Cerita Silat: Pantang Berdendam 5 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 06 Oktober 2014
Sebelumnya...
Harwati pulang dengan langkah-langkah gemas. Lebai Karat menyambut puterinya dengan ketenangan seorang Guru.
“Dia niscaya menolak anjuran jasa baikmu, Wati”.
“Benar, Pak”, sahut Wati.
“Aku sudah menduga”.
“Dan kesombongannya menjijikkan!”, gerutu gadis itu.
“Ya. Dia mungkin merasa dirinya bisa membebaskan tuduhan pembunuhan itu.
Tapi kau lihat beliau masih dalam tahanan polisi ? tanya Ki Karat.
“Biarlah beliau mampus. Tapi kesan saya beliau meremehkan Bapak”, kata Harwati dengan impian semoga ayahnya ikut jadi gemas. Tetapi sifat waskita seorang Guru, Ketua dari harimau-harimau Kumayan ini, justru lebih menonjol.
“Namun saya tahu siapa yang bekerja di balik pembunuhan Tohing ini”, ujar Ki Karat,
“Ini niscaya pekerjaan kawanku juga”.
“Maksud bapak, ini kerja Pak Humbalang?” tanya Harwati.
“Bukan. Ini niscaya pekerjaan si Lading Ganda”.
“Di mana Bapak tahu?” tanya sang anak.
“Setiap kerja iseng dengan golok, itu niscaya kerja si Lading Ganda. Dia niscaya tak suka Gumara ada di Kumayan ini”, kata sang Guru.
Ramalan itu sempurna Memang benar kepala Tohing terpisah dari badannya ialah akhir tebasan sebuah golok. Dan golok itu ditemukan polisi berada di langkan atap rumah jabatan Gumara. Sehingga menambah lagi bukti bahwa memang Gumara yang membunuh Pak Tohing.
Dan malam ini Gumara tak bisa tidur, Karena nyamuk sangat banyak di kamar tahanan. Sedangkan ia satu-satunya berada di kamar tahananan itu, Tapi, ketika beliau mengebaskan kain sarong mengusir nyamuk, beliau tiba-tiba melihat ada satu gerak asing di luar jeruji besi itu.
“Siapa itu!” Gumara berseru mematikan puntung rokok.
“Aku”.
“Siapa?”
“Tohing”, jawab sosok yang bangun di kegelapan itu.
“Hei, bukankah kau sudah mati terbunuh?”
“Bukan saya yang dibunuh pagi tadi. Aku masih hidup.
Boleh saya mendekati kau, guru muda?”
Gumara bukan menjadi puas atas balasan itu. Malahan beliau jadi ngeri. Jangan-jangan itu hantu, atau roh si Tohing yang masih berkeliaran!
Tetapi, sebelum Gumara melarang, tubuh tinggi itu mendekat Karena cahaya lampu lorong amat suram, tak terang sosok yang mendekatinya itu. Semakin beliau mendekat, tampaknya semakin tinggi tubuhnya. Dan ini menciptakan Gumara merinding kemudian memejamkan mata.
Namun langkah sosok orang tinggi itu semakin dan semakin mendekat menuju jeruji kamar tahanan itu. Dan sekarang terasa pula ban yang amat menusuk. Yaitu bacin bunga mayat.
“Jangan takut. Aku bukan hantu”, Gumara mendengar suara.
“Tapi siapa anda?!”
“Aku Tohing”.
“Tidak. Tidak!”
“Aku Tohing” Bukalah matamu, jangan takut”, bunyi itu sekarang lembut. Tapi Gumara tetap takut untuk membuka mata. Dia benar-benar ngeri ketika ini. Sebab yang semacam ini dirasakannya bersuasana aneh.
“Hai, guru muda. Dengarlah. Percayalah. Aku Tohing yang masih tetap hidup sepulang dari rumahmu semalam”, kata bunyi di balik terali besi itu.
“Jika kau tak mau melihatku, ulurkan tanganmu. Supaya bisa kubantu untuk meraba wajahku yang penuh bintil ini, yang penuh getah yang ibarat getah pepaya ini”.
Biarpun punya rasa ngeri, tapi hatinya agak terpikat untuk menyaksikan kebenaran ini. Siapa tahu memang beliau ini Tohing. Dan saya bisa bebas dari tuduhan membunuh Tohing. Agak enggan, Gumara mengulurkan tangan kirinya. Maksudnya sedikitpun tiada membuka mata. Tapi sesudah jarinya mencicipi bintil-bintil yang menjijikkan itu, Gumara cepat menarik tangannya. Lalu matanya dibukanya! Bah, benar! Benar Tohing masih hidup. Mata Gumara melotot heran. Lalu didengarnya Tohing berkata “Beri saya sebatang rokok”.
Dan Gumara merogoh kantong. Karena rokok itu ada di kantong belakang celana dalam, ia agak sulit mengeluarkannya. Dan sesudah rokok itu beliau dapatkan, maksudnya akan menyodorkan pada Tohing. Tetapi ... yang dilihatnya ialah tubuh tanpa kepala! Gumara menjerit dan ketika dilihatnya lagi, sosok itu tak berkepala itu sudah menghilang. Sersan jaga Ahmad mendekat, kemudian bertanya; “Kau melihat setan ya?”. Gumara tidak menjawab. Keringat dinginnya bercucuran, tak henti-henti.
Bersambung...
Harwati pulang dengan langkah-langkah gemas. Lebai Karat menyambut puterinya dengan ketenangan seorang Guru.
“Dia niscaya menolak anjuran jasa baikmu, Wati”.
“Benar, Pak”, sahut Wati.
“Aku sudah menduga”.
“Dan kesombongannya menjijikkan!”, gerutu gadis itu.
“Ya. Dia mungkin merasa dirinya bisa membebaskan tuduhan pembunuhan itu.
Tapi kau lihat beliau masih dalam tahanan polisi ? tanya Ki Karat.
“Biarlah beliau mampus. Tapi kesan saya beliau meremehkan Bapak”, kata Harwati dengan impian semoga ayahnya ikut jadi gemas. Tetapi sifat waskita seorang Guru, Ketua dari harimau-harimau Kumayan ini, justru lebih menonjol.
“Namun saya tahu siapa yang bekerja di balik pembunuhan Tohing ini”, ujar Ki Karat,
“Ini niscaya pekerjaan kawanku juga”.
“Maksud bapak, ini kerja Pak Humbalang?” tanya Harwati.
“Bukan. Ini niscaya pekerjaan si Lading Ganda”.
“Di mana Bapak tahu?” tanya sang anak.
“Setiap kerja iseng dengan golok, itu niscaya kerja si Lading Ganda. Dia niscaya tak suka Gumara ada di Kumayan ini”, kata sang Guru.
Ramalan itu sempurna Memang benar kepala Tohing terpisah dari badannya ialah akhir tebasan sebuah golok. Dan golok itu ditemukan polisi berada di langkan atap rumah jabatan Gumara. Sehingga menambah lagi bukti bahwa memang Gumara yang membunuh Pak Tohing.
Dan malam ini Gumara tak bisa tidur, Karena nyamuk sangat banyak di kamar tahanan. Sedangkan ia satu-satunya berada di kamar tahananan itu, Tapi, ketika beliau mengebaskan kain sarong mengusir nyamuk, beliau tiba-tiba melihat ada satu gerak asing di luar jeruji besi itu.
“Siapa itu!” Gumara berseru mematikan puntung rokok.
“Aku”.
“Siapa?”
“Tohing”, jawab sosok yang bangun di kegelapan itu.
“Hei, bukankah kau sudah mati terbunuh?”
“Bukan saya yang dibunuh pagi tadi. Aku masih hidup.
Boleh saya mendekati kau, guru muda?”
Gumara bukan menjadi puas atas balasan itu. Malahan beliau jadi ngeri. Jangan-jangan itu hantu, atau roh si Tohing yang masih berkeliaran!
Tetapi, sebelum Gumara melarang, tubuh tinggi itu mendekat Karena cahaya lampu lorong amat suram, tak terang sosok yang mendekatinya itu. Semakin beliau mendekat, tampaknya semakin tinggi tubuhnya. Dan ini menciptakan Gumara merinding kemudian memejamkan mata.
Namun langkah sosok orang tinggi itu semakin dan semakin mendekat menuju jeruji kamar tahanan itu. Dan sekarang terasa pula ban yang amat menusuk. Yaitu bacin bunga mayat.
“Jangan takut. Aku bukan hantu”, Gumara mendengar suara.
“Tapi siapa anda?!”
“Aku Tohing”.
“Tidak. Tidak!”
“Aku Tohing” Bukalah matamu, jangan takut”, bunyi itu sekarang lembut. Tapi Gumara tetap takut untuk membuka mata. Dia benar-benar ngeri ketika ini. Sebab yang semacam ini dirasakannya bersuasana aneh.
“Hai, guru muda. Dengarlah. Percayalah. Aku Tohing yang masih tetap hidup sepulang dari rumahmu semalam”, kata bunyi di balik terali besi itu.
“Jika kau tak mau melihatku, ulurkan tanganmu. Supaya bisa kubantu untuk meraba wajahku yang penuh bintil ini, yang penuh getah yang ibarat getah pepaya ini”.
Biarpun punya rasa ngeri, tapi hatinya agak terpikat untuk menyaksikan kebenaran ini. Siapa tahu memang beliau ini Tohing. Dan saya bisa bebas dari tuduhan membunuh Tohing. Agak enggan, Gumara mengulurkan tangan kirinya. Maksudnya sedikitpun tiada membuka mata. Tapi sesudah jarinya mencicipi bintil-bintil yang menjijikkan itu, Gumara cepat menarik tangannya. Lalu matanya dibukanya! Bah, benar! Benar Tohing masih hidup. Mata Gumara melotot heran. Lalu didengarnya Tohing berkata “Beri saya sebatang rokok”.
Dan Gumara merogoh kantong. Karena rokok itu ada di kantong belakang celana dalam, ia agak sulit mengeluarkannya. Dan sesudah rokok itu beliau dapatkan, maksudnya akan menyodorkan pada Tohing. Tetapi ... yang dilihatnya ialah tubuh tanpa kepala! Gumara menjerit dan ketika dilihatnya lagi, sosok itu tak berkepala itu sudah menghilang. Sersan jaga Ahmad mendekat, kemudian bertanya; “Kau melihat setan ya?”. Gumara tidak menjawab. Keringat dinginnya bercucuran, tak henti-henti.
Bersambung...