Cerpen - Mozaik

VIE:
ADA sejumlah pertanyaan yang membiang di dadaku. Bagai hendak meletus, menyerupai balon kebanjiran udara.

Pertama, jikalau pasanganmu membisu ketika ia tahu kau telah berdusta padanya. Kau mestinya bertanya; ia membisu sebab sudah tak ingin ribut atau sudah tak peduli apa pun. Coba kau cerna pertanyaan ini, meski kau tak punya waktu memakai hatimu. Mungkin saja hatimu telah kisut, kering menyerupai kain pel yang lupa diangkat dari jemuran.

Kedua, apakah kau mengerti, ia kehilangan senyum sebab saban hari mendapati meja makan yang sunyi. Tak ada percakapan pagi. Ia membisu sebab kau lebih mengasihi kemudian lintas politik yang kusut, konspirasi antarpartai atau antargerombolan membuatmu begitu lekat mengasihi kongsi-kongsimu, lupa pada kongsi utama yang dulu kau beri label ‘belahan jiwa’.

Ketiga, tahukah kau bahwa ia dilanda kebosanan tingkat dewa? Jenuh dengan rutinitas dan rambut sasak, serta aksesori yang membebani sekujur tubuhnya. Ia merindukan hal-hal sederhana, bunyi denting piring, sendok-garpu, dan percakapan lembut dari hati, di antara lamat-lamat bunyi piano.

Keempat, marahkah kau jikalau ia menemukan bahu lain, yang kukuh meski ia tak berkilau sepertimu? Tak bersayap selaiknya kedua lenganmu yang bisa terbang mengelilingi dunia dalam tujuh hari. Pundak yang selalu ada ketika ia butuhkan, yang menunduk hormat ketika kau ada di antaranya, yang tersenyum sopan seolah kepalanya bisa kau jerembapkan di lantai rumahmu yang mengilat. Pundak lelaki yang kau bayar hanya Rp 5 juta setiap bulan, untuk mengajarinya menciptakan sketsa, bermain piano, berbahasa asing, dan segala kebutuhan nonfisik yang tak sanggup kau berikan.

Kelima, ingatkah kau pernah menjambak rambutnya pada suatu malam, sambil kau telikungkan kedua tangan di punggungnya, dan kau bilang, “Kau tampaknya pintar, namun sesungguhnya bodoh!” Laki-laki menyerupai ia tak punya apa pun kecuali kepandaian memikat perempuan dengan piano atau hasil denah murahan dari tangannya yang kering dan berdebu. Ingatkah kau bagaimana ia menggigit bibirnya sampai berdarah sehabis kau banting tubuhnya. Ia hanya menatap wajahmu dengan mata kosong, ekspresinya melesap bersama tetes keringatmu yang membuncah. Sejak ketika itu kau telah kehilangannya. Demi Tuhan, kau telah menciptakan kekeliruan besar malam itu.

Ia istrimu, Bram. Kau nikahi dengan akad suci pernikahan, jikalau kau sakiti tubuhnya, atau kau abaikan selama beberapa bulan, ia boleh menceraikanmu. Benar begitu Bram? Kini ia telah menjadi insan zombi, kau telah mencetaknya sedemikian rupa. Ia istrimu, ia ialah aku.

SHA:

Saya menulis catatan ini sebab saya kangen kamu, Bram. Bukan pleidoi dari apa yang saya lakukan semalam, atau malam-malam sebelumnya. Kadang saya begitu kalap, tak memikirkan risikonya. Kebetulan saya sedang senang, dan ingin mengabarkan padamu, saya pikir kalian akan bahagia melihat saya senang. Setidaknya, saya akan sibuk dan sejenak melupakanmu.

Bram, kini saya tahu artinya memilih. Sebenarnya, semalam saya sedih ketika kau berpikir saya sengaja menciptakan kalian bertengkar. Sungguh, saya tak sejahat itu. Tapi, saya menentukan untuk tidak sedih, dan saya berhasil. Saya berdiri pagi dengan senyum, sehabis sebelumnya saya tak bisa tidur dan terus memikirkan kalian. Ya, saya menentukan untuk tidur nyenyak dan tidak memikirkan kalian. Saya berhasil. Saya tahu apa artinya menentukan dan mengasihi diri sendiri.

Bram, benar saya mencintaimu. Benar, saya tak mau kau pergi. Benar, saya ingin menghabiskan sisa hidup denganmu, menjadi istrimu, simpananmu, pacar gelapmu, apa pun namanya, asal bersamamu. Tapi, bukan berarti saya kemudian akan mau menjadi perempuan lemah di hadapanmu. Akan saya katakan TIDAK jikalau memang begitu adanya. Sebaliknya, akan saya katakan YA jikalau memang benar itu yang ada padaku. Tidak akan saya biarkan kau menjajah kebebasan perasaan saya, menghakimi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak pernah menghakimi apa yang kau rasakan, yang kau pikirkan. Saya bebaskan kau Bram, menyerupai saya tak pernah menuntutmu selama ini.

Dengan cinta, saya menunggumu Bram. Menunggu kau merindukan saya kembali. Maaf, sesungguhnya saya tak sanggup berlama-lama tak menemuimu menyerupai ini. Saya hanya ingin tahu bahwa kau masih merindukan saya. Dan kau akan menemui saya kembali, meski istrimu tahu.

Temui aku, atau saya akan gila karenamu. Aku bisa gila karenamu, dan kau tak akan pernah tahu kegilaan apa yang bakal kulakukan terhadap kalian.

JO:

Maafkan aku, Vie. Terpaksa saya jujur padamu. Aku telah melihat seluruh isi hatimu meski kau tidak menyampaikan apa pun padaku. Kau mempunyai caramu sendiri untuk melepaskan atau menyembunyikan fakta-fakta, bahkan mungkin suasana hatimu. Tapi sebagai lelaki, meski dengan rentang usia yang tak bisa dibilang pendek, saya sanggup membaca setiap gerak tubuhmu, desah napasmu, juga kepak kelopak matamu. Kau butuh pertolongan!

Sejak awal saya tak ingin terlibat dalam urusanmu, Vie. Itu standar operasi seorang instruktur privat, apakah untuk pelajaran bahasa asing, piano, atau sketsa, yang ketiganya kau minati. Aku guru, profesionalitasku bukan diukur dengan uang, melainkan oleh nilai. Sejauh mana muridku berhasil menyerap ilmu. Tentu saya bersukacita ketika suamimu membayarku dengan angka cukup bombastis. Baginya, uang hanya soal remeh-temeh, tinggal menjentikkan jemari, uang berlari mengikutinya.

Vie, tapi bagi seorang guru, uang bukan masker untuk menutup matanya dari segala hal yang sanggup ditangkap dari kedua kelopaknya. Hatiku bergemuruh, seolah ruangan ini hendak runtuh, ketika kau duduk sendiri di ruang makan besar itu, mendengarkan rekaman piano kita, pelajaran ahad lalu. Waktu itu kita memainkan What a Wonderful World. Kau bilang, lagu itu hanya membuatku semakin terhina, namun kau tak menjelaskan maksudnya, dan saya tak ingin memaksamu bercerita. Di rumah besar yang sunyi itu, kau duduk sendiri menyerupai dewi kesunyian. Kau menawariku makan, saya tidak menolak. Sebab bukan makan yang kau butuhkan, melainkan sahabat berbincang, dan bunyi sendok garpu yang sederhana. Perbincangan soal cuaca, program televisi, kemacetan kemudian lintas, harga sembako, atau gosip artis. Hari itu tak ada kursus apa-apa, kita hanya berbicara, menyeduh kopi dan saling mengamati wajah masing-masing.

Seperti biasa, kau selalu bersemangat dan tampak baik-baik saja, dalam situasi apa pun. Namun dari caramu tersenyum dan mengerling, caramu menyuapkan makanan, mengunyah, mengedip, saya tahu, kau membutuhkan seorang teman. Kau tidak butuh guru, belajar khusus hanya kamuflase pembunuhan waktu. Kau sedang mencoba mengikuti saran seorang psikolog, yang kau bayar mahal akhir depresimu yang berlapis-lapis: kesepian, banyak uang, tak punya teman, ditinggalkan pasangan untuk bersama perempuan lain. Maka, saya mengubah cara mendapatkan panggilan teleponmu. Sebelumnya, dengan hormat saya akan berkata, “Selamat pagi, Ibu.” Tapi semenjak itu, saya bilang, “Hei.” Sederhana bukan? Kau menyukai nada mengalun yang ramah dan bersahabat itu. Kau mencair, kabut di matamu menguap. Mendung di senyummu berguguran, berubah jadi demam isu semi. Tak ada yang lebih surgawi bagi seorang manusia, selain menyadari kehadirannya ialah oase bagi orang lainnya. Kau sadari atau tidak, saya ialah oase bagimu.

Aku bangga ketika kau tak lagi menunggu suamimu pulang. Ia seorang pejabat publik, katamu. Kehadirannya diharapkan di mana-mana Para menteri membutuhkannya, ketua partai, konstituen, bahkan presiden. Ia orang hebat, wajahnya sering tampil di koran, ia layak untuk sibuk, dan niscaya tak punya waktu untuk urusan domestik. Yang ia butuhkan ialah formalitas, upacara-upacara, peresmian-peresmian. Seiring kesadaranmu, yang entah jujur atau kau hanya mencoba mengalah, kau mulai melepaskan impian untuk ditemani Bram. Ia lebih diharapkan oleh pihak lain daripada istrinya, hiburmu. Kau hidup dengan duniamu sekarang.

Vie, semula saya bangga dengan semua itu. Aku ialah oase bagimu dan Bram ialah mesin ATM yang sempurna. Tapi ketika kau tergugu di depan piano dengan sasak rambutmu yang belum terurai, serta busana pesta gemerlapmu, saya mencium aroma kematian. Kau sudah usang tidak menangis, matamu tak pernah sembab lagi. Waktu itu kau hanya bilang, “kita ketahuan.”

Maafkan saya Vie.

Aku tahu, Sha bukan satu-satunya perempuan dalam lingkarannya ketika ini. Ada Rien, Sue, dan Mer. Tapi Sha ialah yang kau kenal sebab ia orang dalam yang kau percaya. Itulah yang kucoba menjelaskannya padamu, namun kau menutup telingamu. Kau hanya takut, atau aib mempunyai hati yang dipungut seorang kelas jelata semacamku? Tidak Vie, saya lelaki. Yang harus kulakukan ialah menghadapinya. Menantangnya. Mengajaknya memilih, siapa yang lebih layak di antara kami, untuk memilikimu seutuhnya.

***

Sebuah pistol jenis Heckler & Koch kaliber 45 meletus. Peredam menciptakan suaranya tak begitu menyita perhatian siapa pun di sekitar rumah besar itu. Seorang lelaki roboh di lantai marmer. Noda merah membasahi karpet.

Bram, “Tak ada kata maaf untuk seorang penyusup, Bung!” (*)



Untuk Diana AV Sasa

Penulis tinggal di Surabaya. Buku cerpennya, Korsakov (2012)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel