Dongeng: Kisah Si Lancang
Sabtu, 15 November 2014
Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di kawasan Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai buruh tani.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan biar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan biar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu dikala Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, masakan ringan elok kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia mempunyai berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan glamor dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung lama dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri beliau naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya ialah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu renta tersebut. Tetapi wanita itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menjadikan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa wanita compang camping yang diusir itu ialah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin saya mempunyai ibu wanita miskin menyerupai kamu. Kelasi! usir wanita abnormal ini."
Ibu yang malang ini balasannya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, kemudian ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu."
Dalam sekejap, turunlah angin kencang topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga hingga di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan biar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan biar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu dikala Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya sebungkus lumping dodak, masakan ringan elok kegemaran Si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia mempunyai berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan glamor dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan Si Lancang.
Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung lama dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri beliau naik ke geladak kapal mewahnya Si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya ialah ibunya Si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu renta tersebut. Tetapi wanita itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menjadikan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa wanita compang camping yang diusir itu ialah ibunya. Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin saya mempunyai ibu wanita miskin menyerupai kamu. Kelasi! usir wanita abnormal ini."
Ibu yang malang ini balasannya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, kemudian ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ... hukumlah si Anak durhaka itu."
Dalam sekejap, turunlah angin kencang topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar hingga hingga di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.