Tukang Cukur Keliling - Cerpen Sedih
Jumat, 07 Maret 2014
TUKANG CUKUR KELILING
Oleh Muzammil Frasdia
Rumah itu berada di sela-sela bangunan tinggi di pinggir kali. Rumah yang kalau dipandang dari kejauhan terlihat menyerupai mirip rumah pengungsi, dan kali itulah yang menyediakannya daerah untuk mandi, nyuci, masak, serta buang air besar. Selama 10 tahun Sarimin hidup seorang diri, tak ada lagi seorang istri atau buah hati yang merawatnya kalau ia sedang sakit atau yang menghibur ketika jiwanya menyerupai terkubur.
Oleh Muzammil Frasdia
Rumah itu berada di sela-sela bangunan tinggi di pinggir kali. Rumah yang kalau dipandang dari kejauhan terlihat menyerupai mirip rumah pengungsi, dan kali itulah yang menyediakannya daerah untuk mandi, nyuci, masak, serta buang air besar. Selama 10 tahun Sarimin hidup seorang diri, tak ada lagi seorang istri atau buah hati yang merawatnya kalau ia sedang sakit atau yang menghibur ketika jiwanya menyerupai terkubur.
Kejadian tahun 2000 silam itu sungguh masih menyisakan luka yang amat mendalam bagi hati Sarimin yang hingga ketika ini belum bisa mendapatkan keadaan ketika kereta api yang melintas kencang dari arah Surabaya menuju Malang merenggut nyawa istri dan anaknya yang hendak menyeberangi rel kereta. Pagi itu sekitar pukul 8, warga yang berada di sepanjang jalur rel beramai-ramai menyaksikan dua mayit wanita tergeletak di atas rerumputan.
Tukang Cukur Keliling |
Kini Sarimin hanya mengunggulkan dirinya sendiri di mata Tuhan yang memberinya nafas untuk terus berjuang mengarungi kehidupan. Baginya, menjadi tukang cukur keliling yaitu kemampuan satunya-satunya yang ia miliki untuk sanggup bertahan hidup meski hasil yang ia peroleh belum seberapa. Namun dari sana ia berharap selalu ingin tersenyum untuk dirinya sendiri juga pekerjaannya sebagai tukang cukur keliling.
***
Pagi ini ia kembali melangkahkan kedua kakinya menemui pelanggan-pelanggan yang ada. Dari rumah ke rumah ia datangi satu persatu mengatakan jasa sebagai tukang cukur keliling. Style rambut plontos, standar, mohawk, cepak, hingga gaya jabrik semua Sarimin kuasai dari keahliannya sebagai pemotong rambut.
“Pak?” seseorang memanggil.
Ia menoleh ke arah bunyi tersebut. Lalu menghampirinya.
“Pak, saya mau cukur rambut.” ucap seorang lelaki mempertegas keinginannya.
“Iya Mas.” jawab Sarimin terburu-buru dan pribadi menyiapkan alat-alat cukurnya. Sebuah bangku lipat dari kayu ia persiapkan untuk pria itu.
“Mari mas, silahkan duduk.” sembari ia menyelimuti sebuah kain ke bab badan pria itu biar nantinya rambut-rambut yang ia potong tidak melekat di baju dan celana yang ia pakai. Segala sesuatunya menyerupai sudah matang untuk digunakan.
“Mau dipotong menyerupai apa Mas?” tanya Sarimin.
“Potong biasa saja, yang penting kelihatan rapi dan bersih.”
“Baik mas.”
Gunting dan sisir mulai menjamah rambut pria itu secara perlahan-lahan. Bunyi mengiris terdengar dari gigitan mata gunting memotong gumpalan rambut yang tebal. Rambut hitam itu terlihat mulai berguguran satu persatu dari kepalanya. Seperti jatuhnya daun-daun kering di animo gugur, mungkin juga di hati Sarimin yang ketika ini merasa senang alasannya ada satu warga ingin bercukur.
Sekitar kurang lebih 15 menit tangan Sarimin bergerak-gerak di atas kepala pria itu. Diperiksanya lagi dan lagi hasil guntingannya dari arah samping, depan, hingga belakang. Takut ada yang terasa masih perlu untuk dirapikan.
“Sudah Mas. Silahkan dilihat hasilnya. Barangkali masih ada yang perlu ditambah atau dikurangi.”
Laki-laki itu tersenyum dalam cermin. Mengoreksi hasil pekerjaan Sarimin dengan teliti.
“Cukup Pak. Terima kasih. Sekarang rambutku terlihat rapi dan bersih. Bahkan serasa enteng untuk dibawa kemana-mana. Berapa semuanya?”
“Tiga ribu rupiah Mas.” ucap sarimin malu.
**
Sehari berlalu. Senja memancar dari dua bangunan tinggi yang berdiri gagah di samping gubuk Sarimin. Sinarnya menembus air kali yang keruh yang mengalir di sepanjang fatwa sungai. Disamping gubuk, Sarimin merebahkan badan di atas rumput kering yang ujungnya terasa menusuk punggungnya. Tatapannya terarah lurus ke atas, menyerupai menjunjung langit kelam yang menjadi bab hidupnya ketika ini. Tiba-tiba bunyi adzan berkumandang. Sarimin buru-buru pergi ke kali. Membasuh tubuhnya dengan sabun mandi. Kemudian menghadap Ilahi.
***
Pagi ini ia kembali melangkahkan kedua kakinya menemui pelanggan-pelanggan yang ada. Dari rumah ke rumah ia datangi satu persatu mengatakan jasa sebagai tukang cukur keliling. Style rambut plontos, standar, mohawk, cepak, hingga gaya jabrik semua Sarimin kuasai dari keahliannya sebagai pemotong rambut.
“Pak?” seseorang memanggil.
Ia menoleh ke arah bunyi tersebut. Lalu menghampirinya.
“Pak, saya mau cukur rambut.” ucap seorang lelaki mempertegas keinginannya.
“Iya Mas.” jawab Sarimin terburu-buru dan pribadi menyiapkan alat-alat cukurnya. Sebuah bangku lipat dari kayu ia persiapkan untuk pria itu.
“Mari mas, silahkan duduk.” sembari ia menyelimuti sebuah kain ke bab badan pria itu biar nantinya rambut-rambut yang ia potong tidak melekat di baju dan celana yang ia pakai. Segala sesuatunya menyerupai sudah matang untuk digunakan.
“Mau dipotong menyerupai apa Mas?” tanya Sarimin.
“Potong biasa saja, yang penting kelihatan rapi dan bersih.”
“Baik mas.”
Gunting dan sisir mulai menjamah rambut pria itu secara perlahan-lahan. Bunyi mengiris terdengar dari gigitan mata gunting memotong gumpalan rambut yang tebal. Rambut hitam itu terlihat mulai berguguran satu persatu dari kepalanya. Seperti jatuhnya daun-daun kering di animo gugur, mungkin juga di hati Sarimin yang ketika ini merasa senang alasannya ada satu warga ingin bercukur.
Sekitar kurang lebih 15 menit tangan Sarimin bergerak-gerak di atas kepala pria itu. Diperiksanya lagi dan lagi hasil guntingannya dari arah samping, depan, hingga belakang. Takut ada yang terasa masih perlu untuk dirapikan.
“Sudah Mas. Silahkan dilihat hasilnya. Barangkali masih ada yang perlu ditambah atau dikurangi.”
Laki-laki itu tersenyum dalam cermin. Mengoreksi hasil pekerjaan Sarimin dengan teliti.
“Cukup Pak. Terima kasih. Sekarang rambutku terlihat rapi dan bersih. Bahkan serasa enteng untuk dibawa kemana-mana. Berapa semuanya?”
“Tiga ribu rupiah Mas.” ucap sarimin malu.
**
Sehari berlalu. Senja memancar dari dua bangunan tinggi yang berdiri gagah di samping gubuk Sarimin. Sinarnya menembus air kali yang keruh yang mengalir di sepanjang fatwa sungai. Disamping gubuk, Sarimin merebahkan badan di atas rumput kering yang ujungnya terasa menusuk punggungnya. Tatapannya terarah lurus ke atas, menyerupai menjunjung langit kelam yang menjadi bab hidupnya ketika ini. Tiba-tiba bunyi adzan berkumandang. Sarimin buru-buru pergi ke kali. Membasuh tubuhnya dengan sabun mandi. Kemudian menghadap Ilahi.
Malam hari yang masbodoh menyelimuti gubuk Sarimin. Bulan remang memancar diantara ruas-ruas ranting kering yang berdiri di pinggir kali. Bau sampah kota yang pengap beterbangan kemana-mana. Tikus, anjing, kucing berkeliaran diantara tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung itu. Ada juga ribuan lalat yang tak kelihatan wujudnya ramai mengerubungi benda-benda menyerupai kaleng susu, pembalut, sisa makanan restoran, ban bekas, bangkai ikan, ayam, itik, ular dan lain-lain. Sedang di dalam gubuk itu Sarimin mengaji, suaranya sendu melafadkan ayat-ayat suci. Mengirim doa untuk arwah istri dan anaknya yang sudah tiada.
***
Matahari terbit. Ini hari yang entah keberapanya Sarimin harus kembali bekerja sebagai tukang cukur keliling. Di bawanya tas yang memuat perlengkapan untuk mencukur, sedang tangan kanannya menjinjing bangku kayu lipatan daerah pelanggannya duduk ketika rambutnya digunting. Tepat jam tujuh, Sarimin pergi berkeliling menemui pelanggan-pelanggannya. Di datanginya rumah warga satu persatu sambil meneriakkan bunyi “Cukur-cukur” di sepanjang jalan. Namun hari ini tampaknya sepi. Tak ada satu pun dari warganya yang mau bercukur rambut. Dari sekian bentuk rambut yang ada semua masih terlihat gres dipotong. Di matanya ia berharap rambut-rambut itu lekas tumbuh dan memangilnya kembali untuk bercukur.
Sarimin pulang sebelum waktunya ia harus kembali menemui rumah gubuknya. Sepi pelanggan menciptakan dirinya enggan berkeliling dan lebih menentukan istirahat di rumah gubuk dari pada mencari pelanggannya yang hari ini tak ada satupun yang ingin bercukur. Kepalanya yang juga terasa pusing sebelah, ia rebahkan pelan-pelan di atas daerah tidur. Wajahnya kosong. Ditatapnya jam dinding kamarnya yang tiba-tiba mati.
***
Sebulan berlalu. Sarimin masih pulas tertidur di atas kasurnya yang sepi. Hingga pagi demi pagi ia biarkan pergi begitu saja. Di luar, para pelanggannya sudah kesal menunggu dirinya untuk bercukur rambut. Namun Sarimin tak jua tiba menemui. Saat itu pula, ada salah seorang warga bertanya: “Kemana Sarimin pergi?”
Surabaya, 2012
PROFIL PENULIS
Muzammil Frasdia
Lahir di Bangkalan, 06 Februari 1988. Alumni STKIP PGRI Bangkalan. Jurusan Sastra dan Bahasa Inggris. Bergiat dengan seni dan sastra di Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan”.
Email : mfrasdia@yahoo.com
facebook : Muzammil Frasdia
Lahir di Bangkalan, 06 Februari 1988. Alumni STKIP PGRI Bangkalan. Jurusan Sastra dan Bahasa Inggris. Bergiat dengan seni dan sastra di Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan”.
Email : mfrasdia@yahoo.com
facebook : Muzammil Frasdia