Cerita Silat: Pantang Berdendam 6 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 06 Oktober 2014
Sebelumnya...
Seharusnya Gumara tak usah sekaget itu. Sampai pagi ia tak tidur. Dia meratapi diri, mengapa ia setolol dan sepengecut itu. Dia sudah banyak mendengar ciri khas desa Kumayan ini. Terutama dari ibunya. Sehingga khayal mengenai yang aneh-aneh wacana desa ini sudah hidup sejak ia kecil. Karena itu saat muncul anjuran mengajar ke desa, dari tujuh desa yang diajukan maka dipilihnyalah desa Kumayan.
Tetapi yang bergotong-royong menghendaki ia kesini yaitu ibunya. Juga ibunya yang menyuruh ia menemui Lebai Karat melebihi Pak Camat atau Kakanwil setempat Seharusnya pagi ini Gumara letih sekali. Tapi alasannya yaitu ia sudah puas memaki-maki ketololannya semalam, pagi ini ia menyerupai sadar apa yang mesti dilakukannya. Gumara segar bugar. Dia berolahraga di kamar tahanan, sehingga mencengangkan polisi-polisi jaga disana .
Tiba-tiba saja, muncul seseorang yang tidak ia kenal. Orang itu tua, bercakap-cakap sejenak dengan petugas jaga, kemudian menuju ke kamar tahanan. Letaki renta itu bersikap amat sopan.
Ketika ia mengulurkan tangan menyalami Gumara, ia memperkenalkan dirinya “Panggil saya Pak Lading Ganda”. Namun genggaman salamannya tidak ia lepaskan sehabis Gumara memperkenalkan nama dirinya.
“Apa maksud Bapak ke sini?” tanya Gumara.
“Tadi kamu tidak melihat seseorang yang saya serahkan pada polisi?”
“Siapa dia?” tanya Gumara.
“Pendekar Cacing. Dialah yang membunuh si Tohing. Dia taruh goloknya di Kelangkan atap rumahmu. Makara saya ke sini bukan ingin menonjolkan jasa baik saya.
Tetapi hanya memberitahu, bahwa saya telah tangkap pembunuh Tohing yang sebenarnya. Satu jam lagi paling-paling tuan guru muda akan dibebaskan dari tahanan”, barulah lelaki renta itumelepaskan salamannya. Gumara hampir tak yakin akan keterangan ini. Dadanya seakan sesak. Dia tak mengira, bahwa di desa ini masih ada seseorang yang berbudi baik.
“Siapa nama Bapak? Mau bapak mengulangi?” ujar Gumara.
“Lading Ganda, Mampirlah ke padepokan saya sehabis keluar. Nah, selamat atas kebebasanmu!” ujar Pak renta Lading Ganda.
Rasanya terlalu singkat bagi Gumara pertemuan indah ini. Dia akhimya memang dipersilahkan keluar dari tahanan dan menerimasurat pembebasan. Cuma, dengan syarat untuk 15 hari berikutnya ia tidak diperkenankan meninggalkan kecamatan Kumayan. Kemudian ia mengucapkan Terimakasih pada Letnan Amir, tapi Letnan Amir ber tanya “Pak Guru tahu lewat jalan mana untuk hingga ke rumah?”
“Saya dapat menanyakannya ke sekolah kawasan saya mengajar”, kata Gumara. Kebetulan di tengah jalan ia sendiri pun sudah jadi perhatian banyak anak sekolah dan orang-orang. Dia menanyakan rumah Pak .Yunus. Seorang murid mengantarnya ke SMP. Ah, saya belum mandi. Kepada anak itu Gumara bertanya
“Mau mengatakan rumah kawasan pembunuhan Tohing terjadi?”
“Kenapa abang dibebaskan?” tanya anak itu.
“Karena saya seorang Guru, bukan pembunuh. Pembunuhnya Pendekar Cacing, yang sekarang meringkuk di bekas kamar tahananku”, kata Gumara.
Dengan diiring beberapa anak sekolah, Gumara datang di rumah jabatan. Dia berusaha ramah kepada bawah umur yang baik hati itu. Tapi ia perlu segera mandi. Sebab ia mesti menghadap Bapak Kakanwil, kemudian ke sekolah kawasan ia harus mengajar.
“Maaf, kalian terlambat masuk kelas nanti. Kakak akan mandi dulu ya?” ujar Gumara ramah.Setelah bawah umur itu pergi, Gumara siap untuk mandi pagi. Dia membawa handuk, tetapi secara naluriah ia menyerupai nya mencicipi sesuatu bau. Bau amis. Bau darah yang sudah menginap! Bulu romanya merinding. Tapi ia tak ingin sekonyol tadi malam. Dia harus berani dan mengusir khayal yang menyerupai dongeng itu.
Tapi saat ia mendorong pintu kamar mandi, ia rasakan lagi basi lain. Bau bunga tujuh macam, yaitu basi bunga untuk orang mati. Namun terus didorongnya pintu. Dia belalakkan mata melihat sekeliling. Lalu ia mandi. Tetapi, sewaktu Gumara simpulan mengenakan celana dalam, lehemya menyerupai kena tepuk tangan. Dan ia berbalik ...
Bah! Tampak ada satu kepala bergantung tanpa tubuh. Kepala itu kepala Tohing, penuh bintil dan nanah, dengan leher terjulur dan mata terbelalak. Gumara kali ini tak mau tertipu oleh pandangan matanya. Dia melotot terus menatap kepala tergantung itu, kemudian meludahinya dan berteriak “Setan!”. Gumara berhasil, Dalam sekelebatan, sehabis diludahi, kepala tergantung mengerikan itu tenyap dari pandangan matanya. Hatinya lega. Dan ia tetap lega saat melangkah ke luar rumah menuju Kantor Kakanwil.
Bersambung...
Seharusnya Gumara tak usah sekaget itu. Sampai pagi ia tak tidur. Dia meratapi diri, mengapa ia setolol dan sepengecut itu. Dia sudah banyak mendengar ciri khas desa Kumayan ini. Terutama dari ibunya. Sehingga khayal mengenai yang aneh-aneh wacana desa ini sudah hidup sejak ia kecil. Karena itu saat muncul anjuran mengajar ke desa, dari tujuh desa yang diajukan maka dipilihnyalah desa Kumayan.
Tetapi yang bergotong-royong menghendaki ia kesini yaitu ibunya. Juga ibunya yang menyuruh ia menemui Lebai Karat melebihi Pak Camat atau Kakanwil setempat Seharusnya pagi ini Gumara letih sekali. Tapi alasannya yaitu ia sudah puas memaki-maki ketololannya semalam, pagi ini ia menyerupai sadar apa yang mesti dilakukannya. Gumara segar bugar. Dia berolahraga di kamar tahanan, sehingga mencengangkan polisi-polisi jaga disana .
Tiba-tiba saja, muncul seseorang yang tidak ia kenal. Orang itu tua, bercakap-cakap sejenak dengan petugas jaga, kemudian menuju ke kamar tahanan. Letaki renta itu bersikap amat sopan.
Ketika ia mengulurkan tangan menyalami Gumara, ia memperkenalkan dirinya “Panggil saya Pak Lading Ganda”. Namun genggaman salamannya tidak ia lepaskan sehabis Gumara memperkenalkan nama dirinya.
“Apa maksud Bapak ke sini?” tanya Gumara.
“Tadi kamu tidak melihat seseorang yang saya serahkan pada polisi?”
“Siapa dia?” tanya Gumara.
“Pendekar Cacing. Dialah yang membunuh si Tohing. Dia taruh goloknya di Kelangkan atap rumahmu. Makara saya ke sini bukan ingin menonjolkan jasa baik saya.
Tetapi hanya memberitahu, bahwa saya telah tangkap pembunuh Tohing yang sebenarnya. Satu jam lagi paling-paling tuan guru muda akan dibebaskan dari tahanan”, barulah lelaki renta itumelepaskan salamannya. Gumara hampir tak yakin akan keterangan ini. Dadanya seakan sesak. Dia tak mengira, bahwa di desa ini masih ada seseorang yang berbudi baik.
“Siapa nama Bapak? Mau bapak mengulangi?” ujar Gumara.
“Lading Ganda, Mampirlah ke padepokan saya sehabis keluar. Nah, selamat atas kebebasanmu!” ujar Pak renta Lading Ganda.
Rasanya terlalu singkat bagi Gumara pertemuan indah ini. Dia akhimya memang dipersilahkan keluar dari tahanan dan menerimasurat pembebasan. Cuma, dengan syarat untuk 15 hari berikutnya ia tidak diperkenankan meninggalkan kecamatan Kumayan. Kemudian ia mengucapkan Terimakasih pada Letnan Amir, tapi Letnan Amir ber tanya “Pak Guru tahu lewat jalan mana untuk hingga ke rumah?”
“Saya dapat menanyakannya ke sekolah kawasan saya mengajar”, kata Gumara. Kebetulan di tengah jalan ia sendiri pun sudah jadi perhatian banyak anak sekolah dan orang-orang. Dia menanyakan rumah Pak .Yunus. Seorang murid mengantarnya ke SMP. Ah, saya belum mandi. Kepada anak itu Gumara bertanya
“Mau mengatakan rumah kawasan pembunuhan Tohing terjadi?”
“Kenapa abang dibebaskan?” tanya anak itu.
“Karena saya seorang Guru, bukan pembunuh. Pembunuhnya Pendekar Cacing, yang sekarang meringkuk di bekas kamar tahananku”, kata Gumara.
Dengan diiring beberapa anak sekolah, Gumara datang di rumah jabatan. Dia berusaha ramah kepada bawah umur yang baik hati itu. Tapi ia perlu segera mandi. Sebab ia mesti menghadap Bapak Kakanwil, kemudian ke sekolah kawasan ia harus mengajar.
“Maaf, kalian terlambat masuk kelas nanti. Kakak akan mandi dulu ya?” ujar Gumara ramah.Setelah bawah umur itu pergi, Gumara siap untuk mandi pagi. Dia membawa handuk, tetapi secara naluriah ia menyerupai nya mencicipi sesuatu bau. Bau amis. Bau darah yang sudah menginap! Bulu romanya merinding. Tapi ia tak ingin sekonyol tadi malam. Dia harus berani dan mengusir khayal yang menyerupai dongeng itu.
Tapi saat ia mendorong pintu kamar mandi, ia rasakan lagi basi lain. Bau bunga tujuh macam, yaitu basi bunga untuk orang mati. Namun terus didorongnya pintu. Dia belalakkan mata melihat sekeliling. Lalu ia mandi. Tetapi, sewaktu Gumara simpulan mengenakan celana dalam, lehemya menyerupai kena tepuk tangan. Dan ia berbalik ...
Bah! Tampak ada satu kepala bergantung tanpa tubuh. Kepala itu kepala Tohing, penuh bintil dan nanah, dengan leher terjulur dan mata terbelalak. Gumara kali ini tak mau tertipu oleh pandangan matanya. Dia melotot terus menatap kepala tergantung itu, kemudian meludahinya dan berteriak “Setan!”. Gumara berhasil, Dalam sekelebatan, sehabis diludahi, kepala tergantung mengerikan itu tenyap dari pandangan matanya. Hatinya lega. Dan ia tetap lega saat melangkah ke luar rumah menuju Kantor Kakanwil.
Bersambung...