Rijst - Cerpen Motivasi Remaja

RIJST
Karya Stefanus Christian
Pagi hari jam 05.00. Aku sedang bengong sambil meminum teh pagi di teras lantai dua rumah ku yang sederhana yang bertempat di sebuah cluster, sehingga rumah ku tidak ada bedanya dengan rumah tetanggaku, tetangganya tetanggaku, hingga tetangga-tetangga-tetangga-tetangga-tetangga-tetangganya-tetanggaku.
“Kriiiiiing” jam alarm ku berbunyi sempurna pada pukul 05.30 pagi berdasarkan jam kamar ku, tanda saya harus segera berangkat bekerja. Aku segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Aku memutar suhu shower ku ke suhu yang paling pas, yang sudah saya tandai dengan tanda merah, hasil dari percobaan bertahun-tahun bereksperimen dengan shower ku. Setelah saya mandi kira-kira 15 menit, saya mengenakan kemeja kantoran, celana materi dan sepatu pantofel kemudian segera pergi. “Mbak Num, saya pergi dulu ya!” teriakku kepada pembantu ku yang sedang mencuci gelas teh ku. “Hati-hati ya Nyo!” ujarnya. Nama ku Jaeman, tapi Mbak Num suka memanggilku “Nyo” dari nama “Sinyo”. Kata mbak Num sih arti kata “Sinyo” itu “Tuan”, tapi sesudah saya googling ternyata arti kata “Sinyo” itu ialah anak pria yang belum kawin, jomblo maksudnya, hanya kalimatnya di perhalus.
Rijst
Aku berangkat ke kantor dengan kendaraan beroda empat Toyota Kijang tahun 2000-an menuju kantor tempat saya bekerja sehari-hari. Jam 07.30 saya hingga di kantorku, duduk di kursi standard yang terletak di belakang meja standard untuk karyawan swasta bekerja. Setiap pagi selalu ada kopi yang di antar oleh seorang office boy, rasa kopinya tidak pernah berubah selama 5 tahun saya bekerja, selalu standard.

Dalam hatiku, saya sudah lelah mengerjakan rutinitas menyerupai ini. Aku sempat berpikir untuk menjadi seorang petani menyerupai dalam game harvest moon, saya hanya perlu menanam apa yang saya butuhkan untuk diriku sendiri. Misalnya saya ingin beras, saya tinggal menanam padi; bila saya butuh daging, saya tinggal memotong sapi atau ayam yang saya pelihara kemudian sisa dagingnya saya jual ke toko daging untuk membiayai listrik dan air. Bahkan kalau perlu saya akan membangun pembangkit listrik tenaga air di sungai terdekat untuk memenuhi kebutuhan listrik rumahku yang ada di perkebunan serta menggunakan listrik tersebut untuk menarik air dari sungai ke rumahku. Ide yang sangat brilliant, bila itu terwujud maka saya tidak perlu bayar listrik dan air. Namun di sinilah aku, terjebak dalam sebuah rutinitas perkantoran yang membosankan. Terjebak di belakang sebuah meja kantor standard dengan kursi standard bagaikan tawanan. Lagipula saya tidak punya tanah di perkampungan, apalagi yang di dekatnya ada sungai mengalir dimana saya bisa membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air. Aku hanyalah seorang pemimpi yang tidak bisa mendapatkan kenyataan.

Akhirnya jam pulang kantor datang. Saat itu sangat membahagiakan bagaikan seorang tahanan kesannya bebas dari sebuah penjara yang disebut kantor itu.
“,Nyo, kau ini wes dapet kerjaan ya disyukuri to, moso maune bebas terus ” kata mbak Num setiap kali saya mengeluh perihal rutinitas kantoran yang membosankan. Memang menyedihkan, bukan perihal saya tidak mensyukuri pekerjaan yang telah saya tekuni 5 tahun ini, tapi perihal setiap kali saya bercerita hanya kepada pembantu ku. Bayangkan, seorang majikan berumur 26 tahun curhat kepada seorang pembantu berumur 45 tahun. Tapi tidak apa-apa, mbak Num sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, mbak Num sangat bersedia mendengarkan apapun curhatan ku. Setelah ngobrol dengan mbak Num, saya menuju kamar tidurku untuk segera tidur.

Keesokan harinya saya merasa malas untuk menuju ke kantor. Menuju ke kantor rasanya menyerupai menyerahkan diri kedalam penjara. Setiba di ‘penjara’, saya hanya menunggu hingga waktu nya untuk ‘bebas’ telah tiba. Dan begitulah yang saya rasakan dari hari senin hingga jumat, hanya mencicipi bosannya masuk ke kantor yang ku sebut sebagai penjara dan kemudian bebas.
“Halo? Ini de Jaeman, bukan?”
“Iya, ini saya sendiri. Dengan siapa ya?”
“Saya kerabatnya Cokro, hari ini atau besok kau bisa bertemu saya di Rijst di kawasan Prasista tidak de?”
“Dimana, pak? Rist? Ritz?”
“Rijst, R-i-j-s-t”
Aku hening sejenak orang itu menelpon pada Sabtu pagi pukul 05.30. Aku masih tertidur dengan lelap hingga telpon dengan ringtone berisik itu berbunyi.

Cokro? Cokro itu nama almarhum engkongku ‘kan? Pikirku dalam hati.
“Ya, nanti saya datang” Ujarku sambil menahan rasa kantuk ku.
“Baik, bila sudah hingga tolong cari saya ya!” Bapak itu kemudian menutup telponnya tanpa memberi informasi apapun perihal namanya atau nama jalannya. Hanya memperlihatkan informasi perihal bagaimana cara mengeja tempat itu, yaitu R-i-j-s-t.
Aku gres tersadar, saya gres menyetujui untuk pergi ke kawasan yang berjarak kurang lebih 4 jam perjalanan. Aku kini mempunyai teori, cara paling baik mendapatkan persetujuan dari seseorang ialah dengan menelponnya pagi-pagi, disaat ia masih terlelap dalam tidur dan kesannya terbangun secara tiba-tiba alasannya ialah ada telepon. Untung saja bapak itu menelepon di hari Sabtu dimana ialah hari ‘penjara’ku libur.
Secara terpaksa saya bangun dari tempat tidur ku, kemudian mengambil handuk dan kesannya mandi. Sengaja saya tidak menggunakan kombinasi suhu yang terbaik, sebaliknya saya menggunakan air dengan temperatur paling cuek berharap biar saya sanggup sepenuhnya terbebas dari ngantuk yang seakan masih menutupi mataku dengan tangan kuatnya. Setelah mandi, saya menggunakan kaos serta mengenakan celana jeans dan kemudian pergi menuju ke kawasan itu dengan menggunakan mobil.

Aku telah hingga di kawasan Prasista, saya mengetahuinya alasannya ialah saya telah melewati sebuah gerbang besar dengan goresan pena “Selamat tiba di kawasan Prasista” di atasnya. Aku menghabiskan waktu 45 menit untuk mencari-cari sendiri dimanakah letak Rijst itu dengan berkeliling di sekitar kawasan itu dan hasilnya nihil. Kemudian saya bertanya kepada warga sekitar perihal letak Rijst itu, ada beberapa orang yang tidak tahu, ada juga yang tahu tapi sayangnya saya tidak ingat ke arah mana saja sesudah ‘lurus, hingga perempatan nanti belok ke kanan. Setelah itu jalanan menanjak kemudian belok kiri,lurus lagi, dan hingga pertigaan ambil …’. Ternyata kata yang kulupakan sesudah ‘sampai pertigaan ambil’ itu ialah ‘belok kiri, lurus, belok kanan, nah Rijst ada di sebelah kiri nanti’ kata-kata itu dilengkapi oleh orang lain yang ku tanya di sekitar pertigaan tersebut.

Sesampaiku di Rijst, saya terpana dengan keindahan suasana persawahan hijau yang cukup luas dengan fatwa air sungai serta kincir air yang berada di permukaan fatwa air tersebut dan ditambah dengan beberapa sangkar sapi serta kuda sekitar 10 meter dari satu-satunya rumah yang berada di persawahan sekitar beberapa ribu meter persegi ini. Ini ialah tempat ideal untuk mewujudkan ‘hidup tanpa pengeluaran uang’ yang beberapa lama ini selalu mengusik pikiranku. Setelah sekitar 10 menit saya melihat pemandangan di Rijst ini, saya tetapkan untuk menghampiri rumah sederhana berwarna putih dengan atap hijau dengan pagar tersebut. Aku mempunyai keyakinan bahwa bapak yang menelponku tadi pagi akan berada di rumah ini.
“Permisi, saya Jaeman” teriakku sambil mengetukan gembok yang terkunci ke pagar, berharap penghuninya bisa mendengar ketukan gembok itu.

Tidak ada yang menghampiri.
“Permisi, saya Jaeman” teriakku ulang.

Masih tidak ada yang menjawab.
“Hooo, dek Jaeman ya?” Aku mendengar bunyi seseorang dari belakangku, kemudian saya membalikan badanku.
“Maaf saya gres selesai membersihkan sangkar sapi, mari masuk” kata orang itu sambil membuka gembok mempersilahkanku masuk.
Aku memasuki sebuah rumah dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Rumahnya begitu sederhana menurutku. Perabotan di rumah itu hanya ada seperangkat peralatan masak yang berada di dapur, sebuah meja sederhana dengan dua buah kursi di sisinya, serta sebuah tv tabung 14 inch. Bapak itu menyuguhkan ku secangkir teh manis hangat, minuman yang sangat sempurna di kawasan dengan lingkungan sejuk ini.
“Saya mandi dulu ya de, ga lezat kalo berbicara panjang lebar dengan orang yang basi tahi sapi kan? Hahahaha”
“Iya, pak. Silahkan” Kataku kepada bapak itu sambil memperlihatkan senyuman.

Setelah 5 menit menunggu, bapak itu keluar dengan rambut tersisir rapi, kaos oblong berwarna putih, dan celana karet pendek. Bapak ini pun membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri. Bagaimana bapak ini bisa melepas bajunya, mengambil handuk, sabunan, mengeringkan tubuhnya, menggunakan kaos, menggunakan celana, memanaskan air di dapur, mencelupkan teh, memasukan gula, mengaduknya dan melaksanakan hal sebanyak itu semua dalam waktu lima menit?
“Maaf sudah membuatmu menunggu lama de Man.”
“Ah, tidak lama kok pak. Kaprikornus kenapa bapak memanggil saya ke sini?”
“Ceritanya sangat panjang de Man. Tapi pertama-pertama nama saya Galib, saya rekan kerja kakekmu, Cokro-”
“Tunggu, rekan kerja? Berarti bapak sudah umur berapa?” saya memotong kalimat bapak ini.
“Sekarang ini saya sudah berumur 80 tahun. Saya lanjutkan, saya dan kakekmu membangun Rijst ini semenjak kami berusia 26 tahun. Sejak itu, setiap hari Sabtu dan Minggu kakekmu selalu ke Rijst untuk membantu saya mengerjakan pekerjaan di ladang dan di kandang. Namun semenjak nenekmu, Lela meninggal, dan ibu-mu, Mega cukup remaja untuk bisa hidup sendiri di kota, Cokro pindah dan tinggal di Rijst bersama saya. Kami berdua mengurus Rijst ini tanpa dukungan orang lain, dan kami berhasil memenuhi kebutuhan kami dari Rijst ini” Bapak-atau yang lebih cocok ku sebut mbah alasannya ialah umurnya, namun masih menyerupai bapak-bapak alasannya ialah fisiknya yang selalu di latih bekerja- menjelaskan panjang lebar perihal silsilah keluarga ku dan asal mula Rijst ini. Aku tidak mengetahui Rijst ini, alasannya ialah ibu-ku meninggal dikala saya masih bayi, dan ayahku pun tidak pernah bercerita perihal Rijst ini, mungkin alasannya ialah ayahku tidak tahu.

