Cerita Silat: Pantang Berdendam 2 - Seri Tujuh Insan Harimau

 ia mendapati dua orang yang sedang diguyur air  kembang Cerita Silat: Pantang Berdendam 2 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Ketika Gumara tiba disana , ia mendapati dua orang yang sedang diguyur air kembang. Lain tamu yang gres tiba tadi masih didaftar. Gumara ragu, apakah ia perlu mendaftar?
Gumara ingin menunjukkan perilaku rendah hati. Di antara dua orang tamu lain yang sudah mendaftar, ia duduk. Lalu petugas pencatat bertanya padanya “Anda mau ketemu Ki Karat?”
“Ya”.
“Silahkan maju”, ujar petugas pencatat. Gumara bangun dan menawarkan kartu penduduknya.
“Mau berobat atau ada keperluan lain, contohnya guna-guna?” tanya pencatat itu.
“Oh, sama sekali bukan”, kata Gumara.
“Lalu ke sini mau apa?”
“Cuma mau jumpa Lebai Karat”, ujar Gumara.
“Barangkali undangan anda ditolak, Tadi kesini naik apa? Naik ojek juga?” tanya pencatat.
“Saya? Oh, saya akan jadi penduduk Kumayan, mas”, kata Gumara.
Pencatat itu agak curiga. Dia mempersilahkan Gumara kembali duduk di tempat. Dengan kecurigaan yang tidak sanggup disembunyikannya, pencatat itu akhirnya masuk ke dalam rumah. Sementara pencatat itu masuk, Gumara bertanya pada dua orang tamu itu “Bapak mau berobat ke sini?”
“Ya, saya diracun orang. Lihat, tubuh saya sudah kurus kering, uang sudah habis. Cuma alasannya berebut pangkat di kantor tubuh jadi begini”, kata yang kurus. “Dan ibu?” tanya Gumara pada tamu yang satu lagi. “Saya dimadu. Suami saya kawin lagi. Mau minta sumbangan Ki Karat semoga suami saya benci pada bini mudanya”, ujar perempuan yang datangnya hampir serempak dengan Gumara.
Gumara hanya menghela nafas sejenak. Lalu ia melihat pencatat tadi begitu sibuk dalam ruangan. Kemudian ia berkata “Bapak tadi yang namanya Gumara ya?”
“Betul”. kata Gumara.
“Bapak disilahkan Ki Karat masuk menghadap”, kata orang itu.
“Baik”.
Gumara menarik nafas sejenak, kemudian bangun dengan perilaku dada lapang. Lalu ia melangkah perlahan menuju orang yang memanggil, Kemudian sebuah pintu dibukakan bagi Gumara. Gumara pun masuk ke dalam. Dia membungkuk hormat memberi salam pada lelaki bau tanah yang duduk bersila di atas kasur empat segi.
“Silahkan duduk, juragan”, ujar lelaki bau tanah itu, yang sudah diketahui Gumara yaitu Lebai Karat. Gumara duduk. Lalu ia mencicipi ada amis tidak nyaman di hadapannya. Gumara menyerupai ketakutan. kendati Cuma sedetik saja.
“Adaperasaan tidak yummy ya?” tanya lelaki bau tanah berjanggut putih.
“Ya”.
“Itu tanda kau ada maksud tidak baik mau mencari saya”. Ucapan itu terperinci sebuah tuduhan. Gumara siap untuk diuji.
“Barangkali kau mau mencoba?” tanya Ki Karat.
“Mencoba apa, Guru?”
“Jangan bohong. Kamu ke sini mau membalas dendam”, ujar Ki Karat.
“Tidak demikian. Saya menghadap kesini alasannya tahu bahwa bapak yaitu Ketua dari semua Tetua di daerah ini. Sedangkan saya ke sini mau menjadi Guru Sekolah Menengah Pertama dalam mata pelajaran Fisika dan Matematika. Supaya saya kondusif selama menjadi penduduk Kumayan, Saya pun ke sini, menghadap Bapak. Saya sudah dengar kesaktian bapak”.
Ki Karat tersenyum senang. Dia jarang mau dipuji, kecuali pada dikala ini.
“Jadi itukah keperluanmu menghadap saya?” tanya Lebai Karat.
“Ya, pakGuru”.
“Tapi saya ingin balasan yang kesatria, nak ”.
“Maksud Pak Guru?” tanya Gumara.
“Kau dengan rendah hati menghadap saya ke sini bukan untuk mempersiapkan suatu maksud jahat?”
Gumara sengaja tak menjawab, kecuali tersenyum lebar sembari berkata; “Ah, anda yang ilmunya begitu tinggi, tentu lebih tahu dari segala orang pandai”.
Lalu Gumara melihat perubahan sosok di hadapannya, ketika ia menyeringai. itu bukan lagi seringai Lebai Karat. Tapi seringai seekor raja harimau. Dan harimau itu siap menerkam Gumara. Ia mundur, tapi Gumara tetap damai duduk bersila. Harimau tadi mundur lagi, seolah-olah mau mengambil teladan untuk melompati dan menerkam Gumara. Namun Gumara hanya damai saja, kecuali mengatur nafas. Dua tamu di luar, dan juru catat tadi, justru merekalah yang gelisah.
Tidak berapa usang kemudian, mereka melihat lelaki muda yang tadi disuruh masuk sudah muncul di luar. Petugas pencatat menjelma hormat melihat munculnya Gumara.
Lalu petugas pencatat memanggil nama lelaki kurus. Lelaki kurus itu dipersilahkan masuk. Waktu itu, Gumara sudah meninggalkan rumah Lebai Karat. Dia menganggap tugasnya sudah selesai, yaitu menghadap Ketua dari semua Tetua di desa Kumayan.
Malam semakin jauh, namun langit semakin benderang gemintang. Seekor babi melintas sekelebatan. Dan Gumara tahu, mungkin itu bukan babi. Memang hampir di seluruh desa ini dipenuhi oleh mahluk jadi-jadian. Buat yang tidak mempunyai kelebihan indera dan sekedar cuma punyalima (panca) indera saja, memang sulit untuk meraba mana yang salah dan mana yang benar.
Yang anehnya, setiba di rumah jabatan menjelang tengah malam, Gumara agak terheran-heran sudah ada tamu tak diundang. Dia duduk di sebuah dingklik dengan kepala menekur.
Gumara memberi salam. Tamu itu menyahut, tanpa menolehkan muka. Gumara agak berhati-hati bertanya
“Dari mana anda masuk tadi?”
“Dari belakang”, ujar tamu tak dikenal dan tak di undang itu.
“Bagaimana anda sanggup masuk, Pak?”
“Ini milik saya dulu. Tapi pemilikan rumah ini ada permainan uang sogok, sehingga saya ditendang. Karena saya masih protes terus, nak, inilah akibatnya”, kemudian lelaki tak dikenal itu menunjukkan wajah. Dan wajah itu begitu mengerikan. Yaitu adanyalima enam lubang, dan lubang itu keluar semacam getah pepaya.
“Ki Karat yang punya kerjaan begini, nak”, ujar tamu tak dikenal itu.
“Oh, ia yang punya kerja”, kata Gumara seraya menghela nafas.
“Camat di sini juga ikut main. Tanah saya sudah banyak yang dicomot, nak.
Pendeknya, yang badung akhirnya jadi mangsa ilmunya Ki Karat”, kata tamu itu.
“Nama Bapak siapa?” tanya Gumara.
“Tohing”.
“Maksud ke sini mau apa?” tanya Gumara.
“Mau minta pertolongan”.
“Pertolongan? Lewat saya?”
“Ya, saya mau minta tolong pada anak”, kata orang yang mengaku Pak Tohing.
“Coba terangkan”, kata Gumara.
“Saya tahu, antara nak Gumara dengan Ki Karat ada satu kaitan. Tapi itu cuma dongeng orang. Dan saya juga tahu, tadi barusan saya dengar bahwa nak Gumara tiba menghadap Ki Karat. Ini tindakan kondusif jikalau orang mau selamat tinggal di Kumayan.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel