Kenali Lebih Erat - Cerpen Motivasi
Jumat, 23 Mei 2014
KENALI LEBIH DEKAT
Karya Muhamad Ichsan Nurjam'an
Karya Muhamad Ichsan Nurjam'an
Petang telah tiba, Banu hendak melesat pergi menjauhi kawasan peperangan. Kini telah berada di ujung tanduk, saatnya melayang-layangkan renungan pikiran menuju kawasan peperangan yang lebih besar, dengan mempunyai banyak sekali musuh yang bersenjata lengkap. Cukup rumit bayangan itu, ujar Banu dalam hati. Kedudukan yang tak pantas, pakaian kusut, sepatu menongol ibu dari jarinya, dan rumah kayu yang jadi kawasan meneduhnya bersama neneknya yang telah tua. Semua itu tak menciptakan Banu minder akan keberadaannya. Bergaul dan dekat itu keahlian Banu. Walaupun, Banu menyenangi mata pelajaran Biologi, tak luput dalam kehidupan sesaatnya terpelajar dalam sosiologinya.
Senja buta, tibalah Banu di rumah. Tok.tok.tok Assalamualaikum. Dibukalah pintu itu.
“Banu gres pulang?” dengan wajah cemas nenek bertanya, sebab ini pertama kalinya Banu pulang malam hari.
“Iya nek. Tadi di kawasan pertempuran, diselesaikan secara tuntas, sebab lusa harus siap bertempur dengan musuh-musuh yang tiba dari pemerintah dengan sederetan alpabet beserta pungtuasinya yang populer angker (tanda tanya ataupun tanda seru).” Jawab Banu kepada nenek.
“Nek, nek, nek?” tanya berulang Banu kepada neneknya.
“Iya apa Banu?” jawab nenek dengan tersenyum.
“Begini nek, kawasan pertempuran Banu hampir usai, Banu ingin melanjukkan peperangan yang lebih hebat lagi, dan lebih dasyat lagi nek, dengan musuh-musuh dari penjuru dunia dengan peralatan-peralatan hebat untuk berperang. Biar Banu menggunakan bambu runcing untuk berperang, Banu tak kan mengalah dan tak akan kalah.” Penjelasan Banu dengan kegigihan menjawabnya.
“Oh itu, jikalau Banu ingin mencapai itu semua, dengan penuh kegigihan Banu, mari Banu ikut sama nenek. Banu kita sama-sama salat malam, berpuasa, dan selalu mengoyang-goyangkan lidah Banu dengan alunan-alunan doa atas nama-nama Tuhan.” Nenek memperlihatkan saran dengan lemah lembut, dengan ketuaannya yang lelah berujar terlalu panjang untaian kata, dengan sedikit senyuman nenek yang penuh kepastian.
“Baik nek, Banu mau ikut nenek.” Dengan tersenyum Banu berujar kepada nenek.
Pukul 21.00 memisahkan perbincangan antara Banu dan neneknya menuju ruangan masing-masing. Terpintas, terpikir dalam benak Banu sampai lelapnya mimpi-mimpi dalam matinya. Tak pernah terpikir oleh neneknya, kemiskinan bukanlah membuatnya kufur akan nikmat Tuhannya. Bukan ujaran-ujaran agresif yang terlontar, bukan ujaran penyesalan atau keluhan “ah, ih, uh, eh, dan oh” yang terlepas dari ikatan alat pengecapnya kepada Banu melainkan mengajaknya bermain lebih dekat kepada Tuhan.
Kenali Lebih Dekat |
Tepatlah tuan mentari masih terlelapnya di balik bumi serpihan lain, bangkitlah nenek dari kematiannya. Tepat sekali pukul 03.00. Dengan kelambatan gerak langkahnya menuju kediaman matinya Banu.
“Banu, Banu, Banu” sahut nenek.
“Iya nek, ada apa?” Jawab Banu dengan kesipitan matanya.
“Mari kita shalat malam, Banu ingin bertempur lagi kan? Dengan musuh yang lebih hebat dengan kelengkapan senjatanya?” Penjelasan nenek kepada Banu.
“Oh iya, nek. Baik nek” Melotot mata Banu, dan terbangun dalam matinya, melangkah sempoyongan menyerupai mabuk berjalan menuju tempat-tempat syaitan menetap. Dibuatlah air mancur yang baunya menyengat, bergegasnya menyucikan diri.
“Nek, Banu sudah siap” dengan menghampir neneknya.
Dimuailah mereka persahabatan lebih dekat dengan Tuhannya. Untaian kata yang indah, bergoyang-goyang dalam lidah tak lepas dalam ikatan mengeluarkan alunan-alunan doa yang indah memuja dan memuji nama-nama Tuhan. Begitulah tiap hari dilaksanakannya, tak lupa pula shaum senin-kamis yang tak tertingal, juga peperangan selalu dilakukannya usai dekat dengan Tuhannya.
“Banu, Banu, Banu” sahut nenek.
“Iya nek, ada apa?” Jawab Banu dengan kesipitan matanya.
“Mari kita shalat malam, Banu ingin bertempur lagi kan? Dengan musuh yang lebih hebat dengan kelengkapan senjatanya?” Penjelasan nenek kepada Banu.
“Oh iya, nek. Baik nek” Melotot mata Banu, dan terbangun dalam matinya, melangkah sempoyongan menyerupai mabuk berjalan menuju tempat-tempat syaitan menetap. Dibuatlah air mancur yang baunya menyengat, bergegasnya menyucikan diri.
“Nek, Banu sudah siap” dengan menghampir neneknya.
Dimuailah mereka persahabatan lebih dekat dengan Tuhannya. Untaian kata yang indah, bergoyang-goyang dalam lidah tak lepas dalam ikatan mengeluarkan alunan-alunan doa yang indah memuja dan memuji nama-nama Tuhan. Begitulah tiap hari dilaksanakannya, tak lupa pula shaum senin-kamis yang tak tertingal, juga peperangan selalu dilakukannya usai dekat dengan Tuhannya.
Usai sudah peperangan yang dihadapi Banu serta rekan-rekannya. Mereka memperoleh kemenangan dengan hasil yang memuaskan melawan musuh-musuh yang diberikan pemerintah. Terutama Banu, ia berhasil memeroleh kepuasan tertinggi pada mata pelajaran biologi, menjadi pemimpin tinggi pada kawasan peperangan tersebut. Tak sedikit ucapan-ucapan berteberangan kata-kata rekan-rekannya “Selamat ya Banu”, juga terjadinya pelukan hangat bersama sahabatnya Bono. Walau nama yang hampir mirip, mereka bukanlah adik-kakak yang kembar, sebab mereka bukanlah saudara kandung dari almarhum ayah dan ibunya Banu. Mereka dekat sejak kecil, awal SD sampai sekarang.
Tiga bulan telah berlalu, menunjukan usai sudah berakhirnya kemenangan itu. Dibukalah tempat-tempat pertempuran yang lebih besar dengan musuh yang besar dari seluruh penjuru dunia dan luar biasa alat tempurnya. Dengan berjuta-juta alpabet yang tersirat dalam lembaran yang tertata rapi, banjirya kertas-kertas hero yang bernominal, dan alat-alat elektronik yang mereka miliki. Banu hanyalah bermodalkan Sahabatnya yang selalu menemani Banu di manapun berada, Banu bergaul tiap paginya, siangnya, sorenya dan malamnya dengan merendahkan diri dan untaian kata halus yang keluar dari ikatan alat pengecapnya “Subhannallah, Alhamdulillah, Allohhuakbar”. Tak lupa pula dengan bergeming dalam perangnya berladasan kayu terukir dengan empat kaki dan tampak dihadapnya kasus bunuh diri dalam kegelapan dengan api yang panas. Anggaplah Banu bersenjata bambu runcing yang siap bertempur dengan gigihnya. Pada saatnya mulailah Banu berperang di kawasan itu.
Usai sudah awal peperangan, menunggulah Banu dengan penuh kesabaran, apakah Banu menang atau kalah dalam pertempuran itu. Setelah melihat hasil pertempuran itu melalui media yang tak bisa hidup tanpa derma energi listrik itu, ternyata Banu mengalami kekalahan. Tangis Banu terurai, dan pulanglah Banu ke kawasan kediaman dulu bersama neneknya. Tok.tok.tok, Assalamualaikum. Dibukalah pintu itu.
“Bagaimana hasilnya Banu, menangkah?” tanya nenek dengan penuh keyakinan.
“Banu belum saatnya bertempur kembali nek. Banu kalah dalam pertempuran itu” jawab Banu dengan lemas.
“Tak apa Banu, mungkin Tuhan mempunyai rencana lain” ucapan dan senyum nenek membangkitkan kembali semangat Banu.
Usai sudah dari penderitaan kekalahan itu, Banu mencoba mengikuti tes bekerja di negara dengan sejuta alat-alat canggih dengan menggondolkan keahlian biologinya. Ternyata, lamaran Banu diterima, dan dipanggilnya untuk wawancara. “Alhamdulillah” ucap Banu dengan bahagia. Ditemuinya sang nenek.
“Nek, Banu menerima kawasan bekerja di negara abnormal nek.” Ujar Banu dengan bahagia.
“Alhamduillah” ucap nenek dengan isak tangis, menciptakan kembali Banu menangis.
“Tuhan niscaya mempunyai rencana lain” sambil memeluk Banu.
Esok hari, Banu pamit pergi kepada neneknya, dan meminta sobat kecilnya Bono untuk menjaga dan merawat neneknya Banu. Tibalah di sana, Banu bekerja dengan baik. Terlihatlah pekerjaan Banu oleh pimpinan kawasan ini. Ternyata, pemimpin besar kawasan ini yaitu pemimpin besar kawasan pertempuran dengan ribuan musuh yang berada ditempatnya. Panggil saja Prof. Saefullah. Ditemuinya, dan diajak bicara. Hal itu tiap ketika dilakukan Banu. Pada akhirnya, Banu bekerja sambil bertanya-tanya mengenai ilmu-ilmu yang dimiliki pemimpin besar itu.
Muhamad Ichsan Nurjam’an, Bogor, 19 Febuari 2013
PROFIL PENULIS
Muhamad Ichsan Nurjam'an berkelahiran di Cianjur, 30 Juli 1993. Ia selaku mahasiswa Universitas Pakuan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia gres menginjak semester 4.
"Media menulis salah satu yang dilakukan penulis untuk media dakwahnya"
Muhamad Ichsan Nurjam'an berkelahiran di Cianjur, 30 Juli 1993. Ia selaku mahasiswa Universitas Pakuan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia gres menginjak semester 4.
"Media menulis salah satu yang dilakukan penulis untuk media dakwahnya"