Cerita Romantis Cukup Umur Ketika Menyatakan Cinta Di Kos, Jadi Teringat Si Dia

Ini yaitu sebuah Cerpen (Cerita Pendek) yang di tulis oleh Ferdinand De J Saragih. Seperti pada judul artikel ini, ini yaitu dongeng seorang cukup umur yang menyatakan cintanya di KOS, niscaya seru lho ceritanya, nyesel ngak baca. Masa muda, masa di mana dikala pertama menyampaikan cinta yaitu sebuah perasaan yang tidak bisa di gambarkan, campur aduk rasanya. Langsung saja kita baca ceritanya.

Sebuah persinggahan dengan bunga-bunga yang bermekaran. ruang yang selalu mempermainkanku pada keindahan yang mempesona. Derai angin selalu mengantarkan harum mawar, sampai membuatku mabuk kepayang. Betapa indahnya kawasan ini, betapa saya ingin selalu di sini.

Aku seorang yang masih jomblo pada persinggahan itu, perilaku pendiam dan pemalu terngaung, menutup rasa cinta. mungkin suatu yang terpendam membentuk puncak es di hati. Beku, semakin hari semakin membatu. saya semakin tidak yakin jika suatu dikala gunung es itu bisa mencair. Semua tahu matahari selalu terbit dari arah timur ke barat bukan dari utara keselatan. Sehingga, es di kutub utara tak akan pernah mencair.

Chelsy, nama itulah yang mendermaga di lubuk hatiku, goresan nama Chelsy membekas di setiap sysraf-syaraf otakku. Kamar yang berhadap-hadapan, latar itulah yang selalu memberiku kesempatan bertatapan dengannya. Aku selalu rindu adegan itu, selalu menciptakan hatiku berbunga, kala mata kami beradu dalam sebuah lingkaran. sampai menumbuhkan bercak-bercak cinta yang mendalam, serupa gulma di ekspresi dominan penghujan.

Jek apa kau tidak bosan hidup sendiri, Tanpa pernah menjalin korelasi dengan seorang wanita?” ucap sem.


Pertanyaan itulah yang selalu membuatku terdiam atau terpuruklah itu. Sepertinya, tidak ada kata-kata yang sanggup kurangkai untuk menjawab, alasannya yaitu serba salah dan semuanya tol*l.

Hatiku bagaikan es di kutub utara yang tidak tahu, kapan bisa mencair, alasannya yaitu semakin hari semakin memuncak oleh kata-kata dan perasaan yang tak bisa kucairkan pada sebuah daratan.

Aku benci pada diriku, menyesal hidup ibarat ini. penakut, pendiam, pemalu, sifat yang lumrah dimiliki seorang wanita, tapi saya seorang lelaki yang sepantasnya berani mengungkapkan kata cinta pada seorang wanita. bukan pemalu dan hanya menunggu ungkapan cinta seorang bidadari.

Sampai kapan?” teriakku. Aku tak ingin hidup ibarat ini. hidup dalam bayang-bayang cinta yang yang kelam.

Kupandang hidupku kebelakang. Mengingat-ingat prilaku yang hanya diam. waktu yang tidak kugunakan, semuanya sia-sia. Ke kampus kemudian tidur di kosan, kadang menciptakan kamar ibarat pabrik, oleh gumpalan asap rok*k yang tak pernah berhenti, keluar-masuk dari mulutku.

Hari ini hari sabtu, libur di kalangan mahasiswa. Kosan terasa amat sepi. penghuni kosan menikmati hari libur, menghilangkan kejenuhan oleh rumus-rumus, pengertian-pengertian, istilah-istilah dan ilmu-ilmu, selama lima hari berturut-turut.

Bepergian atau berbelanja untuk menenangkan pikiran, bukan bab hidupku. Dikala libur biasanya kuhabiskan waktu untuk menulis puisi, menyusun nada-nada menjadi musikalisasi. hanya itulah yang sanggup menghiburku. Bukan hanya pikiran tetapi hati yang sudah membeku sekejap mencicipi kehangatan oleh untayan kata-kata dan nada-nada yang mengalun dengan sendu. Sepertinya, menyuarakan kesendirian dan kejenuhanku. mungkin saja kepada nyamuk atau kecoak yang selalu menemaniku.

Pada sebuah siang yang panas, saya melihat sosok seorang gadis, tiba-tiba jantungku bergemuruh. ya itu Chelsy. tampaknya beliau berjalan menuju kamar mandi. mungkin sebentar lagi beliau juga akan bepergian atau bersenang-senang, sebagaimana teman-teman yang yang lain. Sejenak kupandang sosok gadis itu, terpintas suatu ilham dalam benakku, tapi masih mengapung-apung. Karena, untuk melakukannya dibutuhkan suatu keberanian. Kutenangkan jiwaku, kutepis semua rasa takut, kurangkai kata-kata yang mungkin kuungkapkan untuknya, dikala itu juga.

Kakiku mulai gemetar. kutuntun untuk melangkah keluar dari kamar kosan. kulihat sekeliling, tampaknya sepi. “Mungkin semuanya sudah pada pergi.” Bisikku dalam hati. kudekati kamar mandi itu. kutunggu sampai celsy keluar.

Ketika, berada di depan pintu kamar mandi, saya sempat barhayal. Mungkin kenekatanku itu akan membuatku aib seumur hidup, tapi saya tidak peduli soal itu, mungkin itu suatu pengorbanan untuk meraih cinta.

Terlalu usang melamun, membuatku tersentak kaget. melihat Chelsy sudah dihadapanku. beliau juga kaget. dari raut wajahnya tampaknya beliau malu, alasannya yaitu tub*h mungilnya hanya ditutupi handuk lembutnya saja.

Kulangkahkan kakiku mendekatinya, kuraih tangannya kemudian kutarik kedalam kamar mandi itu lagi. awalnya beliau sangat berontak, beliau takut jika saya berbuat senonoh pada badan indahnya yang mempesona, namun alhasil beliau mulai tenang, dikala saya berlutut di hadapannya dan mengungkapkan semua isi hatiku kepadanyanya.

Dia hanya bisa terdiam, mungkin beliau kaget atau murka atas kelakuanku yang di luar pikirannya. Namun, saya tak perduli apa pendapatnya ihwal diriku.

Kini es dikutub utara sudah mencair, mengalir ke samudra-samudra, menggenangi seluruh rawa yang dulu kering dan maritim yang usang surut telah penuh kembali. Mungkin panasnya bumi oleh asap pabrik, asap kendaraan dan hutan yang di gundul para penebang-penebang liar.

Dalam suasana hening itu, tiba-tiba bibir lembutnya memancarkan kata-kata yang sangat berharga untukku.

sebenarnya saya sudah usang memendam perasaan yang sama denganmu, saya juga suka sama kamu, saya sudah usang menunggu masa-masa ibarat ini.” ucapnya sedikit malu.

Jawapan yang begitu singkat, namun telah menjawab semua teka-teki yang tak pernah bisa terjawab olehku, bahkan pakar sekalipun. Hanya Celsylah yang bisa menjawabnya. dituntunnya saya untuk berdiri, kemudian kuc*um tangan yang kugenggam dari tadi. masih terasa harum, ibarat mawar putih yang mekar di pagi hari.

Aku pamit dulu! jangan lupa, nanti malam kita ke taman, menikmati malam dan melihat bintang-bintang. saya akan membuktikan kepada bulan, bintang, angin yang berhembus pada pohon-pohon, bahwa saya sudah mencairkan puncak es di hatiku.

Dia menjawabnya dengan anggukan dan senyuman yang lembut, dengan sedikit malu. kulihat sekeliling kosan masih terasa sepi. “Mungkin mereka masih asik menikmati hari liburnya.” Pikirku.

Aku pribadi berlari menuju kamar. Dari jendela kamar itu, terus kupandangi bidadariku itu, ibarat yang sering kulakukan sebelum cinta itu mencair pada sebuah daratan. Baca juga : Ayah Dan Putrinya Bertunangan : Mereka Berencana Membangun Keluarga Sendiri.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel