat oleh guruku ngaji di kampung dulu, alasannya yaitu meski ibu yang tidak tau agama dan paman yang jauh dari agama namun ibuku ingin saya mejadi perempuan yang jauh lebih baik darinya, itulah ibu, meski ia seorang yang jauh dari agama namun tidak ingin melihat anaknya sepertinya, ibaratnya meski ibunya pencuri namun ingin anaknya jadi kiai, meski ibunya seorang pemulung namun ingin anaknya jadi pengusaha yang sukses, meski ibunya seorang pencuri namun ingin anaknya menjadi perempuan muslimah yang jauh dari kejahatan. Ibu memang tidak sebaik orang bau tanah pada umumnya namun dialah satu-satunya orang tuaku, untuk apa saya berjuan kalau bukan untuk ibu, yang entah kemana lelaki yang mengaku ayahku namun rupanya saja saya tidak tau, dan Cuma ibu yang merawat dan membesarkanku.
Sudah hampir tiga tahun saya berada di Malaysia dan tidak pulang sama sekali, hanya kadang saya sempatkan memberi kabar pada ibuku melalui televon tetangga yang rumahnya berdekatan, alasannya yaitu ibu tidak punya televon begitu juga paman, namun sudah sebulan saya tidak memberi kabar lagi alasannya yaitu sibuk dengan kiprah akhirku, ketika saya sedang terlelap di asrama, handphone ku berdering kencang, nomor gres yang tidak ku kenal, saya angkat perlawan dengan ku awali salam, seseorang di balik televon itu nerocos tanpa membalas salamku.
“nawa, ini bude ani, pulang ya nduk kasihan ibumu, ada pria yang mengaku ayahmu tiba kemudian menyakiti ibumu” saya kaget mendengar ucapan orang yang ada dalam televon tersebut yang ternyata yaitu tetangga yang sering saya mintai tolong kalau ingin televon ibu di kampung.
“bude nawa resah dengan ucapan bude, kata ibu ayah nawa sudah meniggal, kalau lelaki itu mengaku ayah nawa berarti ibu sudah berbohong, kemudian bagaimana dengan paman bude? Apa paman tidak menolong ibu?” saya begitu khawatir mendengar klarifikasi dari bude ani yang menyampaikan seorang lelaki telah menyakiti ibuku.
“pulanglah nawa, kasihan ibumu tidak ada yang sanggup membelanya selain kamu, kau kan tau pamanmu itu mirip apa, sesungguhnya sudah seminggu ini lelaki itu berada dirumahmu dan menyiksa ibumu, namun bude tidak boleh ibumu untuk memberi tahumu, maafkan bude nawa” ucap bude ani dengan nada terisak
Tiba-tiba ada dendam yang tiba-tiba menelusuk dalam dadaku, betapa bencinya saya dengan pria yang dideskripsikan oleh bude ani tadi, betapa bejadnya dia, sudah meningalkan saya dan ibu sekarang ia kembali hanya untuk menyiksa ibuku lagi, apa maunya?, kalau saya bertemu dengannya akan saya ludahi dia, tidak pantas lelaki mirip itu dipanggil ayah olehku tidak heran kalau ibu menyampaikan ayah sudah mati, alasannya yaitu ia lebih baik mati daripada hidup dan meroepotkanku dan ibu, saya hanya memberi arahan pada bude ani kalau saya akan pulang dengan segera, ini alasannya yaitu sudah waktunya saya tau siapa lelaki yang mengaku ayahku itu. Keesokan harinya saya terbang dengan pesawat paling pagi, sudah tidak sabar menghantam orang biadab itu. Ketika sampai, saya pribadi beranjak memasuki rumah, saya melihat ibu yang terkapar dilantai dengan bibir sebelah kanan yang sedikit sobek dan berdarah serta hidungnya yang mimisan, saya kemudian merangkulnya, seorang lelaki setengah baya yang tinggi tegap menghampiriku dan ibu, ia tertawa sambil memandangiku dengan wajah bringas mirip singa.
“hei kau, jadi ini anakku?? Cantik benar mirip ibumu waktu masih muda dulu, bahkan kau lebih anggun nak” ucap lelaki itu sambil memegang daguku, dengan impulsif ku tangkis tangannya dengan wajah yang penuh amarah.
“biadab, kau apakan ibuku?, kau tidak pantas memanggilku nak, saya bukan anakmu”
“hahahahaha, ternyata kau belum tau? Aku memang bukan ayahmu, siapa ayahmu? Coba tanya ibumu, apa ia tau siapa ayahmu, saya yakin ibumu tidak akan sanggup menjawabnya” ucap lelaki itu, namun ibu pribadi berontak dari kelemahannya, perilaku ibu pribadi bermetamorfosis bringas mendengar ucapan lelaki itu, saya resah dengan maksudnya, saya mencoba memikirkan ucapan lelaki itu namun saya tetap tidak paham, hingga ku tanyakan padanya.