Kemudian pak Galib melanjutkan ceritanya.
“Sayang sekali Cokro harus meninggalkan saya dan Rijst di dikala ia berumur 65 tahun.” Pak Galib berhenti sejenak untuk menyeruput teh hangatnya yang sudah mendingin alasannya ialah terlalu lama di diamkan.
“Lalu apa hubungannya engkong, Rijst, bapak dengan saya?” Tanya ku.
“Nah, dikala Cokro mau meninggal, ia berkata kalau ada apa-apa dengan Rijst, hubungi saja anaknya. Namun alasannya ialah Mega telah meninggal, saya menghubungi kamu, cucunya.”
“Memang ada apa dengan Rijst, pak?” Tanyaku.
Pak Galib terdiam sebentar. “Lebih baik kita berbincang-bincang sambil berjalan berkeliling Rijst, dek Man.”

Aku menuruti seruan pak Galib dan berkeliling-keliling melihat pemandangan di Rijst. Rijst ialah sebuah persawahan yang dikombinasikan dengan peternakan sapi serta kuda. Namun dirancang sedemikian rupa sehingga sapi-sapi dan kuda-kuda tidak berjalan menuju persawahan. Persawahan Rijst dibagi menjadi tiga bab yang tertata dengan rapi. Ada untuk padi, untuk sayur-sayuran, dan untuk rempah-rempah menyerupai lada dan lain-lain. Sedangkan listrik Rijst diperoleh dari kincir air yang berputar seiring dengan fatwa sungai.
“Kincir air itu buatan mahasiswa teknik loh. Berkat mahasiswa-mahasiswa itu Rijst jadi tidak perlu membayar listrik lagi” kata pak Galib bangga.

Kemudian kami menuju ke sangkar sapi dan kuda, Rijst mempunyai 9 sapi perah dan 2 kuda jantan. Kandang-kandang di sini juga cukup higienis alasannya ialah selalu dibersihkan oleh pak Galib.
“Di sini pak Galib kerja sendiri?” saya bertanya
“Di hari biasa sih iya, saya biasa bekerja dari pagi hingga sore untuk menuntaskan ini semua, namun kini di setiap hari Sabtu dan Minggu ada sekitar tiga hingga lima warga sekitar yang mau membantu saya mengurus Rijst secara bergantian. Oleh alasannya ialah itu, kini Rijst tidak hanya menjadi milik saya dan Cokro saja, kini Rijst juga milik warga sekitar sini.” Pak Galib berkata sambil tersenyum.
“Namun, ada beberapa pihak yang merasa Rijst hanyalah sebuah pertanian dan peternakan biasa, Rijst terancam hilang alasannya ialah nanti akan ada pembangunan sebuah pabrik di sini.” Kata pak Galib dengan ekspresi damai namun tersirat sedikit kekhawatiran di wajahnya.

Aku terenyuh mendengarnya, ada impian dari dalam diriku untuk mempertahankan Rijst ini. Namun saya tidak bisa melaksanakan apa-apa. Kurasa pak Galib salah dikala pertama kali ia meneleponku. Seharusnya ia menelpon biro tanah atau notaris atau polisi bahkan kalau perlu tentara untuk melindungi Rijst ini.
“Oleh alasannya ialah itu, sesuai dengan wasiat Cokro, saya menghubungi cucunya. Tapi saya sendiri tidak tahu apa yang bisa kau lakukan untuk mencegah pembangunan pabrik ini.” Kata pak Galib pasrah.
“Memang perusahaan apa yang mau mendirikan pabrik di sini, pak?”
“Perusahaan Lentera Abadi. Rencananya dalam tiga bulan kedepan perusahaan itu akan melaksanakan obrolan dengan kepala kawasan untuk membicarakan pembangunan. Dan kemungkinan pembangunannya akan dilakukan di bulan Mei dua tahun mendatang.”
Aku kaget, Perusahaan Lentera Abadi ialah perusahaan dimana saya bekerja. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sebagian dari diriku ingin melindungi Rijst ini, namun sebagian lagi dari diriku tidak ingin ikut campur dalam urusan ini. Di belahan dunia lain niscaya ada banyak Rijst-Rijst menyerupai ini yang nasibnya diakhiri dengan pembangunan sektor industri. Sang pemilik perusahaan tidak akan mau tahu perihal dongeng suka-duka nya orang-orang menyerupai pak Galib dalam mengelola sebuah tanah yang akan mereka hancurkan nanti, mereka hanya mengerti perihal bagaimana cara mendapatkan laba sebesar-besarnya, dan hal itu membuatku sedikit kesal.

Akhirnya kami kembali ke rumah sederhana itu lagi sesudah beberapa jam berkeliling di Rijst. Waktu menandakan pukul 16.00. Jika saya pulang kini maka saya akan hingga di rumahku sekitar jam setengah sembilan. Namun pak Galib mengajakku supaya saya bermalam saja di sini, katanya tidak baik mengendarai kendaraan beroda empat malam-malam. Dengan agak terpaksa saya mendapatkan undangan pak Galib tersebut.
Malam hari di Rijst sangat berbeda dari malam-malam di kota. Di sini sangat tenang, bila kau keluar dari rumah dikala malam, kau sanggup melihat kerlip-kerlip indah bintang di langit dan mendengar suara-suara binatang yang terdiri dari serangga-serangga, burung-burung malam, bunyi sapi dan sedikit bunyi kuda; suasana di Rijst pun sangat sejuk hingga kau tidak perlu AC, malah kau membutuhkan sesuatu yang bisa menghangatkanmu. Walau suasananya indah dan tenang, tempat tidurnya ialah satu-satunya nilai minus. Tempat tidur kapuk keras, dengan bantal kapuk keras dan guling kapuk yang kapuknya terkonsentrasi di ujung-ujung guling. Aku merasa lebih baik saya tidur di lantai daripada dengan kasur ini.

Pagi harinya, saya dibangunkan oleh sesosok bapak-bapak yang berdiri di sampingku yang ternyata ialah pak Galib. Matahari belum terbit, saya menduga kini masih jam empat pagi.
“Mari kau bantu saya berladang dan berternak.” Itu ialah kata-kata pertama yang kudengar di hari ahad pagi, bukan kata “Selamat pagi, de Man. Semoga minggu-mu menyenangkan”, tapi kata-kata seruan untuk bekerja di hari istirahatku.
“Heeemmm” kataku kepada pak Galib. Aku belum sepenuhnya tersadar dari tidurku.
“Sudah cepat bangun, minum teh hangatnya kemudian bantu saya bekerja!”
“Iyaaa iyaaaaa” kataku malas.
Aku kemudian membantu pak Galib bekerja di ladang dengan menyiram flora rempah-rempah sedangkan pak Galib bekerja mengurusi padi-padinya. Kemudian kami memetik sayur-sayuran yang sudah masak dan memilah-milah sayuran itu, beberapa sayuran yang baik diambil untuk makan pak Galib, kemudian sisanya di ambil oleh pedagang pasar untuk dijual di pasar. Pedagang itu nanti siang akan kembali dari pasar dan memperlihatkan uang hasil penjualan kepada pak Galib. Sesudah memilah-milah sayuran itu, kami menuju ke sangkar sapi. Saya diajari cara membersihkan kotoran sapi dari kandang, menaruh masakan ke tempat makan sapi, membersihkan sapi, serta cara memerah susu sapi biar saya tidak di tending oleh sapinya. Setelah melaksanakan itu semua, kami ke sangkar kuda untuk membersihkan sangkar kuda, memperlihatkan makan jerami, serta memandikan kuda. Sebagai bonus, pak Galib memperbolehkan saya menunggangi si Hitam, kuda Rijst.

Kami gres selesai mengerjakan tugas-tugas kami jam dua siang. Saya merasa sangat kelelahan, namun pak Galib tidak menandakan gejala kelelahan sedikitpun.
“Pak Galib, ini uang hasil dagang sayurannya, tidak banyak hari ini.” Pedagang pasar yang tadi pagi mengambil hasil panenan sayur Rijst tiba ke rumah.
“Oh, begitu ya. Yasudah uang hasil penjualannya buat kau saja” Kata pak Galib dengan santainya.
“Wah, terimakasih banyak ya, pak! Kalau begitu saya pulang dulu” Pedagang itu membalas dengan ceria.
“Pak, kenapa uangnya ga di ambil?” Tanyaku.
“Buat apa uang?”
“Ya, buat bapak membeli masakan dan kebutuhan sehari-hari”
“Tidak, dek Man. Saya sudah cukup dengan hidup menyerupai ini. Lagipula saya percaya uang tidak akan kemana. Jika memang uang sebesar tadi itu ialah milik saya, maka nanti uang tersebut juga akan tiba sendiri kepada saya”

Aku terkesima, baik sekali teori pak Galib.
“Nah, sudah jam setengah tiga sekarang. Kamu mau kembali lagi ke kota kan, dek Man?” Tanya pak Galib
“Sepertinya iya, pak. Saya harus bekerja lagi di hari senin nanti.”
“Wah, sayang sekali ya, padahal saya ingin kau membantu pak renta ini mengurusi Rijst setiap hari. Yasudah, mandi sana dulu, kalau pribadi pulang nanti mobilmu bisa basi tahi sapi.” Kata pak Galib. Aku tidak mengerti kenapa pak Galib selalu membawa-bawa ‘tahi sapi’ di setiap leluconnya.

Setelah mandi, jam tiga siang aku-pun pergi ke kota stelah berpamitan kepada pak Galib. Aku meninggalkan Rijst dibekali dengan satu kantong plastic berisi sayuran yang gres saya petik tadi pagi. Sesampaiku di rumah, saya memperlihatkan sayuran itu kepada mbak Num.
“Habis wisata sawah ta, Nyo?”
“Enggak, saya habis berkunjung ke sawah kerabat engkok, mbak”
“Oh, soalnya saya liat di tv, kayaknya kini wisata-wisata alam lagi nge-trend, Nyo.”
Aku hanya memperlihatkan senyuman kepada mbak Num, dan kemudian menuju ke kamarku untuk beristirahat sesudah hari yang melelahkan. Namun ada sebuah pandangan gres liar tiba ke kepalaku, mengapa Rijst tidak dijadikan tempat wisata alam saja? Disana orang-orang bisa bersawah, menanam padi, dan lain-lain. Kemudian kami meminta dukungan warga dan orang-orang yang berwisata supaya Rijst tidak dihilangkan. Ide yang sangat cemerlang! Ide ini sangat cemerlang hingga bersaing dengan pandangan gres ‘hidup tanpa uang’ yang selalu menjadi kebanggaanku. Aku menjadi tidak sabar kembali ke Rijst untuk memberitahukan pandangan gres cemerlang ini kepada pak Galib.

Di kantor pun saya bertanya kepada atasanku perihal hal ini. Aku bertanya, apa yang terjadi bila lahan yang akan dipakai untuk pembangunan pabrik ialah lahan yang dipakai untuk orang-orang berwisata alam.
“Tentu pembangunan akan dibatalkan alasannya ialah terlalu banyak resikonya bila perusahaan menggunakan tanah tempat wisata. Namun pengelola tanah juga tidak akan mendapatkan uang ratusan juta dari perusahaan alasannya ialah pembelian tanah dibatalkan.” Kata atasan kepadaku. Jawaban yang sangat memuaskan untukku.

Hari Sabtu pun tiba, jam empat pagi saya bangun dan segera mandi kemudian bergegas menuju Rijst untuk memberitahukan pandangan gres itu kepada pak Galib.
“Jadi pak, saya punya ide, mengapa tidak menimbulkan Rijst sebagai tempat wisata perkebunan dan peternakan saja? Kemudian kita cari dukungan dari pengunjung untuk menolak pembangunan industri” Kataku dengan semangat.
“Ya, itu sih boleh saja, de Man. Tapi Rijst kayaknya terlalu kecil bila di datangi oleh sekian ratus orang secara bersamaan.”
“Itu bisa kita akali, pak. Mungkin Rijst dibentuk menjadi sebuah tempat wisata alam dengan kuota beberapa puluh orang. Orang yang mau berwisata harus melaksanakan reservasi dulu via telpon. Orang orang yang berwisata nanti bisa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sawah yang ringan, bisa menyiram flora rempah, memberi makan sapi, menunggang kuda atau hal-hal lainnya pak. Dan kita nantinya hanya akan meminta sumbangan sukarela untuk pengelolaan Rijst ke depan. Bagaimana?” Tanyaku bersemangat
“Ya, pandangan gres nya dek Man sih anggun berdasarkan saya. Tapi saya tidak bisa mengelola tempat wisata sendirian, dek. Lagipula, memang ada orang yang mau membayar sesudah bekerja di sawah dan di kandang? Masa sudah jadi pembantu, disuruh bayar pula?!”
“Masalah pengelolaan itu belakangan, pak. Yang penting kita harus berbagi perihal Rijst ke seluruh daerah. Karena belakangan ini banyak keluarga yang mencari tempat wisata alam. Kaprikornus Rijst niscaya ada pengunjungnya, pak.”
“Sepertinya anggun kalau begitu. Kapan kita bisa membuka Rijst untuk umum?” Tanya pak Galib semangat.
“Secepatnya, pak. Saya akan menggunakan nomor telepon rumah ini sebagai nomor telepon reservasi Rijst, pak. Nanti bapak hanya tinggal mencatat nama orang yang menelepon, jumlah orang yang datang, dan hari serta jam berapa datangya. Praktis kan?” Kata ku.
“Emm, iya. Sepertinya saya bisa kalau hanya mengangkat telepon dan mencatat.” Kata pak Galib menyerupai sedang merenungkan sesuatu.
“Karena masih baru, Rijst hanya dibuka di hari Sabtu dan Minggu saja, pak. Dan saya akan tiba setiap Sabtu dan Minggu untuk membantu.” Kata ku

Ini ialah sesuatu yang gres bagi saya dan pak Galib. Setelah berbincang-bincang mengenai tempat wisata Rijst itu, kami kemudian bekerja di sawah dan di peternakan untuk melaksanakan kiprah harian. Di malam harinya, saya duduk di teras depan rumah Rijst dengan secangkir teh, menikmati suasana alam yang indah dan damai ini.
“Ini ialah sesuatu yang saya inginkan, kebebasan menyerupai ini dan suasana menyerupai ini ialah yang saya cari-cari selama ini.” Pikirku dalam hati.
Di hari Minggu, saya pulang ke kota sesudah membantu pak Galib. Hari ini saya selesai lebih cepat alasannya ialah ada 5 warga sekitar yang membantu. Sesampai di kota, saya pribadi menciptakan promosi perihal Rijst di internet. Aku menulis perihal Rijst, apa yang bisa dilakukan di sana, kelebihan-kelebihan Rijst, biaya yang sukarela serta nomor reservasi Rijst.

Beberapa hari kemudian, saya mendapatkan telepon dari pak Galib bahwa hari sabtu nanti akan ada dua puluh delapan orang yang tiba ke Rijst. Suara pak Galib terdengar senang di telepon.
“Terima kasih, dek Man.” Kata pak Galib dengan bunyi yang tenang.
“Terima kasih buat apa, pak?”
“Kamu telah memperlihatkan jalan supaya Rijst tetap bisa dipertahankan, bagi saya bukan hanya Rijst yang penting, tetapi semua kenangan dan pengalamanlah yang menciptakan Rijst ini berharga bagi saya.”
Aku terharu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menjawab “Ya, Rijst kini tidak hanya penting bagi pak Galib saja, kini Rijst juga penting buat saya. Karena di Rijst saya mendapatkan apa yang saya inginkan selama ini. Jadi, terima kasih juga telah mengenalkan saya dengan Rijst, pak.”

Pak Galib menutup teleponnya sesudah perbincangan yang cukup mengharukan itu. Aku terdiam sejenak. Ada kelegaan dan keharuan yang menyelimuti jiwa ku. Kelegaan kesannya pandangan gres tempat wisata itu bisa berjalan dan keharuan alasannya ialah saya telah membantu mempertahankan sesuatu yang penting bagi seseorang.
Di hari Jumat, saya pulang dari kantor dan kemudian saya pribadi pergi lagi menuju Rijst pada Jumat malam nya. Namun kini ada yang berbeda, alasannya ialah saya mengajak mbak Num ke Rijst juga. Aku hingga di Rijst jam 12 malam. Pak Galib belum tertidur, ia mengaku tidak bisa tidur bila memikirkan besok ialah hari dimana Rijst berubah. Aku hanya tersenyum, saya menyuruh bapak renta itu tidur supaya besok bisa bangun dengan kondisi yang baik. Aku kembali tidur di kamarku dengan kasur kapuk itu, tetapi saya mempersilahkan mbak Num tidur di kasur kapuk, dan saya tidur di lantai. Lebih nyaman berdasarkan ku.

Keesokan harinya, saya bangun jam empat pagi. Kami melaksanakan pekerjaan di sawah yang tidak akan dilakukan oleh pengunjung nanti menyerupai menyemprotkan pestisida serta membersihkan kotoran sapi dan kuda. Jam setengah delapan pagi, kunjungan dua puluh delapan orang itu datang. Aku menyambut mereka dengan kata-kata “Selamat tiba di Rijst, tempat dimana kenangan dan pengalaman bergabung menjadi satu.” Kemudian saya mengajak mereka berkeliling Rijst dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sawah. Dibutuhkan waktu lima jam untuk menuntaskan wisata ini, alasannya ialah pengunjung bisa menyiram tanaman, memetik sayur-sayuran, memberi makan sapi, memandikan sapi, memerah susu sapi dan kesannya berkuda secara bergantian. Pengunjung kemudian boleh berkeliling-keliling Rijst dengan bebas namun tidak merusak apapun. Sepulangnya, para pengunjung memperlihatkan sumbangan sukarelanya. Tidak lupa juga saya memberitahukan bahwa tiga tahun nanti ada kemungkinan Rijst akan dihilangkan alasannya ialah akan dibangun sebuah pabrik.

Sudah tiga bulan Rijst dibuka untuk umum, dan sudah empat bulan saya mengenal Rijst dan pak Galib. Semua kenangan-kenangan ini tidak akan saya lupakan. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Rijst selalu di datangi oleh para pengunjung. Aku selalu menyambut para pengunjung dengan kalimat pembuka “Selamat tiba di Rijst, tempat dimana kenangan dan pengalaman bergabung menjadi satu.” dan selalu bercerita perihal pembangunan industri tiga tahun nanti.

Namun ada sesuatu yang mengusikku di hari Sabtu sore ini. Seperti perasaan yang tidak enak, yang mengganjal jiwa sehingga membuatku sesak. Pak Galib malam itu mengaku kurang lezat tubuh dan ingin tidur cepat, saya memberikannya obat dan mempersilahkan ia tidur duluan. Tak kusangka hari Sabtu itu ialah hari terakhir pak Galib, ia meninggal secara damai di kamarnya. Aku mengetahuinya dikala Minggu pagi, saya memasuki kamarnya untuk membangunkannya, namun ia tidak bangun dan kesannya saya menyadari bahwa ia telah meninggal. Di tangannya ada sepucuk surat.
“Kepada dek Jaeman,
Saya merasa impian saya untuk mempertahankan Rijst telah terpenuhi. Oleh alasannya ialah itu saya bisa pergi dengan tenang. Jaga Rijst baik-baik. Saya memperlihatkan Rijst kepadamu. Semoga di tanganmu Rijst akan menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih baik daripada Rijst yang Cokro dan saya tinggalkan. Semangatmu untuk mempertahankan Rijst ini niscaya akan memperlihatkan buah manis tersendiri. Beribu-ribu terima kasih kepadamu, dek Jaeman.
NB: Ada catatanku perihal bertani dan beternak di bawah kasurku. Pelajarilah baik-baik!
Dari Galib”
Aku terharu membaca surat itu. Rijst telah benar-benar memperlihatkan pengalaman dan kengangan indah untukku. Sejak itu, saya meninggalkan kantorku di kota dan tetapkan untuk pindah dari kota ke Rijst bersama dengan mbak Num untuk merawat Rijst. Aku berusaha keras untuk mempertahankan Rijst ini dengan melaksanakan penambahan fasilitas-fasilitas demi kenyamanan berekreasi.
Bulan Mei, tiga tahun sesudah saya mengenal Rijst, tidak ada gejala akan dibangunnya pabrik di sini.

PROFIL PENULIS
Facebook: Stefanus Christian Effendi
 No. Urut : 735
Tanggal Kirim : 19/03/2013 21:52:04

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel