Sahabat Tanpa Bayangan - Cerpen Persahabatan
Minggu, 15 Februari 2015
Judul : Sahabat Tanpa Bayangan
"Setiap insan niscaya pernah mengalami rasa sakit dan perihnya ditinggal bahkan diacuhkan. Apalagi yang melakukannya ialah orang terdekat, terlebih orang yang seharusnya ada untuk menjaga dan terus mendampingi kita. Sakit memang, dikala mereka yang seharusnya membela kita, justru sebaliknya menghancurkan, menindas, menjelekkan, menjatuhkan kita. Kecewa memang, dikala mereka yang seharusnya menjaga belakang layar kita, justru membuka semua malu yang ada bahkan semakin diperparah dengan hal yang tidak-tidak. Aku mengalaminya, dan semua sangat sakit.
Bagaimana bisa,o rang yang seharusnya ada disamping kita selalu sibuk dengan urusan diluar rumah. Aku tahu mereka punya hal yang harus dikerjakan disana. Tapi, tidakkah mereka rindu denganku, rindu suasana bersama yang dulu.
Aku terpuruk sendiri. Ketika saya membutuhkan, mereka tak pernah ada. Mereka tak pernah mendengar keluh kesahku, masalahku. Mereka tak pernah menanyakan kabar andal yang saya dapatkan. Kadang saya rindu pelukan mereka, rindu belaian tangang mereka. Aku terasing sendiri. Bila mereka bisa memberikannya pada dia, kenapa tidak untuk ku? Aku iri. Aku iri. Sekali lagi, saya iri. Setiap kali harus kuhapus airmata ini sendiri. Setiap kali harus tertatih terbangun sendiri. Setiap kali saya menangis mendekap udara hampa alasannya menghadapi ketakutan seorang diri. Semua saya lakukan sendiri. Mereka menuntutku menjadi makhluk yang tepat sesuai kemauan mereka. Tapi mereka tak pernah mengajarkan bagaimana caranya. Mereka hanya menuntut terus-menerus. Sedang saya tak bisa walau saya berusaha. Dan mereka terus menyalahkanku ketika saya tersandung, tanpa pernah membenarkanku. Mana saya tahu?
Aku bagai hidup sendiri disini. Teman yang ada selalu hadir silih berganti. Aku bagai tak punya sahabat dalam hidupku. Yah, semua orang punya problem masing-masing. Aku hanya berteman dengan jiwaku sendiri. Aku nyaman dengan cara ini. Karena jiwaku tak pernah mengecewakan ku ibarat yang telah mereka lakukan. Hingga saya menemukan satu titik kejenuhan. Aku berlari kesana-kemari. Aku berlari dan terus berlari tanpa henti. Berlari jauh ketempat yang abnormal bagiku, daerah yang belum pernah kujamah sebelumnya. Hingga saya bertemu segerombolan belum dewasa yang saya yakin bernasib sama sepertiku. Aku tahu, mereka senasib denganku.
Kuberanikan diri masuk. Mereka pribadi menyambut hangat dengan senyum berpengaruh mereka. Tanpa menanyakan siapa aku, mereka merangkulku. Seorang anak, yang au yakin beliau ialah pemimpin kelompok ini mempersilahkan ku untuk bercerita, menumpahkan seluruh beban dan curahan dadaku. Tanpa piker panjang dan meikirkan hal lain saya mulai meluapkan semua yang ingin kukatakan, semua yang selama ini tertahan didadaku. Aku menangis, tapi mereka tersenyum dengan tatapan hangat mereka. Mereka semua merangkulku lagi. “Kita semua saudara, alasannya kita bernasib sama. Kita pernah terjatuh, dan sakit. Namun kita bangun bersama. Tenang saja, kami akan mengajarimu bangkit. Kami tidak meminta imbalan apa-apa atas ini semua. Tapi, satu seruan kami. Saat kamu sembuh dan berpengaruh untuk melangkah sesudah bangkit, tolong bantu saudara kita yanglain, yang bernasib sama ibarat kita. Bawa beliau kemari, kita akan menyembuhkan mereka bersama-sama. “ kata pemimpin kelompok. Aku mengerti apa yang beliau katakan. Dari sisni lah kutemukan keluarga baru. Keluarga yang bisa mendengarkan semua kesahku. Keluarga berjulukan sahabat. Aku tak pernah memandang wajah mereka. Aku menemukan mereka tanpa kusengaja ditengah pelarianku. Tapi saya menyimpan nama meraka dibibirku. Aku besar hati mengenal kalian. Kalian terjatuh, tapi kalian bisa bangkit. Walau harus terjatuh berkali-kali, kalian tetap melankah. Kalian tak peduli pada rasa sakit atas luka dikaki kalian yang semakin lebar terbuka. Yang kalian pikirkan hanyalah kalian harus terus maju. Dan saya mencar ilmu itu dari kalian. Terima kasih kakak. Karena saya bahagia mempunyai sahabat ibarat kalian. Aku menganggap kalian abang yang selalu menemani candaku ketika saya ingin bermanja. Kalian lah sahabat tanpa bayangan yang tak pernah kutemui didunia nyataku. Yang kutahu hanya nama dan apa yang telah kalian berikan untukku."
Pengirim : Azizah Azwa Ariany
Email : semangatazizah@yahoo.co.id
Facebook : Azizah Kurnia Aza
Tanggal Kirim : 15 - 09 - 2015
"Setiap insan niscaya pernah mengalami rasa sakit dan perihnya ditinggal bahkan diacuhkan. Apalagi yang melakukannya ialah orang terdekat, terlebih orang yang seharusnya ada untuk menjaga dan terus mendampingi kita. Sakit memang, dikala mereka yang seharusnya membela kita, justru sebaliknya menghancurkan, menindas, menjelekkan, menjatuhkan kita. Kecewa memang, dikala mereka yang seharusnya menjaga belakang layar kita, justru membuka semua malu yang ada bahkan semakin diperparah dengan hal yang tidak-tidak. Aku mengalaminya, dan semua sangat sakit.
Bagaimana bisa,o rang yang seharusnya ada disamping kita selalu sibuk dengan urusan diluar rumah. Aku tahu mereka punya hal yang harus dikerjakan disana. Tapi, tidakkah mereka rindu denganku, rindu suasana bersama yang dulu.
Aku terpuruk sendiri. Ketika saya membutuhkan, mereka tak pernah ada. Mereka tak pernah mendengar keluh kesahku, masalahku. Mereka tak pernah menanyakan kabar andal yang saya dapatkan. Kadang saya rindu pelukan mereka, rindu belaian tangang mereka. Aku terasing sendiri. Bila mereka bisa memberikannya pada dia, kenapa tidak untuk ku? Aku iri. Aku iri. Sekali lagi, saya iri. Setiap kali harus kuhapus airmata ini sendiri. Setiap kali harus tertatih terbangun sendiri. Setiap kali saya menangis mendekap udara hampa alasannya menghadapi ketakutan seorang diri. Semua saya lakukan sendiri. Mereka menuntutku menjadi makhluk yang tepat sesuai kemauan mereka. Tapi mereka tak pernah mengajarkan bagaimana caranya. Mereka hanya menuntut terus-menerus. Sedang saya tak bisa walau saya berusaha. Dan mereka terus menyalahkanku ketika saya tersandung, tanpa pernah membenarkanku. Mana saya tahu?
Aku bagai hidup sendiri disini. Teman yang ada selalu hadir silih berganti. Aku bagai tak punya sahabat dalam hidupku. Yah, semua orang punya problem masing-masing. Aku hanya berteman dengan jiwaku sendiri. Aku nyaman dengan cara ini. Karena jiwaku tak pernah mengecewakan ku ibarat yang telah mereka lakukan. Hingga saya menemukan satu titik kejenuhan. Aku berlari kesana-kemari. Aku berlari dan terus berlari tanpa henti. Berlari jauh ketempat yang abnormal bagiku, daerah yang belum pernah kujamah sebelumnya. Hingga saya bertemu segerombolan belum dewasa yang saya yakin bernasib sama sepertiku. Aku tahu, mereka senasib denganku.
Kuberanikan diri masuk. Mereka pribadi menyambut hangat dengan senyum berpengaruh mereka. Tanpa menanyakan siapa aku, mereka merangkulku. Seorang anak, yang au yakin beliau ialah pemimpin kelompok ini mempersilahkan ku untuk bercerita, menumpahkan seluruh beban dan curahan dadaku. Tanpa piker panjang dan meikirkan hal lain saya mulai meluapkan semua yang ingin kukatakan, semua yang selama ini tertahan didadaku. Aku menangis, tapi mereka tersenyum dengan tatapan hangat mereka. Mereka semua merangkulku lagi. “Kita semua saudara, alasannya kita bernasib sama. Kita pernah terjatuh, dan sakit. Namun kita bangun bersama. Tenang saja, kami akan mengajarimu bangkit. Kami tidak meminta imbalan apa-apa atas ini semua. Tapi, satu seruan kami. Saat kamu sembuh dan berpengaruh untuk melangkah sesudah bangkit, tolong bantu saudara kita yanglain, yang bernasib sama ibarat kita. Bawa beliau kemari, kita akan menyembuhkan mereka bersama-sama. “ kata pemimpin kelompok. Aku mengerti apa yang beliau katakan. Dari sisni lah kutemukan keluarga baru. Keluarga yang bisa mendengarkan semua kesahku. Keluarga berjulukan sahabat. Aku tak pernah memandang wajah mereka. Aku menemukan mereka tanpa kusengaja ditengah pelarianku. Tapi saya menyimpan nama meraka dibibirku. Aku besar hati mengenal kalian. Kalian terjatuh, tapi kalian bisa bangkit. Walau harus terjatuh berkali-kali, kalian tetap melankah. Kalian tak peduli pada rasa sakit atas luka dikaki kalian yang semakin lebar terbuka. Yang kalian pikirkan hanyalah kalian harus terus maju. Dan saya mencar ilmu itu dari kalian. Terima kasih kakak. Karena saya bahagia mempunyai sahabat ibarat kalian. Aku menganggap kalian abang yang selalu menemani candaku ketika saya ingin bermanja. Kalian lah sahabat tanpa bayangan yang tak pernah kutemui didunia nyataku. Yang kutahu hanya nama dan apa yang telah kalian berikan untukku."
Pengirim : Azizah Azwa Ariany
Email : semangatazizah@yahoo.co.id
Facebook : Azizah Kurnia Aza
Tanggal Kirim : 15 - 09 - 2015