Cerpen - Nyonya Rumah Abu

Cerpen Vika Kurniawati (Kompas, 17 Maret 2013)

“LAGIPULA siapa yang akan memperkosa dan membunuh lelaki yang sudah renta ini?” Dan anak bungsu yang kena pulung ini hanya dapat menghela nafas mendengarnya.

Tak ada gunanya membangkitkan argumen dengan Papa, ikatan batin dengan rumah debu sudah terlalu mendarah dagingnya. Sebenarnya tak mengherankan Papa sangat berkeras memintaku menggantikannya.

Dari lima bersaudara, hanya tinggal saya yang ada di Indonesia. Sejak kerusuhan Mei yang dialami sepupu, menciptakan Cece Olivia dan suaminya mengungsikan keluarga kecil mereka ke Singapura. Papa bersikukuh tak turut serta alasannya rasa tanggungjawab kepada ribuan debu yang tersimpan rapi. Sebuah loyalitas yang aneh.

“Kamu ingat ketika masih usia 30, Papa pernah mencari rumah gres dan mempekerjakan pegawai menggantikan Papa namun karenanya nihil. Tak pernah ada rumah yang cocok, dan lima karyawan gres sering jatuh sakit, semenjak itu Papa berhenti mencari.” Cerita lama itu meluncur lagi di sela-sela gigi ompong Papa.

Mendengar kisah dan kenyataan di depanku, membuatku berpikir apakah itu memang tandanya saya harus menggantikan Papa. Sungguh pekerjaan yang akan dipertimbangkan ratusan kali oleh setiap orang.

“Kamu itu ditahan arwah-arwah itu biar tetap keluarga kalian yang mengurus mereka!” pernyataan polos Yeyen yang kini mantan kekasihku, ketika saya memberitahu kegagalan wawancara pekerjaan kesekian kali terngiang terus menerus. Berkat atau kutuk? Entahlah!

“Cece Wenny hidup lagi Papah!” teriakan ketakutan membuyarkan lamunanku. Lengan lelaki setengah masa di sampingku terlihat memerah dicengkeram seorang anak kecil yang gemetaran menunjuk peti kayu kuning emas di dalam tungku. Memang tidak tepat bila anak seusianya sudah menjadi saksi perubahan badan kakaknya menjadi abu. Tapi apa daya, orang tuanya bersikeras.

Melihat lelaki yang dipanggil Papa tak bereaksi, anak berkacamata tipis dengan mata segaris itu mulai menangis. Kakiku serta merta hendak beranjak menghampirinya, namun terlambat. Suara lembut ramah bagaikan Dewi Kwan Im mengalun di telingaku, sebuah pelukan terlihat hangat menyentuh anak kecil itu. Terasa sedikit kecemburuan mengalir dalam hatiku. Bukan, bukan cemburu birahi namun iri tepatnya.

Wanita bergincu dan beroles bedak tipis itu memang luar biasa. Entah tangisan keberapa puluh kali sudah ia redakan dengan sejumput elusan dan kalimat menenangkan. Tentu saja tangis kekesalanku juga berhasil ditaklukkannya, dengan bisikan merayu ataupun desahan memabukkan serta menyita waktuku di peraduan. Hangat dadanya selalu dapat melelapkan serta membuka pagiku dengan senyum.

Kesedihan pemilik rambut hitam bagai bintang iklan shampoo itu gres tersibak ketika saya menengoknya ketika tungkai jenjangnya tak terlihat berjinjit menyentuh foto penghuni guci merah tak glamor dua ahad ini. Dia begitu terkejut hingga mata segarisnya menjadi membulat menyerupai ikan koki, namun bagiku ia tetap bagus walaupun terbaring dengan infus menempel manis di lengannya. Memang ia tak lagi muda bahkan melebihi usia kepala tigaku, namun saya menemukan keremajaan di hati polosnya. Trauma masih saja menempel di ingatannya, semenjak ketika itu hanya mau berbicara dengan bahasa Mandarin saja, dan jarang keluar kecuali ke rumah abu. Dia juga akan tetap melajang semenjak Fredrik menjadi abu, bila saja kami tidak pernah bertemu.

Namanya Cecilia Bong, calon istri dari penghuni guci yang selalu disembayanginya seminggu sekali. Di depan mata minusnya, lelaki pasangan jiwanya dipukuli menyerupai anjing ketika Glodok bergejolak tepat dua hari sebelum hari ijab kabul mereka. Dengan rok tersingkap dan kaos sobek ia berhasil melarikan diri, dan disembunyikan oleh seorang Haji.

Dengan lincah saya membuka tungku dan mulai mengumpulkan debu Wenny Sugiarto. Bau daging terbakar tak menyengat lagi di hidungku. Bau yang nyaris membuatku muntah pada bulan pertama. Aku hingga berpuasa alasannya tak tahan tiap kali mengingatnya. Belasan sabun batangan sia-sia kugunakan, tubuhku tak beranjak harum oleh mereka.

“Riasan make-up Wenny tadi sempurna.”

“Tentu saja, lagipula Wenny sangat pendiam dan tak rewel walaupun saya salah menggambar alis.”

Lenganku merengkuh pundak dan mencium cepat keningnya, ia sudah banyak berubah. Sejak pertama kali tangan kami saling bertaut dan menghabiskan senja di rumah sakit dengan tawa dua tahun yang lalu, maka hari demi hari berlalu dengan kisah cinta yang menyesakkan dada. Bagaimana tidak, saya harus menemaninya melewati banyak sekali terapi untuk mengembalikan kepercayaannya kepada dunia yang dianggapnya selalu kejam, memegang tangan pucatnya ketika memberanikan diri berbelanja di pasar tradisional yang penuh dengan logat Jawa dan Betawi. Tak jarang linangan berlian melewati dua matanya. “Aku hanya ingin segera menikah denganmu, Kavin.”

Dan tampaknya penghuni krematorium juga menyambut Cecilia dengan sukacita. Tak ada guci debu kosong yang jatuh sendiri ataupun hembusan angin panas ketika Cecilia resmi menjadi nyonya rumah debu kami. (*)

Sumber : lakonhidup.wordpress.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel