Demi Senyum Ibuku - Cerpen Sedih

DEMI SENYUM IBUKU
Karya Annisa. Fauziah

Hari ini saya gres saja tetapkan hubunganku dengan Dimas, seorang pengusaha muda. Dari awal kekerabatan dengannya, saya sudah merasa tidak nyaman. Dimas ialah temanku lima tahun yang lalu. Kita pernah satu kelas sewaktu SMA. Dia anak salah seorang pengusaha di Jakarta. Kita sangat akrab, bahkan beliau sering sekali main ke rumahku. Dimas memang baik, beliau pandai sekali menarik perhatian ibuku. Aku gres tahu bahwa dimas menyimpan perasaan yang dalam kepadaku semenjak SMA, tapi entah mengapa saya sama sekali tak mempunyai perasaan apapun terhadapnya.

Sampai suatu hari kita di petemukan kembali, dan Dimas semakin sering main ke rumahku. Bagiku tak masalah, saya anggap itu hanya kunjungan biasa sesudah bertahun-tahun tak bertemu. Tiba-tiba saja Dimas memintaku untuk jadi kekasihnya. Aku tak pernah menawarkan reaksi apapun. Aku pikir saya tak mencintainya, dan sudah niscaya saya tak bisa menerimanya sebagai kekasihku. Tetapi ibu sangat menginginkan saya menjalin kekerabatan serius dengan Dimas. Alasannya, alasannya ialah Dimas sudah mapan dan tentunya bisa membahagiakan saya dan menjamin masa depanku kelak. Secara perlahan saya jelaskan pada ibu, bahwa saya tak mencintainya. Tetapi ibu sedikit memaksa, dan menyuruhku untuk mencoba. Ibu selalu bilang, bahwa cinta akan tiba dengan sendirinya. Aku tak ingin mengecewakan ibuku, balasannya saya bersedia menjadi kekasih Dimas.

Demi Senyum Ibuku
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan pepatah, yummy di jadikan sahabat belum tentu yummy di jadikan pacar. Itulah yang saya rasakan sesudah beberapa bulan menjalani kekerabatan dengan Dimas. Semakin hari, Dimas semakin membuktikan sifat aslinya. Dia selalu mengaturku, melarangku pergi bersama teman-temanku, menjemput dan mengantarku kerja. Jika satu kali saja sms atau telepon nya ada yang tak ku balas dan saya angkat, beliau selalu murka tak terang kepadaku. Atau kalau saya ngobrol dengan sahabat lelakiku beliau selalu menuduhku menduakan dengan temanku itu.

Aku capek mengahadapi sikapnya, hingga suatu ketika saya mengancamnya putus kalau beliau terus menyerupai itu. Akhirnya beliau meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Tapi selang beberapa minggu sikapnya kembali menyerupai semula. Dia terlalu possesif, dan itu yang tidak saya suka darinya. Belum lagi kerjaan yang selalu rumit, bukannya membantu beliau malah selalu menambah beban di pikiranku.

Tadinya saya tak ingin menceritakan ini pada ibuku, saya pikir saya akan bisa menghandle duduk kasus ini. Tapi ternyata saya tak tahan lagi menghadapi perilaku Dimas. Sampai balasannya saya menceritakan semua pada ibuku, bukannya prihatin dengan kondisiku yang sedikit tertekan, ibu malah tersenyum. “mungkin alasannya ialah terlalu cinta dan takut kehilangan kamu, makannya beliau menyerupai itu” terang ibu,santai. “tapi bu__” belum sempat saya meneruskan ucapanku, ibu memotongnya. “sudahlah nak, ibu tau kau hanya mengada-ada. Ibu lebih tau dimas itu menyerupai apa, beliau anak baik dan sopan. Dia sangat menghormati ibu dan beliau sangat menyayangimu. Mana mungkin beliau berani berbuat bergairah dan menyakitimu.” Ucap ibu panjang lebar sambil menepuk bahuku. Dan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Aku tertunduk sedih. Mengapa ibu lebih percaya dengan ucapan elok orang lain dibandingkan anaknya sendiri. Gumamku lirih.