“apa maksudmu berkata demikian?” tanyaku pada lelaki itu, namun sebelum lelaki itu menjawab ibu pribadi memotongnya, “sudahlah nawa jangan kau dengarkan omongannya, ia hanya ingin menghancurkan kita nak” ucapan ibu semakin menjadi teka-teki untukku, lelaki itu semakin lebar tawanya, dan puas dengan melihat saya dan ibu,“. Tidak usang dari itu, lelaki itu berkata “kau ini apa tidak tau kalau ibumu dulu itu pelacur, dan melahirkan anak sepertimu?, mana mungkin ia tau siapa ayahmu, alasannya yaitu begitu banyaknya lelaki yang bersama ibumu, kau ini anak haram, seharusnya kau bersyukur saya mau mengakuimu sebagai anak.”
Ucapan itu begitu mengiris hatiku, serasa empeduku telah pecah dan begitu pahit mendengarnya meski ucapan bajingan itu belum tentu benarnya namun tangis ibu seakan mengiyakan tanggapan itu, dan saya begitu terpuruk, ya ilahi saya anak haram, yang tidak terang ayahnya, sedangkan apa pantas saya menyalahkan ibuku?, siapa yang seharusnya ku benci, ibu atau siapa?, mana mungkin saya mebenci perempuan yang sudah membesarkanku, saya hanya terkulai lemas, dan ibu merangkulku, memohon maaf atas kesalahan masa laluya, sedangkan lelaki itu tertawa puas melihat saya dan ibu tersakiti, sesungguhnya dendam apa ia padaku dan ibu hingga menghajar ibu dan mengaku sebagai ayahku kemudian menuduhku anak haram, sedangkan tidak ada yang sanggup membelaku dan ibu. Dan lelaki itu kemudian pergi keluar dari rumah kami, dengan tawa yang menghiasi bibirnya mirip telah memenangkan undian hadiah. Ibuku tidak hentinya meminta maaf padaku, saya tetap memikirkan, siapa saya ini, apa pantas saya dengan beasiswaku, prestasiku, sedangkan saya tidak mempunyai latar belakang yang jelas.
Malamnya ibu mengantarkanku dalam lalapnya tidur dengan kesedihan yang masih berlarut-larut, namun saya tetap tidak sanggup menyalahkan ibu, alasannya yaitu ada banyak alasan ibu melaksanakan hal itu. Setelah ibu keluar dari kamarku, tidak usang paman pulang, entah kemana ia seharian hingga tidak tau yang terjadi padaku dan ibu, kemudian tidak lama, saya tidur seseorang dengan berangasan membawaku, saya pribadi tergopoh ketika seseorang mengangkatku dengan paksa, ia yaitu lelaki yang tadi siang sudah menyakiti ibu dan aku, saya tidak tau mau dibawa kemana, saya memberontak namun tenagaku tidak begitu kuat, sedangkan ibu tisak sanggup menahanku alasannya yaitu dikunci dikamarnya, saya teriak meminta tolong pada paman namun ternyata paman telah bersekongkol dengan lelaki itu, pamanlah yang membawa mobil, seangkan lelaki itu memegangiku di belakang.
Aku tidak tau akan dibawa kemana, yang saya tau sesuatu yang tidak baik sedang menungguku, saya menangis di sepanjang perjalanan, namun tetap tidak mereka hiraukan tangisku. Ternyata saya dibawa kerumah pak lukman saudagar kaya itu, disana wajah buas itu menyambutku, saya semakin menangis, pak lukman sangat senang melihatku, kemudian mereka membawa ke kamar yang sudah disiapkan sebelumnya, kamar itu wangi, namun bagiku hanya wangi bangkai kedaluwarsa para lelaki itu, ketika pak lukman akan melucuti bajuku, saya tendang hingga ia lemas, kemudian saya melarikan diri namu saya tertangkap oleh paman dan lelaki biadab itu, hingga pada karenanya saya jadi korban kebringasan pak lukman hanya untuk melunasi hutang paman dan juga kepuasan pak lukman, seakan sudah tidak ada harganya saya ini, sudah tidak terang asal-usulnya, sekarang saya hanya akan jadi bulan-bulanan masyarakat alasannya yaitu sudah tidak suci lagi, jilbab yang dulu jadi kehormatanku sekarang sirna dengan wangi kedaluwarsa tubuhku.
Melihat kondisiku ibu tak hentinya menangis setiap hari, ibu sangat mengkhawatirkan kondisiku yang mirip ini, takut kalau-kalau saya akan depresi dan tidak sanggup melanjutkan hidupku, namun semakin saya tersakiti menyebabkan mereka semakin senang, saya tidak tau apa maksud mereka apa, pamanlah dalang dari semuanya paman yang menjualku pada pak lukman, paman juga menyebabkan saya sebagai perempuan panggilan dengan bahaya akan membunuh ibuku kalau saya menolaknya, dengan dandanan yang tidak sepantasnya tubuhku dijual oleh paman, dan manfaatnya untuk paman dan lelaki biadab tersebut, kondisiku yang sudah bebeda dari awal, bahkan mereka menghinaku dan ibu bahwa buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya kalau ibunya seorang pelacur maka anaknyapun sama, kata-kata itu sangat sakit namun sua tidak sanggup ku tolak, saya tidak punya kekuatan untuk menolak dan melarikan diri.
Suatu hari ketika saya akan melaksanakan pekerjaanku, saya mampir ke sebuah mushola untuk bersuci kemudian sholat, seseorang dari jauh memperhatikanku, perjaka masjid yang sedang mengajar ngaji di mushola tersebut, saya hany membisu menundukkan wajahku ada rasa malu dengan penampilanku ini, saya memang sudah usang melepas jilbabku sejak berganti profesi, mungkin ia aneh melihat pelacur sholat, apalagi dandananku yang terlihat kurang sopan dimatanya, sehabis sholat saya buru-buru keluar dari mushola tersebut, ada perasaan malu dan jijik pada diriku sendiri, beberapa usang sehabis saya keluar dari mushola tersebut ia menghentikan langkahku, saya tersentak mendengarnya memanggilku, dari mana ia tau namaku sedangkan ini untuk pertama kalinya saya melihat perjaka tersebut, “ nawa ya?”, tanpa memandangnya saya berbalik, seorang perjaka higienis menyapaku tanpa saya tau apa maksudnya, kemudian ia menjelaskan bahwa ia yaitu sahabat nawa waktu menerima beasiswa keluar negeri dari pemerintah, namun ia dikirim ke Sudan sedangkan nawa ke Malaysia, perjaka tersebut memandangku heran, dan menanyakan kemana jilbab yang selalu menemaniku, kenapa saya sudah tidak mengenakannya lagi dan malah berpakain tidak sopan mirip itu, saya menangis mendengar pertanyaan itu, saya sangat malu, bukan hanya jilbab dan busana muslim saja yang ku lepas namun kehormatan yang susah payah ku jaga selama berada di malaysia sekarang telah saya jual, saya tidak mempunyai semuanya termasuk harta paling berhargaku, sudah dirampas paksa oleh bajingan lukman itu, dan lelaki hidung belang yang membayar pamanku, saya nyaris menyampaikan itu semua pada perjaka tersebut alasannya yaitu sudah usang juga saya tidak mengeluarkan isi hatiku hanya kepada ilahi saja, itupun dengan mencuri waktu sholat supaya tidak dipukuli pamanku.
Pemuda tersebut kemudian seakan tau apa maksudku, ia tidak bertanya lagi namun kemudian ia ulurkan tangannya, “nawa, saya sudah tau apa yang menimpamu dan ibumu, saya sangat prihatin dengan semua itu, berharap saya sanggup menolongmu dan ibumu, ijinkan saya menikahimu nawa?”. Aku ternganga mendengar ucapannya, saya kemudian menatapnya tajam, memberi arahan ketidak setujuanku padanya, saya malu bahkan sangat malu apa pantas pelacur sepertiku menjadi istrinya, saya yakin ini hanya serpihan dari keprihatinannya saja padaku, namun sekali lagi ia menegaskan bahwa ia memang sudah tau siapa saya sesungguhnya dan juga siapa ibuku, saya pikir mungkin ia akan menyelamatkanku dari lembah setan yang ketika ini menjeratku dan ibu namun apa boleh saya melibatkan rang lain dalam masalahku, menikah bukan suatu hal yang gampang untuk dijalani dan juga bukan alasannya yaitu prihatin dan kasiha saja, alasannya yaitu menikah yaitu komitmen kita terhadap tuhan, saya yang sudah jauh dari agamaku mana boleh menikah dengan perjaka baik-baik dan alim sepertiku, sekali lagi saya tegaskan bahwa saya menolaknya. Kemudian saya pergi dari tempat itu tanpa megucap apapun sehabis menolaknya.
Malamnya di tempat yang biasa saya mencari hidung belang ia tiba kembali padaku, namun kali ini ia tidak menanyakan perihaloertanyaan yang tadi malam yang mengagetkanku ia tiba pada paman yang sedang mengawasiku dari jauh bersama lelaki yang dulu pernah mengaku sebagai ayahku dan sekarang bersekongkol dengan paman, sehabis berbincang-bincang agak usang dengan paman, perjaka tersebut mendatangiku dan agaknya paman da lelaki itu tertawa bungah, entah apa yang ia katakan pada pamanku, kemudian ia mendatangi saya yang sudah tida sabar ingin menanyakan apa yang terjadi pada perjaka tersebut, sehabis perjaka itu tiba “ada apa ini?, kenapa pamanku begitu senang, apa yang kau katakan padanya?”,.
“aku melamarmu pada pamanmu, ia menertawakanku, au katakan padanya saya kalau lelaki-lelaki hidung belang itu sanggup membelimu hanya semalam saja, saya akan membelimu seumur hidup, dengan biaya semaunya.”
“kau gila, saya tidak mau menikah denganmu, sudah jangan libatkan dirimu dengan masalahku, saya akan sangat membencimu” ucapku padanya, meski dalam hati saya begitu kagum denganya yang mau mendapatkan kondisiku yang sudah tidak baik lagi untuk perjaka sepertinya, apalagi untuk dijadikan istri.
Dia tetap damai kemudian menyodorkan kertas yang didalam surat tersebut berisi wacana perjanjiannya dengan paman bahwa ia akan menkahiku dengan tanpa syarat apapun kalau saya tidak meninginkannya, paman pribadi oke tanpa melihat bahwa surat tersebut ditujukan persyaratannya untukku bukan untuknya, kemudian peuda tersebut mengulurkan tangannya, “namaku alim, menikahlah denganku, akan ku cintai kau dan ibumu sepenuh hatiku”. Aku terenyuh mendengarnya, kemudian saya mendapatkan lamaran itu dengan berbalut air mata, alim juga akan memasukan paman dan partner paman ke penjara, kemudian dengan program yang begitu sederhana saya menikah dengan alim di mushola tempat alim mengajar mengaji, ternyata ia yaitu seorang dosen disebuah universitas islam di Malang, dan sehabis ia memasukkan paman kepejara diamengajakku dan ibu ke Malang, tempatnya bernaung yang sebenarnya, yah...dialah alim suamiku, seoran pria yang mengeluarkan saya dari kotornya dunia malam yang ku jalani selama ini, untuknya “ketika ia memandangku saya merasa cantik, ketikadia tersenyum saya merasa sedang menari dihadapanya, ketika ia murka saya merasa sedang memegang tangannya dan memeluknya erat-erat, dan ketika ia mencintaiku mataku seakan dipenuhi air mata. Dia membuatku sadar saya dibuat oleh ilahi untuknya dan ia untuku, sang khalifah sejati dari arsy hadiah dari ilahi atas segala perjuanganku selama ini”
TAMAT
TAMAT
PROFIL PENULIS
Simple aja ya, saya masih gadis 19 tahun, lahir 29 Juli 1993 sempurna hari minggu pukul 10.00 pagi, Almarhum ayah saya dulu bekerja menjadi PNS, ibu sebagai Ibu Rumah tangga, dan saya punya dua adik, pria dan perempuan. Kini saya kuliah menginjak sementer 4, saya suka keramaian tapi tak tahan berada ditengah-tengah kebisingan lebih dari satu jam, saya belajar, kuliah, bukan untuk diriku. Jurusanku mungkin akan menyampaikan bahwa saya akan bekerja dengan pakaian rapi, menggunakan Jas, dan sepatu hak tinggi, membawa map dan duduk didepan komputer tiap harinya. Jurusanku hanya menyampaikan tapi tidak memilih kemana saya sehabis itu, saya memang akan menjalani itu untuk ibu dan kedua adik-adikku sehabis ibu dan almarhum ayah naik Haji, maka akan saya lepas semua jas, sepatu hak tinggi dan meninggalkan komputer serta map-mapku dimeja, sehabis menikah saya akan menjadi pekerja yang sesungguhnya menjadi jago ekonomi Syariah untuk keuangan di Rumah tanggaku, menjadi ustadzah untuk anak-anakku dan mengajari mereka sesuai ilmu yang pernah ku sanggup sebelumnya di mahad, menjadi koki handal di rumah, dan yang terakhir menjadi partner kerja suamiku yang paling setia, itulah cita-citaku yang sebenarnya. Mimpi itu tak terbatas, alangkah ruginya kalau saya hanya diperbudak mimpiku, alasannya yaitu kepuasan hanya akan ku sanggup dari keluargaku bukan duniaku.pena dan kertas yaitu warna dari hidupku, maka hitam putih akanku hadapi tanpa mereka.