Surat Sang Sahabat - Cerpen Persahabatan

SURAT SANG SAHABAT
Karya Khodijah Benuss
Aku sudah biasa menyerupai ini. Terkena cipratan air comberan dari kendaraan beroda empat yang melintas di jalan. Di umpat oleh orang yang merasa terganggu oleh hadirnya diriku di depan kendaraan beroda empat mereka. Tak pelak jua saya berlari di pinggir jalan Kota demi mempertahankan uang hasil kerja kerasku yang dengan mudahnya di ambil oleh preman – preman jalanan. Aku tak pernah mengeluh akan semua ini. Yah, memang beginilah kehidupanku. Demi tercapainya cita - cita, akan kulakukan pekerjaan apapun itu. Yang penting yaitu halal.Kata ambu, hidup haruslah sanggup mewujudkan kebahagiaan.Entah, apapun makna dari kebahagiaan itu. Yang jelas,aku merasa senang ketika bersekolah bersama sobat – sobat seusiaku di Sekolah Menengah Pertama. 
Namun apa daya ambu sudah tak sanggup membiayai sekolah saya dan adikku. Karena kami hanya bertiga (aku,ambu,dan dik fauzi), maka ambu harus bekerja keras demi kehidupan kami. Sejak abah meninggal 2 tahun yang lalu, ambu memang berusaha keras untuk mencari uang sebanyak mungkin.Namun, tetap saja ambu kepayahan untuk membiayai saya dan dik Fauzi sekolah.Mengetahui hal itu, balasannya saya pun tetapkan untuk tidak melanjutkan sekolah dan membantu ambu mencari uang untuk makan sehari – hari.Dan, hari ini saya hanya bisa mengumpulkan uang 5.000 rupiah dari hasil menjual suara. Jauh sekali dari sasaran yang saya impikan. Dengan uang segitu, saya hanya bisa memberi ambu 4.000 rupiah dan sisanya untuk ku tabung.Aku sangat sedih.Aku teringat ketika kemarin malam ibu kontrakan daerah kami tinggal sudah meminta ambu untuk membayar lunas uang sewa bulan ini. Yah, semoga saja ambu menerima pinjaman uang.
Surat Sang Sahabat
Tok.Tok. Tok.. Aku menengok ke luar, ternyata ambu sudah datang.Ku lihat wajah tirusnya, tampak semakin renta dan lelah. Dengan perlahan ia memberiku sebungkus nasi. Aku eksklusif memakannya dengan lahap. Ku tanya kepadanya wacana lapar atau tidak, ia menjawab dan berkata bahwa ia sudah makan di rumah majikannya. Ya, ambu memang seorang pembantu rumah tangga di rumah seorang pengusaha butik. Setiap ia kerja, ia memang selalu membawa Dik Fauzi. Untung, majikan ambu yaitu orang yang baik. Sehingga ia membolehkan Dik Fauzi untuk ikut ambu bekerja. Dik Fauzi memang sudah berusia 11 tahun. Namun ia mempunyai penyakit kelainan mental. Sehingga ambu tidak bisa meninggalkannya sendiri di rumah. Saat itu,Ku lihat raut wajah ambu yang menatap duka ke arahku. Ia berkata bahwa ketika ini ia belum bisa menyekolahkanku lagi. Aku hanya berkata tak apa. Toh, saya memang tidak berharap ambu sanggup membuatku bersekolah lagi.Kata sobat seperjuanganku di jalanan, saya hanya sanggup bermimpi untuk bisa bersekolah lagi. Aku tau,saat ini memang mahal biaya bersekolah di Sekolah Menengah Atas. Baik negeri maupun swasta, semuanya membutuhkan uang sedikitnya ratusan ribu.Mengingat hal itu, saya hanya bisa berdoa pada Yang Maha Kuasa biar permohonanku untuk melanjutkan sekolah sanggup tercapai.

Aku sudah bangun selama 2 jam di depan pintu gerbang ini. Ku lihat anak – anak di dalamnya sedang memperhatikan seorang perempuan paruh baya yang sedang mengajar.Sepertinya pelajaran matematika.Aku sangat suka pelajaran itu.Sewaktu di Sekolah Menengah Pertama, saya memang selalu menerima nilai tertinggi dalam pelajaran matematika.Rasanya menyenangkan bisa mengutak – atik soal matematika. Belajar di sekolah ini niscaya menyenangkan,pikirku. Aku memang tidak mengecewakan sering tiba ke sekolah ini.Di kejauhan, ku lihat seorang gadis menuju ke arahku.Aku hendak lari. Namun, ia lebih cepat dari yang kuduga. Ia tersenyum padaku. Manis sekali. Dia berkata namanya Intan, dan memberiku sebuah buku. Lalu, ia pun pergi dan kembali ke dalam kelas. Sesampainya di rumah, saya masih memikirkan insiden tadi siang.Ya, seorang gadis yang berjulukan Intan memberiku buku catatan yang berisi pelajaran.Di belakang buku itu, ada goresan pena yang menyampaikan bahwa saya harus mempelajari semua pelajaran di buku catatan ini.Aku tersenyum.Aku pun mulai mempelajari semua yang ada di dalam buku catatan ini.

Esoknya, saya kembali tiba ke sekolah Intan.Kali ini saya tiba untuk berterima kasih padanya. Aku tidak tau alasan ia memberiku buku catatan dan darimana ia mengenalku. Saat tiba istirahat, ku lihat Intan menghampiriku.Ia menyapaku. Awalnya kami agak canggung, namun sehabis itu kami berbicara dan saling bercerita layaknya mitra lama. Entah, saya merasa nyaman ketika berbicara dengannya. Ternyata,keinginanku untuk bersekolah lagi, telah dilihat oleh Intan. Aku memang sering menyelinap untuk tiba dan memperhatikan acara anak – anak seusiaku mencar ilmu di sekolah ini.Dan Intan pun mengetahuinya. Maka ia pun menciptakan buku catatan untukku biar saya bisa mencar ilmu lagi. Sungguh, ia begitu baik padaku. Katanya, saya harus selalu bersemangat dalam mengejar cita – cita.Karena bahu-membahu ada orang yang bisa bersekolah, namun tak bisa mewujudkan keinginannya. Katanya pula, ia akan membantuku dalam mewujudkan cita – citaku. Hari demi hari saya lalui.Aku senang sanggup berteman dengan Intan.Gadis yang selalu memotivasiku dan menjadi inspirasiku.

Seperti biasa, hari ini saya menemui Intan di sekolahnya.Namun hingga sekolah usai, tak ku lihat wajah ceria itu.Aku pulang dengan rasa khawatirku pada Intan.Esoknya, wajah yang kunanti tak kunjung tiba juga. Aku semakin ingin tau akan hal ini. Berbagai pikiran muncul di benakku. Ah, andai kutau alamat Intan, niscaya ku kan tau jawabnya.

Seminggu kemudian, Aku masih menunggu wajah ceria Intan di depan pintu gerbang ini. Dan, tak berapa usang Intan tiba dengan kotak coklat di tangannya.Katanya itu untukku, sebagai permohonan maaf darinya dikarenakan telah membuatku khawatir.Dia memang benar – benar baik.Aku pun bertanya wacana dirinya seminggu ini. Dia bilang hanya sakit flu dan demam hingga ia tak sanggup bersekolah dulu. Akhirnya kami pun saling bertukar dongeng dan pengalaman. Ia dengan sekolahnya, dan saya dengan pekerjaanku,mengamen di bus Ibu Kota. Kemudian,Intan bertanya wacana alamatku. Katanya, lusa Ia dan ayahnya akan tiba ke rumahku. Ia ingin bertemu dengan ambu dan dik Fauzi. Aku pun dengan senang hati memberinya.Lalu, malamnya ku ceritakan rencana kedatangan Intan pada ambu.Ambu memang sudah tau wacana Intan.
Aku seringkali membicarakannya pada ambo.Ambo mengizinkan. Ternyata ambu juga ingin tau akan Intan. Namun, di hari yang di tunggu, Intan tak jua datang. Hingga larut malam saya dan ambo menunggunya namun ia tetap tak datang. Esoknya, saya pergi ke sekolah Intan untuk menanyakan alasan ia tak tiba kerumahku. Namun dari temannya, ku dengar kabar bahwa Intan tak masuk sekolah dan tak ada kabar.Aku semakin heran.Hatiku bertanya wacana kondisi Intan sekarang. Apakah ia sakit ? Atau ia pergi ?Ku putuskan untuk kembali ke rumah dan menanti kedatangannya.

3 hari kemudian, Sebuah kendaraan beroda empat sedan berwarna biru metalic muncul di gang depan rumahku. Seorang bapak keluar dari dalamnya dan tampak menuju rumahku. Tak usang kemudian, ia mengetuk pintu rumahku. Ambu menyuruhku membuka pintu dan mempersilahkannya masuk.Ketika itu kulihat wajah bapak itu muram dan sedih. Setelah ia memperkenalkan diri, barulah saya tau kalau ia yaitu bapak dari Intan,Pak Sudibyo. Aku bertanya dalam hati, mengapa Pak Sudibyo ini tiba sendiri tanpa Intan? Lalu, mengapa ia tampak sedih? .Pak Sudibyo menyodorkan sebuah kotak padaku.Katanya itu pinjaman dari Intan. Akhirnya, dengan penuh rasa penasaran, saya membuka kotak yang ternyata berisi surat.

Untuk sahabatku, Dio.
Di, maafkan saya bila ketika kamu membaca surat ini, saya tak bisa berada di sampingmu. Maaf, dikarenakan telah ingkar komitmen padamu.Sungguh, saya tak pernah berniat untuk melupakanmu.Kau yaitu sahabat terbaikku. Darimu, saya tau kehidupan keras di luar sana. Darimu, saya pun tau pentingnya mencar ilmu demi masa depan. Darimu juga, saya tau akan arti semangat dalam menjalani kehidupan. Terima kasih atas semua pengalaman yang telah kamu bagi denganku.Aku sangat kagum padamu.Dio, kamu mungkin tidak pernah berpikir bahwa saya sempat iri dengan semua pengalaman dan semangatmu.Aku iri dengan semua itu.Karena, saya tau saya mustahil sepertimu.Aku bukanlah orang yang selalu bersemangat dalam menjalani setiap langkah kehidupanku.Aku juga tidak pernah tau rasanya bekerja demi seorang yang ku sayang. Itu semua alasannya yaitu saya tau, bahwa hidupku tak akan lama. 
Aku telah divonis dokter terkena penyakit leukimia. Dan hidupku tak akan bertahan lama. Maaf, bila selama ini saya tak pernah memberitahumu wacana hal ini.Itu semua ku lakukan alasannya yaitu saya ingin kamu menganggapku sebagai seorang sobat yang normal, bukan penyakitan. Dalam surat ini saya ingin memberikan bahwa saya akan menepati janjiku padamu dulu. Papaku akan membiayai sekolahmu hingga kamu lulus kuliah nanti. Aku sudah meminta papa biar mau membiayaimu sekolah lagi.Dan ketika inilah, tiba waktunya bagimu untuk mewujudkan cita – cita. Aku yakin kamu akan berhasil dalam mewujudkan cita - citamu. Berjanjilah untuk terus semangat dalam menjalani kehidupan. Aku akan selalu mendukungmu.
Sahabatmu, Intan.

Aku tak sanggup membendung air mataku.Badanku terasa lemas dan tak bertulang.Aku merasa dunia terasa berputar begitu cepat. Belum usai kesedihanku atas kepergian Intan, kemudian surat itu pun tiba memberi cita-cita bagiku untuk kembali belajar. Tuhan, saya tak tau harus bagaimana? Apakah saya harus bersyukur atas semua insiden yang terjadi ini?Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih pada Intan. Terima kasih atas semua yang ia berikan untukku.

PROFIL PENULIS
Penulis : Khodijah Benuss
Facebook : Siti Khodijah Benuss
Twitter : @SkBenuss
Email : khodijahbenuss@yahoo.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel