Penyesalanku - Cerpen Cinta

PENYESALANKU
Karya  Deva . F

“Maaf ya, kayaknya mulai kini kita jadi temen aja. Maaf ya …”

Kata-kata itu selalu terngiang di benakku. Kata-kata yang paling kusesali dikarenakan telah pernah kuucapkan. Kata-kata yang hingga detik ini selalu bisa membuatku sakit.
Seminggu yang kemudian saya telah melaksanakan hal yang sangat bodoh. Aku meutuskan korelasi dengan seseorang. Seseorang yang begitu baik dan perhatian padaku. Aku tak tahu mengapa saya bisa melaksanakan itu. Tapi, yang jelas, kini saya sangat menyesalinya.
Saat kulihat ia mulai erat dengan sahabatku, rasanya sakit. Sungguh menyiksa. Namun, tak ada yang tahu ihwal semua ini. Hanya saya dan Tuhan yang tahu. Lebih mernyakitkan lagi ketika saya tahu bahwa kini ia sudah punya kekasih baru. Hatiku hancur. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menangis bersama derasnya hujan yang kini telah membasahiku, semoga tidak ada satu orang pun yang menyadarai air mataku.
***

Penyesalanku
“Far, ke kantin, yuk! Laper gue belum sarapan.” Seru Risa, sahabatku, sambil menggandeng tanganku.
“Yaudah.” Sahutku, dan kamipun berjalan bersama menuju kantin sekolah.

Aku dan Risa mengambil daerah di pojok. Risa segera memesan nasi uduk dan teh manis. Sedangkan, saya hanya memesan terh botol. Saat sedang asik mengobrol dengan Risa, pandanganku tertumbuk pada meja di depanku. Ada dua orang yang sedang berbincang-bincang di sana. Seketka hatiku miris. Rasanya ada cairan hangat yang menggenang di pelupuk mataku. Tatkala saya menyadari siapa mereka. Dan mereka yakni Bima, mantan pacarku, yang belakang layar mulai kusukai (lagi), dan Gita, pacar barunya. Aku mengerjap-ngerjap semoga air mata ini tidak tumpah
“Far! Far!” kurasakan seseorang mengguncang-guncangkan lenganku.
“Eh, Ris, ada apa” tanyaku bingung.
“Aduh, aduh. Thalita Farah Ibra, harusnya gue yang nanya, lu kenpa? Dari tadi bengong-bengong nggak jelas.
“Oh, ehm, nggak kok. Gue nggak apa-apa. Udah belum makannya? Udah mau bel nih.”
“Udah kok. Hayu deh.” Dan kamipun kembali ke kelas.

Pelajaran hari ini kulalui dengan kesedihan yang kupendam. Pandanganku memang tertuju pada bahan yang dijelaskan oleh Pak Ahmad, Guru fisikaku, tapi pikiiranku serasa melayang entah ke dimensi mana.
Dengan langkah gontai kuberjalan pulang. Tapi, saya tidak ingin eksklusif pulang ke rumah, saya ingin menenangkan diriku dulu di taman yang berada di area komplek rumahku. Taman yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah.
Sampai di taman, saya duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon besar. Sejuk sekali. Rasanya sedikit kegundahanku menghilang bersama semilir angin yang berhembus.

“Farah!” seseorang mengejutkanku. Aku berbalik, dan tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Bi…Bima?!”
“Yaelah gitu amat ngelihat gue nya, dikira gue dedemit penunggu nih taman apa -.-“ keluh Bima sambil duduk di sampingku.
“Hehe, maaf deh. Tapi, emang agak menyerupai sih. Haha”
“Wah tengil nih bocah. Belum pernah dijitak sama titisannya Prince William ya!” sru Bima sambil menaik-naikkan kerah seragamnya.
“Idih, iyyuhhhh, jijaya badayyy. Narsis lu.”
“Haha biarin dong lebih baik narsis daripada minder.”
“Tapi nggak gitu juga kaleee….”
“Haha iya aja dah biar cepet. Btw, lu ngapain di sini?”
“Nggak ngapa-ngapain. Iseng aja males eksklusif pulang. Lu sendiri ngapain di sini?” berada didekatnya menciptakan jantungku berdegup kencang. Ternyata saya benar-benar menyayanginya.
“Nggak tahu deh. Iseng aja lewat sini. Hehe”
“Ihh aneh.”
“Biarin deh asing juga, yang penting tetep kece kan…”
“Masampun narsisnya maksimal. Cape deh. Haha ’’
“Hehehe…”
“Ehm, Far, boleh nanya sesuatu nggak?” ia menatap dalam mataku
“Boleh. Nanya apa?”
“Tulisan stenografi yang ada di buku harian lu itu maksudnya apa sih? Gua nggak paham dah.”
“Stenografi? Yang mana?”
“Itu loh yang di buku harian lu. Gua pernah nggak sengaja baca. Hehe, maaf ya.” Serunya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Oh yang itu. Hem… iya nggak apa-apa kok. Lu beneran mau tahu?”
“Iya. Apaan?”
“Nggak usah deh.”
“Ahh lu mah gitu. Kasih tahu dong. Please.”
“Yaudah deh. Eee…itu sebenernya…maksudnya…gue…gue sayang sama lu. Gue tahu gue emang ndeso udah nyia-nyiain lu. Dan kini eksekusi alam itu tiba ke gue.”
“Jadi itu?”
“Ya. Maaf atas legalisasi gue ini.”
“Nggak apa-apa kok. Gue malah seneng denger kejujuran lu.”
“Trims. Tapi sayangnya gue terlambat nyadar ihwal perasaan gue.”
“Iya, sayang banget lu telat, Far.”
“Yaps. Tapi nggak apa-apa kok. Daripada nggak pernah sama sekali kan.”
“Iya juga sih.”
“Haha yaudah gue balik duluan ya, udah sore. Longlast with Gita. Bye.”
“Iya. Daaahhh…”

Dengan berat hati saya melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkannya. Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama didekatnya, namun apa daya, saya harus pulang. Hari sudah petang.
***

Hari ini saya berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Perasaanku berbunga-bunga semenjak insiden kemarin. Berada didekatnya sungguh membuatku nyaman. Senang sekali.
Aku berjalan dengan riang menuju kelas. Namun, entah mengapa, tiba-tiba kepalaku terasa begitu sakit. Pandanganku berputar, dan seketika semuanya berubah gelap disekitarku.

“Farah…” sayup-sayup kudengar namaku disebut. Kucoba membuka mata, dan kulihat sekelilingku begitu terang.
“Dimana ini?” tanyaku lirih
“Lu di UKS, Far. Tadi lu pingsan.” Aku yakin itu bunyi Risa.
“Yaudah gue mau ke kelas.” Ucapku mencoba bangkit.
“Jangan dulu deh, Far. Muka lu masih pucet banget.”
“Tapi, Ris…”
“Sttt… udah jangan keras kepala. Lu di sini aja. Ntar gue izinin ke Miss Lina. Gue ke kelas dulu, ya, ntar gue ke sini lagi.”
“Yaudah,yaudah. Trims ya.” Dan Risa pun meninggalkanku sendiri di ruangan yang sangat bacin dengan obat-obatan ini. Huft…

Tok … tok … tok …
Seseorang mengetuk pintu UKS.
“Masuk aja.” Seruku

Seseorang masuk sambil tersenyum padaku.
“Hai, Far. Gue denger lu pingsan, makanya gue eksklusif ke sini.”
“Iya, hehe. Trims.” Orang itu duduk di samping daerah tidur, dan menggenggam tanganku.
“Maafin gue, ya. Sebenernya gue juga masih punya rasa sama lu. Tapi …”
“Tapi, rasa itu jauh lebih besar buat Gita. Iya kan, Bim?! Gue tahu kok. Nggak apa-apa lagi. Woles aja.”
“Maafin gue ya, Far.”
“Nggak ada yang perlu dimaafin. Lu nggak salah apa-apa.”
“Gue sayang sama lu, Far.”
“Gue juga. Sayang banget malah. Hehe . uhuk …uhuk…
“Lu kenapa, Far?”
“Nggak, gue nggak apa-apa kok.”

30 menit sudah saya berdua dengan Bima, orang yang saya sayangi. Jantungku semakin berdebar. Mukaku niscaya memerah alasannya yakni tersipu.
“Farah…” Risa tiba menghampiriku, dan disampingnya ada…………. Gita.
“Ehh, ada Bima toh.” Lanjutnya
“Hai Ris, Hai Gita.”
“Gimana keadaan lu sekarang?” Tanya Gita berdiri disamping Bima.
“Alhamdulillah udah mendingan kok. Makasih ya udah pada ke sini.”
“Sama-sama. Namanya juga temen.”
“Hehe iya. Uhuk….uhuk….”

Sakit sekali. Aku tak bisa berhenti batuk, dan… ada cairan kental berwarna merah keluar dari sela bibirku.
“Far, lu kenapa? Farah!” sayup-sayup kudengar bunyi mereka disela-sela batukku. Dan kurasakan seseorang menggendong tubuhku.
“Temen-temen, gue nggak apa-apa kok. Beneran deh.” Ucapku lirih.
“Nggak apa-apa gimana, lu daritadi batuk darah nggak berhenti-berhenti gitu.” Aku yakin itu bunyi Bima.
***

10 menit kemudian kami hingga di suatu tempat. Kurasa Rumah Sakit. Dan benar saja, begitu sampai, beberapa orang berseragam putih-putih membopongku dan membaringkanku pada sebuah brankar. Bima, Risa, dan Gita mengikuti di sampingku.
Sampai di ruangan super terang …
Dua orang suster memasang banyak sekali alat di tubuhku. Aku tidak suka ini. Aku tahu penyakitku apa, tapi saya sungguh tidak suka terlehat lemah menyerupai ini. Sama sekali !!!
Dadaku sesak sekali. Sekjur tubuhku serasa kaku.
“Maaf, kemungkinan hidup bagi Farah semakin kecil, kerusakan pada ginjalnya sudah semakin parah. Terlebih lagi, beliau tampaknya sudah usang tidak melaksanakan basuh darah.” Aku mendengar bunyi dokter itu.
“Apa maksud dokter? Farah sakit apa?” itu niscaya bunyi Risa
“Kalian tidak tahu? Nak Farah ini mengidap gagal ginjal yang sudah kronis. Dia harus menjalani basuh darah seminggu sekali. Dan, maaf, ketika ini penyakitnya sudah sangat parah.”
“Apa?! Nggak mungkin!” bunyi Bima.
“Maafkan saya, Mas.”
“Farah, lu harus sembuh! Gue yakin lu bisa lalui ini.” Risa, beliau menangis. Aku tidak suka melihat sahabatku menangis, terlebih alasannya yakni aku.
“Ris, maafin gue ya. Lu nggak boleh nangis apalagi alasannya yakni gue.”
“Lu kenapa sih nggak pernah dongeng ihwal penyakit lu ke gue!?”
“Maaf, Ris. Gue nggak mau lu sedih.”
“Lu harus sembuh, Far. Harus sembuh!”
“Gue capek, Ris. Gue pengen tidur.” Ucapku lirih
“Nggak! Lu nggak boleh ngomong gitu! Lu harus sembuh! Pasti sembuh!”
“Tapi gue udah capek, Ris. Capek.”
“Gita, gue mau ngaku sesuatu sama lu.”
“Apa Far?”
“Sebenernya, Bima itu mantan gue. Tapi gue nyia-nyiain dia. Dan, sekarang, eksekusi alam itu dating ke gue. Gue sayang banget sama Bima. Tapi, lu tenang aja, gue nggak akan ganggu korelasi kalian. Lagipula, Bima sayangnya sama lu, bukan gue. Gue Cuma masa lalunya. Gue Cuma minta satu hal, jaga cinta kalian ya. Harus harmonis. Langgeng. Jangan berantem terus. Jaga Bima buat gue, ya.”
“I…iya Far. Makasih. Tapi lu harus sembuh.” Gita terisak
“Bima, gue saying sama lu. Sayang banget. Maaf ya, gue pernah nyia-nyiain lu. Maaf gue emang bodoh. Lu jangan pernah sakitin Gita, ya. Gue juga titip sobat gue, Risa.”
“Ris, makasih banget ya buat semuanya. Lu emang sobat gue yang paling baik. Gue saying sama lu.” Dengan lirih dan lemah kugenggam jemari mereka.

Tubuhku lemas sekali. Dadaku semakin sesak. Aku hanya bisa menggumamkan tasbih disela-sela sakitku.
“Farah!!!”
Semua gelap. Dan akupun terlelap …

“Hujan yang turun kini
Menjadi saksi penyesalanku …
Bersama hujan pula
Kubawa cintaku ini
menuju kedamaian abadi …
selamat tinggal kasih,
selamat tinggal …”

TAMAT

PROFIL PENULIS
Nama : Deva Faradiba
TTL : Jakarta, 12 Juli 1995
Hobi : membaca dan menulis
Cita-cita : penulis
Kelas : XI-AP 2 (untuk ketika ini)

No. Urut : 747
Tanggal Kirim : 22/03/2013 16:42:51

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel