Mahabarata Episode 26: Kesengsaraan Yaitu Karunia Bakti
Senin, 27 Oktober 2014
Sebelumnya...
Balarama dan Krishna mengunjungi daerah penga- singan Pandawa di hutan rimba. Melihat penderitaan Rajadiraja Yudhistira dan saudara-saudaranya, Balarama berkata kepada Krishna, “Wahai Krishna, agaknya keba- jikan dan kejahatan membuahkan hasil berlawanan dalam hidup ini. Sebab, Duryodhana yang jahat dan durhaka kini memerintah kerajaan dan selalu mengenakan pakaian kebesaran bersulam emas; sementara Yudhistira yang suci dan bijaksana mengembara di tengah hutan, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Melihat lenyapnya kekayaan dan kemakmuran seorang suci dan berbudi luhur sanggup mem- buat insan kehilangan kepercayaan kepada Dewata. Pujaan-pujaan di hadapan kita berasal dari kejahatan dan kebajikan di dunia.
“Bagaimana kelak Dritarastra mempertanggungjawab- kan perbuatannya dan bagaimana ia sanggup membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian? Padahal, seluruh lembah, gunung dan bumi menangis menyaksikan nasib Pandawa yang tidak berdosa, sementara Draupadi, dengan karunia Dewa Agni, sang Dewa Api, ditakdirkan untuk hidup terlunta-lunta di dalam hutan!”
Satyaki yang ada di situ berkata, “Wahai Balarama, kini bukan saatnya untuk bersedih hati. Apa kita harus me- nunggu hingga Yudhistira meminta kita untuk membantu Pandawa? Semasa engkau, Krishna dan para kerabat lain, masih menikmati kejayaan ibarat sekarang, kenapa kita biarkan Pandawa hidup tersia-sia di hutan? Mari kita kerahkan prajurit kita dan kita gempur Duryodhana. Dengan pemberian balatentara Wrisni, kita niscaya sanggup meng- hancurkan Kaurawa. Kalau tidak, apa gunanya ada tentara? Krishna dan engkau niscaya sanggup melaksanakan ini dengan mudah. Aku ingin sekali melumpuhkan senjata Karna dan memancung lehernya. Mari kita hancurkan Duryodhana dan sekutu-sekutunya.
“Jika Pandawa ingin memegang teguh akad mereka, kita serahkan kerajaan kepada Abhimanyu dan mereka boleh tinggal dalam hutan. Hal itu baik bagi mereka dan pantas bagi kita sebagai kaum kesatria.”
Dengan saksama Krishna mendengarkan kata-kata Satyaki. Kemudian ia berkata, “Apa yang kaukatakan itu benar. Tetapi Pandawa takkan sudi mendapatkan uluran tangan orang lain. Mereka lebih suka berusaha sendiri. Draupadi, yang terlahir berdarah pahlawan, niscaya tak mau mendengarkan ini. Yudhistira niscaya takkan mau mening- galkan jalan kebenaran hanya demi rasa cinta atau takut. Setelah masa pengasingan yang ditetapkan habis, para raja dari Panchala, Kekaya, Chedi dan kita semua sanggup menya- tukan semua balatentara kita untuk membantu Pandawa menaklukkan musuh.”
Mendengar kata-kata Krishna, Yudhistira tersenyum tanda mengerti kemudian berkata, “Krishna tahu pikiran dan perasaanku. Kebenaran lebih besar daripada kekuatan atau kemakmuran, dan harus dipertahankan dengan apa pun juga, bukan dengan harta benda atau kerajaan. Bila Krishna menghendaki kita bertempur, kita siap! Wahai para kesatria keturunan Wrisni, kiranya kalian boleh pulang dulu. Kelak, jikalau waktunya sudah matang, kita niscaya akan bertemu lagi.” Demikianlah, mereka kemudian berpisah.
Sementara itu, Arjuna belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Dengan harap-harap cemas, Bhima menantikan kedatangan Arjuna. Ia tidak menerima dukungan untuk memakai jalan kekerasan. Karena itu ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tahu bahwa kita tergantung kepada Arjuna. Ia telah usang pergi, dan kita tidak men- dengar apa-apa wacana dia. Andaikata kita kehilangan dia, tidak seorang pun, tidak juga Raja dari Panchala, atau Satyaki atau Krishna, sanggup menolong kita. Aku tak sang- gup membayangkan bagaimana kalau kita kehilangan dia. Akibat permainan dadu gila itu, kesedihan dan penderitaan menimpa kita... sebaliknya, kekuatan justru tumbuh dan berkembang subur di pihak lawan!”
Bhima melanjutkan kata-katanya, “Tinggal dan me- ngembara di dalam hutan ibarat ini bukanlah jalan kaum kesatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu...
dengan pemberian Krishna kita umumkan perang terhadap belum dewasa Dritarastra. Aku akan puas, jikalau Sakuni, Karna dan Duryodhana yang jahat mati. Kalau kiprah ini sudah selesai dan kalau engkau memang menghendaki, engkau sanggup kembali ke hutan dan hidup sebagai pertapa. Membu- nuh musuh dengan memakai siasat bukanlah dosa. Lebih-lebih jikalau musuh juga memakai siasat.
“Aku mendengar bahwa Atharwa Weda memuat mantra mistik yang sanggup mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan mantra itu kita peras tiga belas tahun menjadi tiga belas bulan. Cara ini niscaya tidak dihentikan dan engkau niscaya mengijinkan saya membunuh Duryodhana pada bulan keempat belas.”
Mendengar kata-kata Bhima, Dharmaputra memeluk- nya dengan kasih sayang seorang saudara. Lalu..., untuk menahan ketidaksabaran Bhima, ia berkata, “Saudaraku tercinta, segera setelah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan senjata Gandiwa dan engkau dengan gada- mu akan bertempur dan membunuh Duryodhana. Bersa- barlah hingga waktu itu tiba. Duryodhana dan pengikut- pengikutnya mustahil akan terlepas dari semua ini, lantaran mereka sudah terlanjur karam dalam lumpur dosa dan khianat. Yakinlah engkau!”
Ketika mereka sedang bercakap-cakap demikian, mun- cullah seorang resi bau tanah berjulukan Resi Brihadaswa. Sesuai tradisi, para kesatria itu menyambut sang Resi dengan penuh hormat. Setelah mempersilakan sang Resi duduk, Yudhistira bertanya, “Resi yang kuhormati, musuh kami berbuat curang dengan mengajak kami bermain dadu. Mereka menciptakan kami kalah dan menipu kami hingga kami kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang berjiwa kesatria. Panchali dan saya mengembara di hutan ini, sementara Arjuna mening- galkan kami untuk memohon karunia senjata sakti dari dewata. Tetapi, hingga kini Arjuna belum kembali dan itu menciptakan kami sangat khawatir. Apakah ia akan kembali dengan senjata sakti? Dan kapan kiranya ketika itu tiba? Belum pernah rasanya ada kesedihan yang begitu menda- lam ibarat kesedihan yang menimpa kami ini.”
Resi suci itu menjawab, “Jangan biarkan pikiranmu dili- puti kedukaan. Arjuna niscaya kembali dengan membawa senjata sakti dan engkau akan menaklukkan musuh- musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang dengan cara dan perasa- annya sendiri menganggap kesedihannya yang paling berat di dunia, lantaran segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat. Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada? Ia ditipu oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehi- langan kerajaan, kekayaan, dan semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan ibarat engkau. Tetapi ia lebih menderita lantaran dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana. Karena penga- ruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia mengembara di hutan.
“Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Eng- kamu punya saudara-saudara yang gagah berani, istri yang setia dan dukungan dari kaum brahmana yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang, kasihan kepada diri sendiri ialah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk penderitaan orang lain.”
Resi itu bercerita panjang lebar wacana nasib Raja Nala. Sebelum pergi, ia menutup ceritanya, “Wahai Pandawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih berat dari apa yang kalian hadapi. Tetapi, risikonya ia berhasil mengatasi cobaan itu dan kemudian hidup bahagia.
“Engkau mempunyai kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah memakai waktumu dengan sebaik-baiknya, untuk mempersembah- kan jiwa dan pikiranmu kepada Dharma. Jalan untuk itu ialah bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan kaum brahmana andal kitab-kitab suci Weda dan Wedanta. Pikul- lah segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, lantaran itu ialah karunia bagi manusia, dan itu bukan hanya demi kami saja.”
Bersambung...
Balarama dan Krishna mengunjungi daerah penga- singan Pandawa di hutan rimba. Melihat penderitaan Rajadiraja Yudhistira dan saudara-saudaranya, Balarama berkata kepada Krishna, “Wahai Krishna, agaknya keba- jikan dan kejahatan membuahkan hasil berlawanan dalam hidup ini. Sebab, Duryodhana yang jahat dan durhaka kini memerintah kerajaan dan selalu mengenakan pakaian kebesaran bersulam emas; sementara Yudhistira yang suci dan bijaksana mengembara di tengah hutan, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Melihat lenyapnya kekayaan dan kemakmuran seorang suci dan berbudi luhur sanggup mem- buat insan kehilangan kepercayaan kepada Dewata. Pujaan-pujaan di hadapan kita berasal dari kejahatan dan kebajikan di dunia.
“Bagaimana kelak Dritarastra mempertanggungjawab- kan perbuatannya dan bagaimana ia sanggup membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian? Padahal, seluruh lembah, gunung dan bumi menangis menyaksikan nasib Pandawa yang tidak berdosa, sementara Draupadi, dengan karunia Dewa Agni, sang Dewa Api, ditakdirkan untuk hidup terlunta-lunta di dalam hutan!”
Satyaki yang ada di situ berkata, “Wahai Balarama, kini bukan saatnya untuk bersedih hati. Apa kita harus me- nunggu hingga Yudhistira meminta kita untuk membantu Pandawa? Semasa engkau, Krishna dan para kerabat lain, masih menikmati kejayaan ibarat sekarang, kenapa kita biarkan Pandawa hidup tersia-sia di hutan? Mari kita kerahkan prajurit kita dan kita gempur Duryodhana. Dengan pemberian balatentara Wrisni, kita niscaya sanggup meng- hancurkan Kaurawa. Kalau tidak, apa gunanya ada tentara? Krishna dan engkau niscaya sanggup melaksanakan ini dengan mudah. Aku ingin sekali melumpuhkan senjata Karna dan memancung lehernya. Mari kita hancurkan Duryodhana dan sekutu-sekutunya.
“Jika Pandawa ingin memegang teguh akad mereka, kita serahkan kerajaan kepada Abhimanyu dan mereka boleh tinggal dalam hutan. Hal itu baik bagi mereka dan pantas bagi kita sebagai kaum kesatria.”
Dengan saksama Krishna mendengarkan kata-kata Satyaki. Kemudian ia berkata, “Apa yang kaukatakan itu benar. Tetapi Pandawa takkan sudi mendapatkan uluran tangan orang lain. Mereka lebih suka berusaha sendiri. Draupadi, yang terlahir berdarah pahlawan, niscaya tak mau mendengarkan ini. Yudhistira niscaya takkan mau mening- galkan jalan kebenaran hanya demi rasa cinta atau takut. Setelah masa pengasingan yang ditetapkan habis, para raja dari Panchala, Kekaya, Chedi dan kita semua sanggup menya- tukan semua balatentara kita untuk membantu Pandawa menaklukkan musuh.”
Mendengar kata-kata Krishna, Yudhistira tersenyum tanda mengerti kemudian berkata, “Krishna tahu pikiran dan perasaanku. Kebenaran lebih besar daripada kekuatan atau kemakmuran, dan harus dipertahankan dengan apa pun juga, bukan dengan harta benda atau kerajaan. Bila Krishna menghendaki kita bertempur, kita siap! Wahai para kesatria keturunan Wrisni, kiranya kalian boleh pulang dulu. Kelak, jikalau waktunya sudah matang, kita niscaya akan bertemu lagi.” Demikianlah, mereka kemudian berpisah.
Sementara itu, Arjuna belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Dengan harap-harap cemas, Bhima menantikan kedatangan Arjuna. Ia tidak menerima dukungan untuk memakai jalan kekerasan. Karena itu ia berkata kepada Yudhistira, “Engkau tahu bahwa kita tergantung kepada Arjuna. Ia telah usang pergi, dan kita tidak men- dengar apa-apa wacana dia. Andaikata kita kehilangan dia, tidak seorang pun, tidak juga Raja dari Panchala, atau Satyaki atau Krishna, sanggup menolong kita. Aku tak sang- gup membayangkan bagaimana kalau kita kehilangan dia. Akibat permainan dadu gila itu, kesedihan dan penderitaan menimpa kita... sebaliknya, kekuatan justru tumbuh dan berkembang subur di pihak lawan!”
Bhima melanjutkan kata-katanya, “Tinggal dan me- ngembara di dalam hutan ibarat ini bukanlah jalan kaum kesatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu...
dengan pemberian Krishna kita umumkan perang terhadap belum dewasa Dritarastra. Aku akan puas, jikalau Sakuni, Karna dan Duryodhana yang jahat mati. Kalau kiprah ini sudah selesai dan kalau engkau memang menghendaki, engkau sanggup kembali ke hutan dan hidup sebagai pertapa. Membu- nuh musuh dengan memakai siasat bukanlah dosa. Lebih-lebih jikalau musuh juga memakai siasat.
“Aku mendengar bahwa Atharwa Weda memuat mantra mistik yang sanggup mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan mantra itu kita peras tiga belas tahun menjadi tiga belas bulan. Cara ini niscaya tidak dihentikan dan engkau niscaya mengijinkan saya membunuh Duryodhana pada bulan keempat belas.”
Mendengar kata-kata Bhima, Dharmaputra memeluk- nya dengan kasih sayang seorang saudara. Lalu..., untuk menahan ketidaksabaran Bhima, ia berkata, “Saudaraku tercinta, segera setelah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan senjata Gandiwa dan engkau dengan gada- mu akan bertempur dan membunuh Duryodhana. Bersa- barlah hingga waktu itu tiba. Duryodhana dan pengikut- pengikutnya mustahil akan terlepas dari semua ini, lantaran mereka sudah terlanjur karam dalam lumpur dosa dan khianat. Yakinlah engkau!”
Ketika mereka sedang bercakap-cakap demikian, mun- cullah seorang resi bau tanah berjulukan Resi Brihadaswa. Sesuai tradisi, para kesatria itu menyambut sang Resi dengan penuh hormat. Setelah mempersilakan sang Resi duduk, Yudhistira bertanya, “Resi yang kuhormati, musuh kami berbuat curang dengan mengajak kami bermain dadu. Mereka menciptakan kami kalah dan menipu kami hingga kami kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang berjiwa kesatria. Panchali dan saya mengembara di hutan ini, sementara Arjuna mening- galkan kami untuk memohon karunia senjata sakti dari dewata. Tetapi, hingga kini Arjuna belum kembali dan itu menciptakan kami sangat khawatir. Apakah ia akan kembali dengan senjata sakti? Dan kapan kiranya ketika itu tiba? Belum pernah rasanya ada kesedihan yang begitu menda- lam ibarat kesedihan yang menimpa kami ini.”
Resi suci itu menjawab, “Jangan biarkan pikiranmu dili- puti kedukaan. Arjuna niscaya kembali dengan membawa senjata sakti dan engkau akan menaklukkan musuh- musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang dengan cara dan perasa- annya sendiri menganggap kesedihannya yang paling berat di dunia, lantaran segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat. Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada? Ia ditipu oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehi- langan kerajaan, kekayaan, dan semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan ibarat engkau. Tetapi ia lebih menderita lantaran dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana. Karena penga- ruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia mengembara di hutan.
“Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Eng- kamu punya saudara-saudara yang gagah berani, istri yang setia dan dukungan dari kaum brahmana yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang, kasihan kepada diri sendiri ialah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk penderitaan orang lain.”
Resi itu bercerita panjang lebar wacana nasib Raja Nala. Sebelum pergi, ia menutup ceritanya, “Wahai Pandawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih berat dari apa yang kalian hadapi. Tetapi, risikonya ia berhasil mengatasi cobaan itu dan kemudian hidup bahagia.
“Engkau mempunyai kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah memakai waktumu dengan sebaik-baiknya, untuk mempersembah- kan jiwa dan pikiranmu kepada Dharma. Jalan untuk itu ialah bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan kaum brahmana andal kitab-kitab suci Weda dan Wedanta. Pikul- lah segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, lantaran itu ialah karunia bagi manusia, dan itu bukan hanya demi kami saja.”
Bersambung...