Hari ini saya berangkat kerja sendiri, Dimas bilang beliau akan keluar kota untuk beberapa hari. Lega rasanya, saya menyerupai bisa sedikit bernafas untuk beberapa hari tanpa tekanan dari nya. Kali ini saya pergi ke kantor bersama sahabatku, Karin. cukup usang juga saya tak mencicipi suasana menyerupai ini lagi. Menyenangkan sekali. Seperti yang sering saya lakukan dulu, saya membonceng karin setiap kita berangkat kerja. Saking senangnya bergurau dan bercanda, saya hampir saja menabrak seorang lelaki. Untung rem ku injak cukup keras, hingga motor berhenti sempurna di depan lelaki itu. Tanpa di duga sebelumnya, ternyata itu Sandi. Teman kerja ku dulu, yang belakang layar saya kagumi. Sejak ketika itulah saya semakin dekat dengannya. Entah mengapa ada perasaan nyaman ketika ku berada di dekatnya. Bukan saja alasannya ialah saya pernah mengaguminya sewaktu dulu. Tapi alasannya ialah beliau seorang tipe humoris. Dia sering kali menghiburku. Bahkan tak segan-segan saya menceritakan kisahku kepadanya. Dia selalu memberiku pesan yang tersirat yang menenangkanku. Sepulangnya Dimas dari luar kota. Aku kembali merasa hidupku menyerupai di dalam penjara. 

Tapi ku tahan perasaan ini, demi ibuku. Tapi belakang layar tanpa sepengetahuan dimas saya selalu bertemu sandi. Dimanapun, kapanpun, Kami selalu menyempatkan bertemu walu hanya lima menit. Aku merasa ada yang berbeda dengan perasaanku. Mungkin saya mencitai sandi, dan sandipun begitu. Aku mulai berpikir wacana perasaanku, tak mungin bisa terus ku pertahankan kekerabatan ku dengan dimas. Karena selain saya tak mencintainya, Dimas sama sekali tak pernah membuatku bahagia. Akhirnya ku bulatkan tekadku untuk tetapkan hubunganku dengan Dimas. Dimas awalnya tak terima, tapi ku jelaskan secara perlahan, untungnya beliau sadar dengan kesalahnnya selama ini. Aku tau beliau teramat sangat menyesal, tapi ku bilang saya tetap tak bisa memberi beliau kesempatan lagi. Sewaktu saya menceritakan apa yang terjadi antara saya dan Dimas. Aku dan ibuku berdebat sangat hebat. Sepertinya ibu tak rela kalau saya putus dengan Dimas, apalagi sesudah ibu tahu saya tetapkan hubunganku dngan Dimas alasannya ialah saya menyayangi lelaki lain. Yang ekonomi dan status pekerjaannya jauh di bawah Dimas. Jika harus di katakan, mereka bagaikan langit dan bumi. Sandi memang orang tak punya, ia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Tapi saya sama sekali tak peduli dengan status sosialnya. Yang terpenting untukku beliau sangat menyayangiku dan beliau bisa membahagikanku walau dengan bahan seadanya. 

Aku tak masalah, tapi ibu sangat menentang hubunganku dengan Sandi. Ibu bilang Sandi tak pantas untukku, selain itu Sandi mempunyai tiga orang adik sedangkan Sandi merupakan anak pertama, sehingga segala kebutuhan keluarga dan sekolah adiknya sandi yang membiayai. Bisa di bilang Sandi merupakan tulang punggung kelurga sepeninggal ayahnya dulu. “apa kau siap hidup susah hah ? dari semenjak kau kecil ibu membanting tulang biar hidup kau tidak kekurangan, biar semua kebutuhanmu tercukupi. Tapi kini kenapa kau ingin melukai perasaan ibu dengan melihatmu menjadi orang susah?’ hardik ibu. Aku tak kuasa menatap kedua mata ibu, yang tampaknya memerah alasannya ialah amarahnya yang meledak. “tapi bu..bukannya kebahagiaan seseorang itu tak bisa di ukur dengan seberapa banyaknya bahan yang ia miliki. Aku sering mlihat orang kaya yang justru hidupnya tak bahagia. Aku benar-benar tak menyayangi Dimas bu. Aku mncintai Sandi. Tolong ibu ngertiin perasaan aku. Sekali ini saja. Aku mohon bu.”ujarku lirih , saya mulai terisak. Sedikit demi sedikit air mata mulai jatuh membasahi pipiku.
“cinta hah ? kau pikir ketika kau lapar kau bisa makan cinta, kau pikir beras di beli dengan cinta,begitu ?” hardik ibu lagi.
“Bukan begitu bu, yang terpenting buat saya ialah kenyamanan hati. Ibu tak pernah tau apa yang saya rasakan slama ini, saya tertekan bu .
“TERTEKAN? terang kau tertekan alasannya ialah kau tidak pernah mncoba membuka hati untuk dimas. Kamu sudah dibutakan dengan cinta.”
“aku telah mencobanya bu, saya selalu mencoba untuk menyayangi dimas tapi tetap tak bisa. Aku mohon , restui hubunganku dengan sandi. Sandi anak baik bu, saya yakin kelak beliau bisa menjadi imam yang baik untuk aku.”
“terseraah apa katamu, yang terang ibu tetap tak oke kau bekerjasama dengan orang yang tak terang asal usulnya, kalau kau ngotot, silahkan. Tapi jangan salahkan ibu, kalau suatu ketika kau hidup susah. Dan kalau kau tetap bersi keras, jangan panggil saya ibumu lagi, saya tak sudi punya anak durhaka menyerupai kamu. Kamu tinggal memilih. Lelaki itu atau ibu mu.” Perasaanku menyerupai tersambar petir mendengar ucapan ibu. Ibu masuk kedalam kamarnya. Aku masih terpaku di tempatku, tanpa sadar, tubuhku tampaknya lemas tak bertenaga, ku jatuhkan tubuhku di lantai. Aku menangis tersedu-sedu.
“Ya Allah,tolong bantu hamba. Lepaskan hamba dari pilihan yang menyulitkan hamba. Hamba yakin, hamba tak sedang dibutakan oleh cinta yang salah. Hamba menyayangi Sandi, tetapi hamba tetap tak bisa mengorbankan perasaan ibu hamba. Beri hamba petunjukmu ya Allah.” Doa itu yang selalu saya ucapkan dalam setiap shalatku.

Semenjak insiden malam itu, hubunganku dengan ibuku tak serasi lagi. Aku rindu saat-saat saya bercerita kepada ibu wacana pekerjaanku, wacana teman-temanku, atau insiden insiden lucu yang saya alami. Ibu lebih senang mengurung diri dikamar. Ibu hanya sesekali keluar kamar untuk menyediakanku makan tanpa menemaniku makan sperti dulu. Rumah ini sudah menyerupai neraka bagiku. Batapa tidak, ibu tak pernah menyapaku, ibu msih murka kepadaku, ibu selalu menampakan wajah sinisnya di depanku. Pernah beberapa kali saya menghampiri ibu di kamarnya, saya bercerita wacana kelakuan aneh teman-temanku. Tapi ibu tak memberiku respon, ibu mengacuhkanku. Jangankan untuk tersenyum , mendengar ceritakupun tampaknya tidak. Sebegitu bencikah engkau pada anakmu ini bu..? sebegitu salahkah saya dimatamu ibu? Salahkah kalau saya menyayangi pilihanku?

Hampir setiap hari saya menangis di rumah. Makanan yang ibu sediakan di meja makan sedikitpun tak ku makan, bukan tak ingin menghargai, rasanya hilang selera makanku. Aku sengaja meminta lembur kepada atasanku, saya mencoba menyibukkan diriku dengan pekerjaan. Itu satu-satu nya caraku untuk melupakan segala kesedihanku . sesungguhnya atasanku tak memberiku ijin, mungkin beliau tak tega melihatku. Badanku kurus kering, tetapi saya tetap memaksa. Aku tetap melakukannya. Hingga pada suatu hari saya berpikir untuk menemui Sandi dan menceritakan semua.
“Sandi, maafkan aku. Bukan saya tak mencintaimu. Tapi ibu tak merestui kekerabatan kita. Aku sudah di jodohkan dengan pilihan ibu. Aku harap kau mngerti, saya tak ingin jadi anak durhaka. Aku tersiksa di musuhi ibu kandungku sendiri dalam satu atap. Ku mohon, mengerti aku. Aku sangat mencintaimu, tapi tampaknya takdir tak mengijinkan kita untuk bersatu di dunia ini. Akupun tak ingin menjerumuskanmu ke dalam masalahku. Aku mohon maafkan saya San.” Tangisku meledak, saya tak kuasa menatap wajah Sandi orang yang ku cintai yang kini harus ku tinggalkan selamanya. Aku berlutut di hadapan Sandi.
“Bangun Key, kau tak perlu menyerupai ini. Aku memang sakit mendengar keputusanmu, tapi akupun tak ingin membuatmu semakin tersiksa kalau harus mempetahankan egoku. Yakinlah key, cinta sejati itu tak harus memiliki. Walaupun nanti kau akan menjadi milik orang lain, ku yakin niscaya cintamu hanyalah untukku . akupun tak ingin merusakmu menjadi ank yang tidak berbakti, kembalilah kepada ibumu, katakan bahwa kau akan menuruti keinginanya. Pergilah key...jangan pikirkan aku, saya tak yakin akan senang tanpamu, tapi untukku kebahagiaanmu lebih pnting di atas segalanya. Dan yang saya tau kebahagiaanmu ialah melihat ibumu tersenyum . pergilah.. bahagiakan ibumu.” Sandi mengangkat tubuhku, kulihat butiran air mata jatuh dari kedua matanya. Iya berusaha menyembunyikannya dariku, walapun kurasa usahanya itu percuma. Aku tetap tau bahwa beliau menangis. Aku memeluknya untuk pertama dan terakhir kali. Sepertinya berat melepaskan Sandi. Aku memeluknya dengan erat, begitupun sebaliknya. Kemudian saya secepatnya berlari menemui ibuku dirumah, saya akan memberikan wacana keputusanku. Seperti biasa, saya masuk dengan mengucapkan salam, tapi ibu tetap tak pernah menyahut salamku. Aku masuk ke dalam kamarnya. Ku lihat ibu sedang menyulam sebuah kain.
“Bu..” sapaku lirih seraya mendekati ibu yang masih serius menyulam. Ibu tetap tak menghiraukanku.
“Bu , maafkan saya telah menyakiti hati ibu. Aku tak pernah bermaksud menyerupai itu. Ibu,, dengarkan saya sekali saja. Aku sudah berpikir, dan saya sudah tetapkan untuk kembali mendapatkan Dimas, saya sudah tetapkan hubunganku dengan Sandi. Aku tau, ibu menyerupai ini hanya ingin melihatku senang bukan, untuk itu seharusnya juga saya menciptakan ibu bahagia. Aku hanya meminta satu hal dari ibu, tolong jangan musuhi saya bu, saya anakmu. Aku sangat menyayangimu. Aku sangat tersiksa ketika ibu acuhkan aku. Maafkan saya bu, saya berjanji tak akan mengulang kesalahan ini lagi, tak akan berani saya mnyakiti persaan ibu lagi. Apapun akan ku lakukan biar ibu bisa tersenyum kepadaku menyerupai dulu” ku dengar bunyi isak tangis ibuku.
“benarkah apa yang telah kau katakan nak ? ibu sangat senang mendengarnya. Ibu selalu yakin kau niscaya menentukan ibu.” Ibu memelukku. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan ibu. Akhirnya saya bisa mencicipi lagi dekapan hangat ibuku yang sudah usang hilang. Walau sesungguhnya batinku teramat tersiksa , tapi tak ku pedulikan itu. Ku sampingkan rasa sakitku demi melihat senyum ibuku. Semoga ini menjadi keberkahan dalam hidupku. Doaku dalam hati.

Hari ini akan di langsungkan ijab kabul antara saya dan Dimas. Sejak ketika itu, air mataku tak prnah berhenti mengalir mengingat Sandi. Tapi tetap ku sembunyikan semua itu depan ibuku. Aku tak mau ibu kecewa dan murka lagi padaku. Detik-detik menjelang ijab kobul, saya merasa tidak yummy di sekujur tubuhku. Badanku menggigil kedinginan. Sebenarnya satu bulan kebelakang, saya memang sedikit kurang sehat. Mungkin alasannya ialah terlalu banyak duduk kasus yang menghimpit otak dan menguras tenagaku, hingga ku lalaikan kesehatanku. Dadaku sangat sesak, tiba-tiba saja di atas kepalaku menyerupai banyak kunang-kunang. Aku menjatuhkan kepala ke atas meja di depanku,,,braakkk. Sontak semua tamu berteriak, terutama ibu tampaknya ibu mencemaskan keadaanku. Dimas menopang bahuku,,
“keyy kau kenapa keyy?? Bangunlah nak,, apa yang terjadi padamu?? Dimas cepet telpon dokter !” terdengar samar bunyi ibu di telingaku. Setelah itu akau tak tahu lagi apa yang terjadi padaku, yang saya tahu saya tebaring lemah di atas ranjang dengan selang infus di hidungku, kurang jelas terlihat saya sperti di kelilingi Dimas, ibu, Karin, atasanku, jugaa....Sandi. Yah Sandi ada disini, membuatku sedikit tersenyum melihat wajahnya. Perlahan-lahan saya membuka mataku. Aku lihat ibu disampingku, memegang tanganku dan tak henti-hentinya menangis sambil berkata maafkan ibu nak,,maafkan ibu. Seperti itulah, berulang ulang kali ibu menyampaikan itu.
“maaf untuk apa bu, ibu jangan menangis. saya baik baik saja bu, ibu jangan cemaskan aku“ ucapku terbata-bata. Aku berusaha susah payah mnecoba mnghapus air mata ibuku yang tumpah entah seberapa banyak air mata yang ia jatuhkan untukku, saya merasa berdosa telah mmbuatnya menangis menyerupai ini.
“maafkan ibu sayang, ibu yang salah, ibu yang egois , ibu yang tidak pernah mendengarkan keinginanmu, ibu yang tak pernah tahu kabahagaiannmu menyerupai apa, ibu tak pernah tau betapa tertekannya kau nak, maafkan ibu,, ibu menyesal..” ibu menangis lagi, membuatku tak tahan dan saya ikut menangis, rasanya dadaku semakin sesak, badanku semakin kedinginan.
“ibu tak perlu minta maaf bu, melihat ibu tersenyum pun saya sudah sangat bahagia, senyum ibu jauh lebih berharga di atas segalanya,,”aku tersenyum pada ibuku. Kemudian saya menoleh ke arah Dimas dan Sandi ,,, saya meminta keduanya untuk menjaga ibuku. Mereka setuju. Khusus untuk Sandi saya tetap mngatakan saya sangat mencintainya.. ku lihat semua orang menagis. Mungkin ini saatnya saya pergi meninggalkan semua kehidupan di dunia. Tapi saya tak menyesal, alasannya ialah di final hayatku saya bisa mengembalikkan senyum ibukku. Aku sangat menyayangi ibuku.. saya menutup mataku,, saya membaca syahadat dengan sedikit terbata-bata. Ku hembuskan nafas terkhirku disni. Terima kasih ibu untuk segalanya..aku anakmu, yang sangat mencintaimu.

*SEKIAN*

PROFIL PENULIS
NAMA : ANISA FAUZIAH
ALAMAT : SUMEDANG , JAWA BARAT
FACEBOOK : Annisa Fauziah Sawabi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel