Dongeng: Kisah Sungai Jodoh
Minggu, 28 September 2014
Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis yatim piatu berjulukan Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan berjulukan Mak Piah. Mak Piah memiliki seorang putri berjulukan Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan saat melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil memperlihatkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu mengkremasi kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah banyak sekali alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, tiba berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu menciptakan orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi ingin tau dan berusaha menyidik asal undangan harta Mah Bongsu. Untuk menyidik asal undangan harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang ingin tau telah menyidik berhari-hari namun tidak sanggup menemukan rahasianya.
“Yang penting kini ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, alasannya yaitu Mah Bongsu selalu memberi pertolongan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.
Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar sanggup mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu saya juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini niscaya akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu kemudian di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Sunbulat ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin mengasihi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan masakan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan saya ke sungai, daerah pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata arif berbicara ibarat manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas akal yang setimpal dengan yang telah kamu berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak sanggup menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang cowok yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya daerah itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau menerima kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan kesepakatan nikah dengan cowok tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang tiba tiada henti-hentinya memperlihatkan ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, lantaran Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi cowok tampan itu dipercaya sebagai daerah jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.
Moral : Sikap tamak, serakah akan menjadikan kerugian pada diri sendiri. Sedang perilaku mendapatkan apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.
TAMAT
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu mengkremasi kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah banyak sekali alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, tiba berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu menciptakan orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi ingin tau dan berusaha menyidik asal undangan harta Mah Bongsu. Untuk menyidik asal undangan harta Mah Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang ingin tau telah menyidik berhari-hari namun tidak sanggup menemukan rahasianya.
“Yang penting kini ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, alasannya yaitu Mah Bongsu selalu memberi pertolongan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.
Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar sanggup mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu saya juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini niscaya akan mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu kemudian di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan menggigitku!” teriak Siti Sunbulat ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin mengasihi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan masakan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan saya ke sungai, daerah pertemuan kita dulu,” kata ular yang ternyata arif berbicara ibarat manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin membalas akal yang setimpal dengan yang telah kamu berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak sanggup menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang cowok yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya daerah itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau menerima kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan kesepakatan nikah dengan cowok tampan tersbut. Pesta pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang tiba tiada henti-hentinya memperlihatkan ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang dirundung duka, lantaran Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi cowok tampan itu dipercaya sebagai daerah jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.
Moral : Sikap tamak, serakah akan menjadikan kerugian pada diri sendiri. Sedang perilaku mendapatkan apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.
TAMAT