Punakawan: Semar Kuning Bab 4


Sebelumnya...

#/semar
#/punakawan
“Oooo lae lae … nDara Baladewa, awal mula saya jadi abdi ialah kepada Resi Manumanasa. Saat beliau akan mukswa, saya mencicipi kehilangan hingga menangis sedih seraya bertanya kelak siap yang akan menemaniku. Sabda sakti Sang Manumanasa lalu memperlihatkan teman seorang Bagong dari bayanganku sendiri, wewayangan kang bebagongan. Sejak ketika itu pula saya diberi wahyu delapan kasus yang selamanya menempel pada diriku. Semar jadi tahan lapar, tidak mengenal mengantuk, tidak pernah sedih, tidak mencicipi hambar karna dayanya air, tidak bisa terbakar oleh alasannya ialah api, terpenuhi segala apa yang diharap, bisa menjadi apa saja sesuai impian dan ditakdirkan berumur panjang. Makara jikalau kasus makan dan minum saja, walaupun serba glamor dan enak, kula mboten kepengin nDara. Maksud kedatangan saya kemari ialah memberikan turut berbahagia atas perkawinan nDara Abimanyu. Niat saya sih juga mau nyumbang.”

Prabu Kresna lalu merespon

“Apa yang akan kau sumbang Kakang Semar, pastinya engkau tidak mempunyai apa-apa. Pakaianmu saja lusuh kumel dan telah compang-camping, jadi mana bisa kau nyumbang kepada seorang raja”

“Oooo .. bukan berwujud harta nDara yang akan saya sumbang. Lha jikalau harta yang saya berikan, ibaratnya menggarami lautan to, dan negri Dwarawati sudah begitu kaya sehingga apalah artinya derma seorang Semar. Saya hanya ingin menyumbang sebuah tembang kepada nDara Kresna. Sebuah tembang Sarkara”

“Apa maksudnya itu Kakang Semar ?”

“Sarkara itu berarti gula, atau madu. Makara saya ingin nembang Dandanggula nDara Baladewa”

“Ya sudah jikalau begitu, cepat engkau lakukan Kakang Semar” ujar Kresna dengan penuh ketidaksabaran lantaran merasa terganggu.

“Kula mulai nembang nggih nDara

Kacarita nagri dwarawati tan prabeda kaywangan kaendran kabeh kepingan upa rengganes dasar ratu misuwur kalokengrat lumahing bumi yaiku prabu kresna titising hyang wisnu aktual ratu binatara kabeh tuhan tresna pada asih tintrim pinter sakbarang karya”

Prabu Kresna yang dituju tembang itu merasa besar hati sehingga melupakan kejengkelannya sejenak. Senyumnya mengambang.

“Yah … memang begitulah keadaannya Kakang Semar. Engakau sunguh arif merangkai kata-kata dan mengungkap fakta” “Ada kelanjutannya nDara

Mung cacate ratu dwarawati nadyan pinter kurang wicaksana tega kalawan kadange denira amemantu abimanyu siti sendari tiba tinunggu besan kang nedeng wulangun ngendelke dupeh kuwasa wus tetela lamun ta kekurang adil asor samaning titah”

Hening suasana ruangan agung itu sesudah Semar menuntaskan tembang itu. Tak ada yang berani mengeluarkan bunyi mengomentari tembang yang telah Semar lantunkan. Baladewa membisu tiada bergerak. Samba begitu tegang melihat suasana mencekam dan hanya melirik melihat bagaimana reaksi ayahnya Prabu Kresna.

Setyakipun hanya menunduk kelu, begitupun Sang pengantin baru, Abimanyu, hanya membisu gelisah menunggu apa yang bakal terjadi.

Sementara itu, merah padam muka Kresna terlihat.

Sigro muntab lir kinetab, duko yayah sinipi jojo bang mawingo wengis Netro kocak ngondar-andir didepnya mangala cakra mrebabak wadananira pindha kembang wora-wari bang

“Abimanyu !!!”

#/abimanyu
“Inggih, sendika dawuh rama prabu”

“Kamu sudah menjadi kepingan dari keluarga Dwarawati sesudah resmi menjadi suami dari anakku Siti Sendari tadi. Dan kau ialah calon seorang raja dan juga senapati agung. Apa yang bakal engkau lakukan bila orang tuamu yang ialah seorang raja negara besar, dihina oleh orang kecil kaum sudra papa di depanku ini ?”

Gundah Abimanyu mendengar perintah mertuanya itu. Hatinya bercabang antara menuruti perintah mertuanya, atau menuruti kata hatinya yang begitu sayang kepada pamomongnya sedari kecil, Semar. Di pandanginya sosok yang begitu lekat di hatinya itu. Sosok yang bisa dikatakan berserakan untuk ukuran insan normal, tubuh cebol bulat, hitam dan buruk serta wajahnyapun tak berbentuk menarik, namun begitu disayanginya mirip halnya ayahnya dan para leluhurnya. Dari resi Manumanasa, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata hingga ke ayahnya Arjuna, menempatkan Semar di posisi yang terhormat.

“Abimanyuuuu !!!” kembali bunyi Kresna penuh tekanan terdengar.

Suara yang tidak keras namun lantaran hanya satu-satunya yang muncul dikeheningan suasana, terdengar bagai halilintar di indera pendengaran Abimanyu.

Dan tak ingin mendengar perintah untuk kali ketiga, Abimanyu segera menghampiri Semar dan sesudah bersahabat meludahi kuncung Semar serta wajahnya.

Kembali keheningan tercipta diruangan besar itu. Kali ini lebih mencekam. Semua orang yang ada dan menyaksikan insiden itu, tertegun dan hampir tak percaya bahwa itu nyata.

Ada sekilas senyum yang tersungging di bibir Kresna, namun sebaliknya wajah Baladewa mengeras, mata membesar dan memerah menunjukan kemarahan mulai naik di kepala.

Sementara, Semar dalam membisu mengelap dengan punggung tangan bekas air ludah yang menempel di kuncung serta wajahnya. Tidak ada amarah di wajahnya, hanya rona kesedihan yang tiba-tiba muncul menggelayuti wajah dan tubuhnya. Kemudian dipandanginya singgasana Kresna seraya berkata :
“Nggih … tidak apa-apa … tidak mengapa saya diperlakukan mirip ini oleh semua nDara yang ada di sini. Biarlah … semua ini saya terima. Saya menyadari bahwa saya hanyalah orang kecil, wong cilik ongklak angklik, tentu tidak akan ada orang yang sudi menolong. Semar ada untuk mengingatkan yang lupa. Terus apa gunanya saya menunggu orang yang sudah tidak mau diingatkan dan sudah tidak mempunyai nurani lagi. Saya mohon pamit nDara”

Hampir semua mata yang memandang kepergian Semar menyimpan duka. Begitupun Abimanyu, serasa mimpi bahwa beliau telah melaksanakan tindakan yang luar biasa tercela itu. Tak percaya bahwa dirinya sudah menghina orang yang begitu dikasihi dan mengasihinya. Jiwanya merintih hatinya hancur.

Pun demikian dengan Baladewa, begitu sosok Semar lenyap dari pandangan, segera beranjak dan menghampiri Abimanyu. Dengan kemarahan meluap, di tudingkannya tangan ke arah Abimanyu.

“He … Abimanyu, apa yang telah kau lakukan tadi. Teganya kau menghina Kakang Semar begitu rendah. Tidakkah kau ingat, siapa Kakang Semar itu. Bahkan ayahmu Arjuna, kakekmu Pandudewanata, eyangmu Begawan Abiyasa hingga leluhur-leluhurmu begitu menghormati Kakang Semar dan menempatkannya dalam kedudukan yang mulia, dan tak mungkin menghinakan mirip apa yang tadi tlah kau lakukan. Uwamu tak mau campur tangan atas perbuatanmu tadi, terserah apa yang akan kau lakukan lagi kelak. Terserah engkau mau berbuat apa, tapi ingat, sekali lagi engkau melaksanakan hal hina mirip itu, uwakmu ini yang akan menjadi lawanmu!!!”

Kemudian Baladewa membalikan tubuh dan kembali menghadap kepada Kresna. Dengan menurunkan suaranya, kembali beliau berucap

“Yayi Prabu, Kanda kira sudah cukup keperluanku disini. Saya mohon pamit yayi, biar tidak ada insiden apa-apa sesudah ini.”

“Matur nuwun Kanda Prabu atas kedatangannya, dan dinda tegaskan sekali lagi bahwa kejadian-kejadian tadi semuanya ialah tanggung jawab dinda pribadi. Yakinlah bahwa tidak akan ada apa-apa lantaran ada titisan Bathara Wisnu disini”

“Terserahlah apa katamu Yayi, saya mohon pamit !”

Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel